Setelah bercerai, lalu mengundurkan diri sebagai seorang Ajudan pribadi. Akhirnya pria yang akrab disapa 'Jo' itu kembali menerima sebuah tawaran pekerjaan dari Denis yang tak lain adalah temannya saat sejak masih SMA.
Dia yang biasanya mengawal wanita-wanita paruh baya, seorang istri dari beberapa petinggi. Kini dia di hadapkan dengan seorang gadis keras kepala berusia 20 tahun, Jasmine Kiana Danuarta. Sosok anak pembangkang, dengan segala tingkah laku yang membuat kedua orang tuanya angkat tangan. Hampir setiap Minggu terkena razia, entah itu berkendara ugal-ugalan, membawa mobil di bawah pengaruh alkohol, ataupun melakukan balapan liar. Namun itu tak membuatnya jera.
Perlahan sifat Kiana berubah, saat Jo mendidiknya dengan begitu keras, membuat sang Ayah Danuarta meminta sang Bodyguard pribadi untuk menikahi putrinya dengan penuh permohonan, selain merasa mempunyai hutang budi, Danu pun percaya bahwa pria itu mampu menjaga putri semata wayangnya dengan baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggika15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjanjian.
Kiana segara keluar dari dalam mobil sana tak lama setelah dia sampai dan memarkirkan mobil di garasi rumah seperti biasa. Dia berdiri, bersandar di body mobil menunggu mobil Jovian yang baru saja memasuki area rumah kedua orang tuanya.
Sementara pria yang berada di dalam mobil sana tampak heran ketika pandangan Kiana terus tertuju kepada mobil miliknya.
"Ah aku mulai mencurigai setiap gelagat yang gadis itu perlihatkan." Jovian bergumam.
"Om!" Kiana mendekat ketika dirinya membuka pintu mobil, lalu keluar dan berdiri tegap.
"Jangan bilang Papa, yah! Kalau tadi aku sempat melihat acara road drift." Bisik Kiana.
Pandangan gadis itu mendongak, menatap pria tinggi besar yang berdiri dan sedikit menundukan pandangan, berusaha menatap wajah Kiana yang kali ini terlihat memohon.
Jovian tidak langsung menjawab, dia justru menarik lepas kacamatanya sampai pandangan mata keduanya benar-benar saling menyelami satu sama lain.
"Aku nggak mau hidup di asrama, Om." Gadis itu terus memohon.
Kiana semakin mendekat lagi, kemudian meraih lengan Jovian dan mengguncangnya.
"Om Jovian!" Kiana membuat suaranya terdengar menggemaskan.
"Ini caramu untuk mengelabui Pak Danu. Tapi tidak akan mempan kepada saya, jika Pak Danu bertanya maka saya akan menjawab seadanya dan sejujur mungkin."
Kiana langsung menggelengkan kepala.
"Aku janji setelah ini nurut, … nggak bakalan aneh-aneh lagi!" Dia mengangkat jari telunjuk dan tengah sampai membentuk huruf 'V'.
Mata Jovian memincing, mencari sebuah kebohongan yang mungkin gadis itu rencanakan. Namun nihil, sepertinya Kiana terlihat bersungguh-sungguh kali ini, hanya saja Jovian tidak boleh lengah, agar suatu saat jika Kiana berulah dirinya tidak terlalu pusing untuk memikirkan sebuah cara lain untuk kembali menaklukan putri semata wayang dari bosnya.
"Ya Om?" Kiana memohon terus.
"Ada apa denganmu ini? Kemarin-kemarin ingin membuat aku berhenti bekerja, … lalu sekarang malah memohon seperti ini! Apa kamu tidak malu, Nona Jasmine Kiana Danuarta?" Ucap Jovian penuh penekanan, juga sorot mata tajam yang begitu dingin dan menusuk.
Kiana mengatupkan mulutnya, lalu menggelengkan kepala. Gadis itu benar-benar merasa berada dalam ancaman sekarang, karena jika Jovian mengatakan hal itu kepada ayahnya. Maka asrama perempuan yang sang ayah janjikan akan segera dia datangi.
"Jangan!" Sesuatu di dalam otaknya berteriak.
Sebuah tempat dengan peraturan yang sangat ketat, tidak boleh keluar tanpa sebuah izin, bertemu orang tua hanya beberapa kali dalam sebulan, dan tentu saja dia tidak bisa menikmati nikmatnya dunia penuh kebebasan seperti sekarang.
"Aku nurut sama Om. Semua peraturan Om, tapi Om janji nggak bilang sama Papah!" Kata Kiana. "Gimana? Deal?" Kiana mengulurkan tangan.
Namun bukannya menerima uluran tangan itu. Jovian justru pergi begitu saja, meninggalkan Kiana yang masih mengharapkan belas kasihnya.
Bukan Kiana kalau tidak berjuang untuk segala yang dia inginkan. Gadis itu berlari mengejar dari arah belakang, sampai membuat beberapa pekerja disana menatap interaksi antar anak sang pemilik rumah dengan Bodyguard nya.
"Om aku mohon!" Kiana merengek.
Dia menarik ujung jas Jovian cukup kencang.
"Om?"
"Kita lihat saja kedepannya seperti apa. Jika kamu mematuhi apa yang kamu ucapkan tadi, maka bisa saya pertimbangkan." Katanya sambil terus melangkahkan kaki, tanpa mempedulikan Kiana yang terus menarik ujung jasnya.
Jovian mendorong pintu kaca rumahan yang selalu menjadi tempat untuk bersantai, masuk dan berjalan ke arah sofa.
"Om janji ya?"
Jovian melirik sekilas.
"Haihhhh, … dasar Olaf!" Gadis itu membatin.
"Pergilah!" Istri Jovian.
"Apa!?"
"Pergi, saya mau bersantai dulu tanpa bayang-bayang dirimu. Saya lelah, … jadi sana pergi, ini tempat para laki-laki, banyak asap rokok!"
"Disini yang bos nya siapa sih?" Hatinya berbicara.
"Kiana? Sana pergi!"
"Sabar Kiana sabar." Batinnya kembali berbicara.
"Baiklah, aku harap Om bisa mempertimbangkan apa yang aku katakan tadi. Aku janji kok nggak bakalan nakal lagi." Katanya kemudian berlalu ke arah luar ruangan itu.
Setelah kepergian Kiana. Jovian segera merogoh saku jas, mengeluarkan satu bungkus rokok bersama koreknya, dan meletakan di atas meja.
Pria itu membawa satu batang, dia letakan diantara lecah kedua bibir, menghidupkan korek seraya menyesapnya dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya di udara.
***
Malam harinya tepat pukul 20:00 WIB.
Kiana mendudukan dirinya tepat di kursi dengan busa yang begitu empuk. Menatap cermin dimana pantulan wajahnya berada disana.
Kaos tidur dengan celana pendek, handuk yang melingkar di atas kepala, keadaannya benar-benar segera setelah menyelesaikan ritual mandinya beberapa menit yang lalu.
Kiana meraih toner, menuangkan sedikit di atas kapas, kemudian mengaplikasikannya keseluruhan wajah juga leher, setelah itu dia menggunakan serum, night cream, lip balm untuk menjaga bibirnya agar tetap sehat. Tak lupa juga dengan body serum yang Kiana oldhkan hampir ke seluruh tubuh.
***
Sementara itu di sisi lain rumah.
"Kia sudah tidur?" Danu melihat ke arah istrinya.
Mereka berdua masih betah duduk di sofa ruang tengah, dimana televisi menyala dan menampilkan tayangan sepak bola yang kini sedang marak di tayangkan.
"Mungkin, tadi sudah makan malam langsung naik ke kamar." Jelas Herlin.
"Dia baik-baik saja? Hari ini anak itu terlihat murung? Apa kamu tidak mau memeriksakan dia?" Danu berujar.
Herlin melirik ke arah lantai 2 dimana kamar Kiana berada. Kemudian kembali fokus pada tayangan televisi sambil menyantap camilan di dalam toples kaca, berisikan kue sagu keju.
"Kata Jovian, teman-temannya sedang menjauhi dia. Mungkin dia butuh kamu." Sambung Danu yang terlihat begitu khawatir.
"Terkadang juga anak itu membutuhkan perhatian Papa nya. Coba kamu saja yang naik, tanya bagaimana keadaan dia, toh sekarang kan dia sedang sangat mudah kamu dekati."
"Kamu benar. Sepertinya sekarang aku yang harus lebih mendekatkan diri."
"Ya, pergilah lihat keadaan putrimu!"
Danu bangkit dari duduknya, berjalan memutari meja kaca berukuran besar, kemudian menaiki setiap anak tangga satu persatu.
Pintu kamar Kiana benar-benar tertutup dengan sangat rapat. Danu semakin mendekat, menempelkan telinga di pintu kayu sana, lalu mengetuknya beberapa kali.
"Kia?" Panggil Danu.
Dan sahutan masih terdengar, gadis itu berteriak memintanya untuk segera masuk.
Klek!!
Danu menekan gagang pintu kamar putrinya.
Dan disanalah Kiana, berbaring di atas tempat tidur dengan keadaan segar, tengah memainkan ponsel yang berada di dalam genggaman tangannya.
"Papa kira sudah tidur." Danu berbasa-basi.
"Belum, aku lagi main game." Balas Kiana seraya menunjukan layar ponselnya.
Danu mendekat, dan duduk tepat di tepi ranjang. Menatap keadaan putrinya dengan bibir yang tersenyum tipis.
"Wangi sekali." Danu menggoda putrinya sampai Kiana tersenyum malu-malu.
"Kan memang begini setiap malam juga." Sahut Kiana.
"Bagaimana hari ini? Kamu senang?"
Namun Kiana tidak menjawab. Dia justru terlihat sedikit panik.
"Emmmm, … tadi …"
"Jovian mengirimkan gambar saat kamu sedang makan sendirian, … apa kamu baik-baik saja?"
"Apa!?" Kiana hampir berteriak.
"Jangan merasa heran, pekerjaan Jovian memang begitu. Dia harus memberikan laporan setiap saat. Bagusnya dia bisa datang dan menjagamu tadi, jadi Papa tidak terlalu khawatir."
Kiana terlihat semakin panik, dia bahkan mengubah posisi bersandarnya menjadi duduk.
"Terus? Laporan apalagi yang Om Jo kasih?"
Danu terkekeh.
"Hanya itu, dan kamu tidak usah takut. Hal pribadi tidak akan dia awasi."
Kiana menghembuskannya nafasnya lega.
"Syukurlah Om Jovian tidak mengatakan apapun lagi!"
"Besok Papa berangkat ke Kalimantan. Tetaplah seperti ini, tidak mengkhawatirkan Mama dan Papa."
Kiana mengangguk.
Danu menatap wajah putranya lekat-lekat, kemudian tersenyum.
"Mau tidur sekarang?" Tanya Danu ketika melihat Kiana meletakan ponsel di atas nakas.
Kiana mengangguk lagi, mengatur bantal, lalu berbaring dan menarik selimut sampai menutupi hampir seluruh tubuhnya.
Danu bangkit, dia mendekat.
Cup!!
Satu kecupan mendarat di kening Kiana.
"Selamat tidur. Mimpi indah, Papa sayang kamu." Danu mengusap kepala putrinya.
"Kiana juga sayang Papa." Balas Kiana.
Danu berdiri, berjalan mendekati saklar lampu, mematikannya dan mengganti dengan lampu tidur.
"Good night."
"Good night, Papa!"
Danu segera keluar dan kembali menutup pintu kamar Kiana rapat-rapat.
......................
...Guys! jangan lupa like, komen, sama masukin rak buku yah! yang ada vote, hadiah juga boleh kok di lemparin kesini :)...