Mencintai pria dewasa yang umurnya jauh lebih matang sama sekali tidak terbesit pada diri Rania. Apalagi memikirkannya, semua tidak ada dalam daftar list kriterianya. Namun, semua berubah haluan saat pertemuan demi pertemuan yang cukup menyebalkan menjadikannya candu dan saling mengharapkan.
Rania Isyana mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang sedang menjalani jenjang profesi, terjebak cinta yang rumit dengan dokter pembimbingnya. Rayyan Akfarazel Wirawan.
Perjalanan mereka dimulai dari insiden yang tidak sengaja menimpa mobil mereka berdua, dan berujung tinggal bersama. Hingga suatu hari sebuah kejadian melampaui batas keduanya. Membuat keduanya tersesat, akankah mereka menemukan jalan cintanya untuk pulang? Atau memilih pergi mengakhiri kenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 16
"Beneran, Dek?" Gerald balik bertanya Rania.
Bukan hanya Gerald dan Kania yang menganga, Rania juga menatap dengan tanda tanya. Sementara Rayyan hanya tersenyum tanpa dosa.
Rania mengedikkan bahu acuh, gadis itu tidak mau ambil pusing, dan tidak mau mengurusj pria yang sejak awal pertemuannya selalu bersikap kurang normal padanya. Gadis itu melihat-lihat koleksi baju di sana, sementara Rayyan terlihat
berbincang serius dengan kedua sahabatnya.
"Kamu mau beli yang mana, Ra?" Suara pria itu menginterupsi diri Rania yang nampak fokus dengan pakaian-pakaian yang terpajang di sana.
"Nggak ada, Dok, belum butuh pakaian kaya gini," ucapnya yakin.
"Ambil aja, Ra, nanti nggak disuruh bayar kok, 'kan aku yang bawa kamu ke sini." Rania hanya tersenyum mendapat penawaran dari Rayyan. Baginya tidak akan menerima barang dari orang sembarangan, atau akan merasa harus berbalas budi dengannya.
"Terima kasih, Dok, kebetulan belum butuh ada yang mau dibeli," jawabnya kalem.
Rania menunggu Rayyan melakukan pembayaran. Setelahnya mereka pulang ke rumah. Gadis itu langsung masuk ke kamarnya begitu sampai rumah, begitu pun dengan Rayyan, sebenarnya ia masih butuh teman untuk mengobrol, namun Rania sepertinya tidak minat untuk itu.
Gadis itu baru saja bersih-bersih dan mengganti pakaiannya ketika pintu kamarnya diketuk.
"Ra, udah tidur?" pekik Rayyan sembari mengetuk pintu kamarnya.
Rania yang sebenarnya belum tidur, tidak berminat mendekati pintu, ia malah sibuk di depan laptop pura-pura tidak mendengar. Ia hanya malas kalau malam-malam harus berurusan dengan pria itu lagi.
Rayyan yang malam itu tidak bisa memejamkan matanya barang sejenak pun, memilih ngadem di balkon kamarnya. Pria itu galau sendiri sembari menatap langit. Kebetulan hari ini langit begitu terang dengan banyak bintang, membuatnya larut dalam lamunan dan khayalan.
Pria itu menggerutu kesal saat menilik ponsel, lalu berkunjung ke aplikasi hijau menemukan ponsel Rania sedang online, padahal jelas-jelas sepuluh menit yang lalu dirinya mengetuk pintunya tanpa balasan.
"Aku baik-baik saja, Jo, jangan khawatir, aku hanya sedang lumayan sibuk jadi tidak bisa ketemu." Terdengar suara Rania dari arah balkon samping, rupanya perempuan itu tengah mengobrol dengan seseorang ditelepon.
" .... "
"Hah, sekarang? Tetapi ini 'kan sudah malam, aku nggak bisa keluar. Aku lagi nginep di rumah saudara." Rania nampak terdengar berbohong dalam obrolannya. Rupanya tetangga kamarnya itu menjadi penguping yang sukses dan handal.
" .... "
"Iya, Jo, iya sampai ketemu besok, aku kabari setelah pulang kerja," jawab Rania akhirnya.
Rayyan yang sengaja mendengar menajamkan telinganya, sepertinya gadis yang menjadi tetangga kamarnya besok akan mengadakan pertemuan. Misi pertama, sudah pasti akan digagalkan oleh pria dengan lebel Jokar tersebut.
Rania mendes@h lega saat menutup teleponnya. Urusan besok biarlah besok saja ia pikirkan. Banyak berbicara membuat tenggorokannya merasa kering, ia pun keluar kamar dan menuju dapur.
Brurrr
Air mineral dari mulutnya nyemburat tak sopan, mengenai kaus pria yang tiba-tiba ada di hadapannya tanpa suara. Rayyan muncul dari balik pintu kulkas yang terbuka, saat Rania masih berdiri seraya minum air dari sana.
"Eh, Dok, maaf-maaf, nggak sengaja," sesalnya seraya berusaha mengusap pakaiannya yang sedikit basah dengan tangannya sendiri yang sebenarnya tidak membuatnya bertambah kering.
"Ra, kamu kenapa belum tidur? Aku pikir tadi sudah tidur karena aku mengetuk pintumu tak ada sahutan.
"Hmm ... tadi udah mau tidur, kebetulan ada temen telepon," jawabnya kikuk.
"Dokter sendiri kenapa belum tidur, ini 'kan sudah malam, sebaiknya istirahat Dok, besok 'kan harus kerja, masuk pagi 'kan?"
"Aku tidak bisa tidur, belakangan insomnia, kamu mau nggak temenin aku ngobrol sebentar, siapa tahu aku ngantuk setelah dengar suara lembut kamu," pinta Rayyan yang cukup tidak masuk akal.
"Um ... aku mau ... istirahat juga Dok, gimana ya?"
"Bentar aja Ra, tunggu di beranda aja, jangan di kamar kalau kamu tidak nyaman," rengek pria itu sedikit memaksa.
Rania yang tidak tegaan pun akhirnya mengangguk pasrah, walaupun sebenarnya enggan dan cukup malas, namun ia menuruti saja. Toh hanya duduk menemani di beranda, tidak begitu masalah.
"Makasih Ra, duduk sini dong Ra, jangan berjauhan, aku nggak gigit kok," ucapnya tersenyum.
"Dokter lagi galau ya?" tebak gadis itu membuka kata, melihatnya terus memperhatikan dirinya membuat suasana kaku saja.
"Sedikit, aku hanya butuh teman saja, makasih ya kamu mau di sini," ucapnya kemudian.
"Dokter beneran mau nikah dalam dua minggu? Kenapa galau?" tanya Rania sungguh penasaran.
"Ya mau nikah lah Ra, masa' sendiri terus," jawabnya enteng.
"Lagi kangen sama calon istrinya ya, Dok, ditelepon aja, biar tenang," ujar Rania dengan polosnya.
"Orangnya nggak pekaan, tapi lumayanlah sedikit menghibur. Aku bisa minta tolong nggak, Ra?" pintanya mengikis jarak.
"Minta tolong apa, Dok? Insya Allah, kalau aku bisa bantu, aku mau."
"Mudah banget kok, tolong peluk aku, Ra, aku lagi kangen sama mama, biasanya beliau selalu yang bisa nenangin kalau aku lagi pingin dimanja."
"Hah, peluk ya?" Seketika muka Rania mendadak gugup sendiri.
"Iya, Ra, kamu peluk aku, tolong ya, aku sedang rindu," mohonnya dengan wajah sendu. Muka galak dan cuek yang sering gadis itu temukan dalam diri Rayyan, lenyap tak nampak malam itu.
"Ra, boleh ya?" ujarnya dengan tubuh lebih rapat, tanpa aba-aba pria itu menarik tubuh gadis itu dan memeluknya begitu erat, menghirup wangi tubuh Rania yang entah sejak pagi itu menjadi favoritnya.
"Dok, ini meluknya sampai kapan?" Rania merasa tubuhnya semakin terhimpit.
"Hmm, lima menit lagi Ra," pintanya nglunjak.