Ina dan Izhar memasuki kamar pengantin yang sudah disiapkan secara mendadak oleh Bu Aminah, ibunya Ina.
Keduanya duduk terdiam di tepian ranjang tanpa berbicara satu sama lain, suasana canggung begitu terasa, mereka bingung harus berbuat apa untuk mencairkan suasana.
Izhar keluar dari kamar mandi dan masuk kembali ke kamar setelah berganti pakaian di kamar mandi, sementara itu, Ina kesulitan untuk membuka resleting gaun pengantinnya, yang tampaknya sedikit bermasalah.
Ina berusaha menurunkan resleting yang ada di punggungnya, namun tetap gagal, membuatnya kesal sendiri.
Izhar yang baru masuk ke kamar pun melihat kesulitan istrinya, namun tidak berbuat apapun, ia hanya duduk kembali di tepian ranjang, cuek pada Ina.
Ina berbalik pada Izhar, sedikit malu untuk meminta tolong, tetapi jika tak di bantu, dia takkan bisa membuka gaunnya, sedangkan Ina merasa sangat gerah maka, "Om, bisa tolong bukain reseltingnya gak? Aku gagal terus!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Orie Tasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Ina merenung sendirian di kamarnya dengan posisi duduk di ujung ranjang, air mata menetes dari sudut matanya. Ina masih tak percaya kalau ciuman pertamanya justru di ambil oleh mantan kekasihnya sendiri, bagi sebagian perempuan mungkin itu hal yang biasa, bahkan dilakukan dengan dasar sama-sama suka. Namun tidak bagi Ina, dia justru sangat terluka dan merasa ternodai oleh perbuatan Isha padanya.
Pintu kamar terbuka, Izhar yang baru pulang dari kerjanya masuk.
Saat dilihat Ina hanya diam tak bergeming di tempat tidur, Izhar tidak begitu peduli, ia pikir Ina sedang tidak bergairah untuk berkelakuan random seperti biasa.
Izhar menyimpan tas nya, membuka kemeja dan arloji, lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Izhar mengguyur tubuhnya dengan air hingga bersih, tak lupa sabun dam shampo juga membusai dirinya dan membilas hingga bersih.
Setelah mandi, Izhar langsung masuk ke ruang ganti, dimana baju-bajunya berada, beserta barang-barang pribadinya.
Usai berpakaian, Izhar keluar lagi dan menyisir rambutnya.
Ketika menoleh pada Ina, gadis itu masih tak bergeming, dia masih duduk di tempatnya, bahkan seperti tidak bergerak sama sekali sejak tadi.
Izhar heran, tak biasanya Ina seperti itu, si gadis random yang tiba-tiba diam membuat Izhar sedikit kesepian.
Izhar menghampiri Ina dan berdiri di hadapannya.
"Kamu kenapa? Tumben banget gak berlaku random," tanya Izhar.
Ina tak menjawab.
Izhar mengangkat wajah Ina menghadap padanya, ia pun menyadari kalau Ina menangis.
"Kamu kenapa nangis?" tanya nya lagi.
Ina lagi-lagi tak menjawab, sulit sekali jika harus jujur pada Izhar alasan kenapa dirinya menangis.
Izhar tentu saja akan sangat murka jika tahu apa yang terjadi padanya dan Isha di sekolah tadi.
Izhar menghapus air mata Ina dengan tangannya, lalu meraih tangan Ina dan menggenggamnya. Walaupun dia tak tahu apa yang terjadi, tapi dia yakin Ina sedang membutuhkan tempat untuk bersandar.
"Ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanya Izhar lagi.
Genggaman tangan Izhar yang lebih besar dari tenaganya itu membuat Ina hangat, hingga dia pun membalas genggaman tangan suaminya.
Ina menatap Izhar, pria cuek nan dingin itu terlihat tulus disaat seperti ini, bahkan menatap wajahnya saja membuat Ina tenang. Tapi, Ina tak tahu bagaimana ekspresi wajah Izhar jika dia tahu bibirnya itu sudah di dahului oleh Isha, adiknya sendiri.
Tanpa menjawab satu pun pertanyaan Izhar, Ina langsung menghambur memeluk Izhar erat.
Izhar cukup kaget, tiba-tiba Ina memeluknya. Tapi tak bisa menolak juga, karena Ina sedang sedih, akan sangat jahat jika Izhar menolak pelukan itu.
"Om, menurut Om, apa cewek yang udah ciuman sama cowok itu kotor?" tanya Ina.
"Maksudnya?"
"Iya, cewek yang pacaran sama cowok, biasanya mereka itu udah ciuman atau peluk-pelukan gitu.
Menurut Om, apa cewek itu kotor?"
Izhar diam sejenak.
"Entahlah, saya nggak tahu harus jawab seperti apa, selama hidup pun saya gak pernah berciuman dengan lawan jenis, jadi saya nggak tahu harus mengatakan apa. Tapi yang pasti, perempuan dan laki-laki yang belum menikah itu gak boleh berciuman apalagi sampai tidur bareng, karena itu dosa," jelas Izhar, menjelaskan apa yang di ketahuinya.
Ina melepas pelukannya dan menatap Izhar dengan tangan yang masih melingkar di leher Izhar.
"Kalau misal ciumannya di curi, gimana? Misal, ceweknya gak mau, tapi cowoknya curi-curi ciuman dari ceweknya, apa itu dosa juga?" tanya Ina lagi.
"Dosa, dosanya adalah karena si perempuan mau di ajak berduaan dan memberikan celah kepada si lelaki untuk menciumnya, meskipun dia gak mau."
Ina sedikit lega mendengar jawaban dari Izhar, dengan begitu Ina tidak berdosa karena tidak termasuk pada salah satunya. Dia di cium Isha tanpa persetujuan darinya dan juga di di tarik masuk ke ruang OSIS secara paksa.
Namun, yang Ina tahu, ciuman dengan Isha tetaplah dosa baginya karena sudah menikah. Ina merasa telah berkhianat pada Izhar, walaupun secara tak langsung.
"Kenapa tanya itu?" tanya Izhar lagi.
Ina menggelengkan kepala, "Bukan apa-apa, cuma pengen tahu aja," jawab Ina berbohong.
Izhar justru memicingkan mata pada istrinya, tatapan mencurigai.
"Kenapa Om tatap aku kaya gitu? Om pasti mikir yang nggak-nggak 'kan tentang aku, karena aku nanyain perkara itu?" Ina langsung bisa menebak.
Izhar tersenyum, "Itu tahu, kalau kamu bertanya seperti itu, memang sepertinya kamu sedang ada di fase itu," jawab Izhar dengan senyum manisnya.
Ina terpesona pada senyuman suaminya, untuk pertama kali Izhar tersenyum semanis itu padanya.
'Ternyata si manusia kulkas bisa senyum semanis itu juga ya? Gak nyangka banget, dia bakal seganteng itu waktu senyum! Aigo aigo!' Ina bersorak dalam hati, mengagumi senyuman suaminya yang langka itu.
"Saya benar 'kan?" tanya Izhar, membuyarkan lamunan Ina tentang senyumannya.
"Idih, nggak! Aku tanya kayak gitu karena temanku yang tanya ke aku dan aku gak bisa jawab, jadi aku tanya Om, gitu!" Ina mengelak.
Kalaupun iya, Ina tak mungkin jujur pada Izhar, bukan?
Bisa jadi, akan ada perang dunia ketiga nantinya.
"Ngelak aja, dari ekspresi kamu aja udah kelihatan kok. Dasar bocah..." Izhar menjawel kedua pipi Ina dengan gemasnya.
"liih... Sakit, Om... Ini KDRT namanya..." Rengek manja Ina pada Izhar, yang masih asyik menarik-narik pipi Ina ke samping.
"KDRT apanya? Saya gak mukul kamu loh, cuma cubit mah gak apa-apa," Izhar membela diri tanpa mau melepaskan pipi Ina.
"Sama aja!"
"Beda dong... Uuuhhhh... Gemasnya!" Izhar malah semakin asyik memainkan pipi Ina.
"Om juga rasain nih!"
Ina meraih kedua pipi suaminya dan balas memainkan pipi Izhar gemas.
Ina dan izhar akhirnya jadi saling bermain pipi satu sama lain.
'tok tok tok'
Pintu kamar Izhar di ketuk, membuat Ina dan Izhar berhenti dari keisengan mereka bermain pipi. Mereka saling melepaskan pipi yang sejak tadi mereka mainkan.
"Mas Iz, makan malamnya sudah siap!" Bi Tati memberitahu Izhar.
"Ya, saya segera turun!" sahut Izhar.
Bi Tati tidak berkata lagi setelah mendapatkan jawaban dari Izhar, wanita itu kembali turun.
"Ayo makan dulu, Ibu dan yang lain sudah menunggu di meja makan!" ajak Izhar pada Ina.
Ina menggelengkan kepala, "Aku nggak laper, Om," ucap Ina.
"Kenapa? Bukannya kamu belum makan malam?
Kenapa malah bilang nggak laper?" tanya Izhar lagi.
"Nggak laper aja, Om, tadi sore aku sempat makan bakso, jadi perut aku kenyang, makanya sekarang aku nggak mau makan." Ina beralasan.
Sebenarnya, Ina bukan tidak lapar, tetapi Ina enggan pergi ke meja makan dan bertemu dengan Isha. Ina masih belum bisa memaafkan pemuda itu, yang telah mencuri ciuman pertamanya, Ina membenci mantan kekasihnya.
"Itu 'kan tadi sore, beda cerita kalau dengan sekarang.
Kamu harus tetap makan, biar kamu nggak kelaparan di saat kamu tidur," Izhar menimpali.
Sebagai seorang dokter, Izhar banyak tahu tentang kesehatan, terutama kondisi perut jika tidur dalam keadaan lapar.
"Nggak deh, Om, aku masih kenyang. Silakan Om makan dengan yang lain, aku mau tiduran aja," Ina tetap menolak diajak makan malam, dia benar-benar tidak ingin bertemu dengan Isha.
"Kamu yakin perut kamu kenyang? Nanti kamu bisa kelaparan tengah malam, masih mending kalau misalkan masih ada nasi dan lauknya kamu bisa langsung makan, tapi kalau nggak ada gimana?"
"Aku nggak akan lapar tengah malam kok, aku beneran udah kenyang." Ina meyakinkan.
Izhar tidak bisa memaksa, dia pun meninggalkan Ina sendirian di kamar dan pergi ke ruang makan bergabung bersama yang lain, untuk menikmati makan malam.
"Ina ke mana, Iz? Kenapa dia nggak turun?" tanya Bu Tara, ketika Izhar sudah duduk di bersama mereka.
"Ina bilang dia nggak lapar, katanya tadi sore sudah makan bakso dan perutnya masih kenyang, dipaksa pun dia nggak mau," jawab Izhar.
"Loh, kalaupun memang dia sudah makan bakso, itu kan tadi sore, sekarang ini makan malam, masa iya dia masih kenyang."
"Saya sudah paksa Ina, tapi sepertinya dia memang masih kenyang, sehingga dia terus menolak ketika saya memaksanya untuk makan malam."
"Begitu ya, ya sudah nggak apa-apa kita makan saja, mungkin Ina belum mau makan sekarang. Tapi kita harus tetap menyimpan sebagian makanan ini untuk Ina, siapa tahu nanti tengah malam dia lapar," Bu Tara sangat perhatian pada Ina, sehingga saat menantunya tidak ikut makan pun dia masih memikirkan perut Ina.
Tak lama kemudian, Isha turun dari kamarnya dan duduk di dekat Izhar, pemuda itu celingak-celinguk mencari sosok Ina yang tidak ada di sana.
Isha heran, kenapa Ina tidak ikut makan bersama.
Tapi dia juga tidak berani bertanya apapun kepada Abangnya, karena takut dicurigai oleh Izhar.
Isha tidak mau memikirkan hal yang tidak perlu, dia pun mulai makan bersama yang lain.
"Kamu sama Ina satu kelas 'kan?" Izhar bertanya pada Isha, yang duduk di sampingnya.
"Iya, kenapa memangnya?" Isha balik bertanya.
"Ada apa di sekolah tadi siang? Kenapa Ina menangis?" tanya Izhar lagi.
Isha tertegun, ketika mendengar pertanyaan kakaknya, terlebih saat Izhar mengatakan bahwa Ina menangis.
Isha sekarang tahu, kenapa Ina tidak mau bergabung makan malam bersama mereka, rupanya karena Ina masih sedih atas kejadian tadi siang akibat perbuatannya.
"Kenapa diam?" tanya Izhar lagi.
"Ng-- Nggak ada apa-apa kok di sekolah, semuanya baik-baik aja. Kalau soal Ina menangis, gue juga nggak tahu, mungkin dia lagi sedih aja." Isha menjawab dengan sedikit gugup,
"Abang memang baru mengenal Ina selama beberapa minggu, tapi Abang tahu Ina tipe gadis yang ceria dan jarang menangis. Kelakuan dia itu random, dia selalu melakukan tindakan-tindakan yang menurut Abang di luar kebiasaan para gadis seusianya. Ina nggak mungkin menangis tanpa sebab, makanya Abang bertanya sama kamu, karena kamu teman sekelasnya, sudah pasti kamu akan tahu apa yang terjadi di sekolah hingga membuat Ina menangis."
Isha kembali terdiam, entah harus mencari alasan seperti apa untuk menjawab pertanyaan kakaknya.
"Gue sama dia memang berada dalam satu kelas, tapi bukan berarti gue bakal tahu semua tentang dia! Dan apa yang terjadi sama dia, Abang nggak perlu tanya terus ke gue, Abang bisa tanya ke dia langsung!" jawab Isha ketus.
Isha terpaksa menjawab seperti itu, karena tidak menemukan jawaban yang tepat
Izhar menoleh pada adiknya, "Kenapa kamu harus bersikap nggak sopan sama Abang? Abang ini kakak kamu, seharusnya kamu bisa menghormati Abang. Bicaralah dengan kalimat dan cara pengucapan yang sopan, jangan seperti seolah-olah kamu nggak pernah diajarkan oleh ibu dan bapak tentang tata krama kepada orang yang usianya lebih tua." Izhar tersinggung dengan jawaban ketus dari sang adik.
Walaupun dia tahu Isha memiliki sifat yang sama dengannya, pendiam dan cuek. Namun, Izhar tidak suka jika Isha berkata dengan nada ketus padanya, karena dia adalah kakak kandung dari Isha, bukan teman sebayanya.
"Sorry, habisnya gue kesel kenapa Abang harus tanya soal alasan Ina menangis, seakan-akan gue ini si paling tahu apa yang terjadi pada Ina di sekolah. Padahal, gue sama Ina cuma teman biasa di sekolah nggak terlalu akrab, jadi gue nggak tahu apapun tentang dia," Isha meminta maaf dan mencoba memberikan penjelasan kepada kakaknya.
Izhar tidak berkata lagi, ia lanjut menghabiskan makanan yang ada di piringnya.
Orang tua Isha dan Izhar melihat ketegangan pada kedua putranya itu, mereka menjadi cemas jika Izhar tahu kalau Ina adalah mantan kekasih Isha, mereka tak dapat membayangkan bagaimana kecewanya Izhar akan hal itu.
Mereka sangat berharap jika Izhar tidak akan pernah tahu tentang hubungan antara Ina dan Isha sebelum menikah dengannya.
Mereka tidak ingin, jika Izhar kembali terluka dalam Asmara, apalagi sekarang menyangkut adik kandungnya sendiri, itu akan sangat menyakitkan bagi Izhar.
"Isha, kamu harus lebih menghormati kakak kamu, jaga cara bicara kamu dan ucapkanlah dengan baik. Nada bicara kamu jangan tinggi dan jangan pula ketus kepada Abang, itu akan membuat kakak kamu tersinggung. Bapak selalu mengajarkan kamu untuk berbicara dengan baik kepada orang yang lebih tua, jangan samakan Abang dengan teman sebaya kamu." Pak Ja'far menasehati Isha.
"Iya, Isha minta maaf," ucap pemuda itu tanpa ekspresi.
Makan malam berlalu dengan tanpa obrolan lagi, Isha dan Izhar sama-sama diam, begitu pula dengan kedua orang tua mereka.
***
Tengah Malam
Ina terbangun dari tidurnya, perutnya terasa tak enak.
Ina bangun dan duduk.
'krucuk krucuk krucuk'
Perut Ina berbunyi, pertanda bahwa dia sedang lapar.
'Aduhhh... Gue laper nih... Tapi gue gak mau ke dapur, gue malu,' Ina membatin, perutnya terasa sangat lapar, tapi dia juga tak berani pergi ke dapur untuk mencari makanan.
Ina mengusap-usap perutnya, terakhir kali perutnya di isi adalah tadi siang dan Ina belum mengisi perutnya dengan apapun lagi.
Ina menoleh pada Izhar yang terlelap, 'Masa iya gue harus bangunin dia sih? Gue malu, tadi udah bilang kalau gue gak akan lapar tengah malam,' Ina gengsi.
Meski begitu, perut laparnya tidak bisa di ajak kompromi, mau tidur lagi pun sulit jika perut lapar.
Karena tak punya pilihan, Ina mendekat ke arah Izhar.
Ina menyentuh bahu Izhar dan sedikit memenggerakkannya
"Om, bangun!" Ina membangunkan Izhar pelan.
Izhar yang tak sulit di bangunkan, membuka mata seketika.
"Apa?" tanya nya, setengah sadar.
"Om."
Izhar menoleh pada Ina, "Ada apa? Kenapa bangunkan saya jam segini?" tanya Izha mengucek matanya.
"Aku laperrr..." Rengek Ina, sambil memegangi perut.
"Lapar? Tuh 'kan, saya bilang juga apa, kamu akan kelaparan tengah malam, tadi di ajak makan malam gak mau, jadinya ya begini kalau ngeyel!" Izhar mengomel, tidurnya terganggu.
"Maaf, tapi please... Bantuin, aku laperrr..." Ina memohon bantuan Izhar.
Dengan sangat kesal, Izhar turun dari ranjangnya dan menghampiri Ina.
Izhar menuntun tangan Ina dan membawanya keluar dari kamar. Izhar akan membawa Ina ke dapur untuk makan.
Izhar mendudukkan Ina di meja makan, ia mengambilkan makanan yang tadi di sisakan oleh Bu Tara untuk Ina dan menghangatkannya.
Ina menunggu di meja makan sambil memperhatikan suaminya yang tengah menghangatkan makanan.
'Dia baik juga ya, gue kira kalau manusia kulkas itu gak akan sebaik ini.' Gumam Ina dalam hati.
Ina kemudian datang pada Izhar dan memeluknya dari belakang.
"Kamu ngapain? Saya lagi panaskan lauknya,
sebaiknya kamu tunggu di meja aja," Izhar agak aneh kalau dapat pelukan seperti itu.
"Memangnya gak boleh ya, kalau istri sah peluk suaminya sendiri?"
"Bukan gak boleh, tapi rasanya aneh kalau di peluk dari belakang, belum pernah soalnya."
"Ya, kan sekarang buat yang pertama kalinya, jadi biasain aja ya, hehehe."
"Nakal!"
Ina terkekeh, walaupun di omeli tapi Ina suka.
Bersamaan dengan itu, Isha juga turun dari kamarnya menuju dapur, untuk mengambil minum.
Tetapi, baru saja sampai di ambang pintu dapur, langkah Isha terhenti saat melihat Ina sedang memeluk Izhar dari belakang.
Ina juga tampak sedang mengusili suaminya, dengan menggelitik Izhar yang sedang menghangatkan makanan.
Jelas saja Izhar merasa geli, ia meletakkan spatula di wajan dan berbalik pada Ina. Izhar membalas gelitikan Ina, hingga gadis itu tertawa terbahak-bahak dengan tubuh menggelinjang karena geli.
Isha meradang melihat itu, tangannya mengepal, cemburu melihat Ina dan Izhar yang mulai mesra.
Isha memilih untuk mengurungkan niatnya mengambil air minum dan pergi dari tempat itu dengan menahan emosi.
...***Bersambung***...