Virginia Fernandes mencintai Armando Mendoza dengan begitu tulus. Akan tetapi kesalah pahaman yang diciptakan Veronica, adik tirinya membuatnya justru dibenci oleh Armando.
Lima tahun pernikahan, Virginia selalu berusaha menjadi istri yang baik. Namum, semua tak terlihat oleh Armando. Armando selalu bersikap dingin dan memperlakukannya dengan buruk.
Satu insiden terjadi di hari ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Bukannya membawa Virginia ke rumah sakit, Armando justru membawa Vero yang pura-pura sakit.
Terlambat ditangani, Virginia kehilangan bayi yang tengah dikandungnya. Namun, Armando tetap tak peduli.
Cukup sudah. Kesabaran Virginia sudah berada di ambang batasnya. Ia memilih pergi, tak lagi ingin mengejar cinta Armando.
Armando baru merasa kehilangan setelah Virginia tak lagi berada di sisinya. Pria itu melakukan berbagai upaya agar Virginia kembali.
Apakah itu mungkin?
Apakah Virginia akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Mencari Virginia
Armando mengendarai mobilnya dengan pikiran kosong. Melaju tak tentu tujuan. Tak tahu kemana lagi harus mencari Virginia.
“Sergio…!” Tiba-tiba sebuah ingatan terlintas di benaknya. “Sergio memiliki banyak koneksi. Dia pasti bisa membantu mencari Virginia.”
Dengan segera Armando memperhatikan jalan di mana dia bisa putar balik untuk pergi ke tempat adik iparnya.
“Shit, kenapa aku bisa menyasar sampai di tempat ini?” gerutunya ketika menyadari mobil yang dia kendarai telah berada jauh di luar kota.
Armando tiba di rumah Sergio dan Cecilia ketika malam telah larut. Menggebrak pintu dengan kasar, tak peduli jika barangkali pemilik rumah sedang tertidur pulas.
Di dalam kamar Sergio dan Cecilia.
Mendengar suara gedoran yang memekakkan telinga, Sergio menggeliat, mengucek kedua matanya dengan punggung tangan, mengambil ponsel di atas nakas, melihat penunjuk waktu. Pukul dua belas malam.
“Siapa yang datang tengah malam begini?” Sergio kembali menggerutu. Melirik sisi ranjang, sang istri masih tertidur pulas setelah olahraga malam beberapa saat lalu.
Merasa malas, mata benar-benar seperti terkena lem, tapi terpaksa turun dari ranjang karena gedoran di pintu tak juga berhenti.
Mereka memang tidak mempekerjakan pelayan di rumah minimalis yang mereka huni, hanya seorang tenaga bersih-bersih itu pun langsung pulang jika pekerjaan selesai, tidak ada yang menginap di sana, karena Sergio tidak mau ada yang mengganggu privasinya bersama sang istri.
Membuka pintu dengan kesal,
“Sergio aku tahu kamu punya koneksi. Tolong carikan seseorang.”
Sergio terbelalak saat mengetahui yang datang adalah Armando, kakak iparnya. “Tengah malam seperti ini mau mencari siapa? Apa kamu tidak lihat jam berapa sekarang?” Sergio enggan berbicara sopan. Melangkah masuk ke dalam rumah meninggalkan Armando yang masih berdiri di depan pintu.
Melihat Sergio yang tampak tak peduli Armando segera mengejarnya. “Aku ingin kamu membantuku mencari Virginia Fernandez!” teriak Armando.
Seketika Sergio membalikkan badannya, menatap Armando dan mengerutkan kening. Mengorek telinga dengan ujung jari kelingking. Tidak mempercayai pendengarannya sendiri.
“Virginia? Kamu ingin mencari Virginia? Apa aku tidak salah dengar? Atau mungkin kamu yang salah ucap? Ah tidak, pasti aku yang salah dengar. Mana mungkin kamu mencari Virginia.”
Armando tahu Sergio mungkin tidak percaya padanya, ia memegang dua bahu Sergio dan mengguncang kasar.
“Tadi pagi Cecilia datang ke rumah. Cecilia bilang Virginia menenggelamkan diri ke laut, tapi aku tidak percaya. Dia pasti bohong. Dan sekarang aku tahu beberapa hal menyangkut Virginia. Pokoknya sekarang tolong carikan Virginia untukku!”
“Dengar, Armando! Cecilia bilang ada kemungkinan Virginia sudah meninggal!” ucap Sergio
“Tidak mungkin!” bantah Armando. “Virginia sangat mencintaiku, tidak mungkin dia melakukan seperti apa yang diucapkan oleh Cecilia. Sebelumnya aku … aku salah paham padanya. Aku akui itu kesalahanku. Pokoknya sekarang, aku minta tolong carikan Virginia untukku!” Armando berteriak frustasi.
“Baiklah, jangan panik. Aku akan membantumu.” Sergio segera mengajak Armando untuk masuk ke dalam rumah. Lalu keduanya duduk di ruang tengah Sergio mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang .
"Hallo, Kai..."
"[. ..... ]"
"Maaf, aku mengganggumu tengah malam. Aku butuh bantuanmu!"
"[..... ... ...]"
"Aku mau kamu membantuku mencari seseorang. Datanya akan ku kirim ke emailmu."
"[ ... ... ...]"
"Baiklah, akan kutunggu."
Sergio setelah menutup panggilan. “Kita tunggu, temanku sedang mengusahakan,” ucapnya.
Armando mengangguk. Untuk istrinya, ia akan patuh pada Sergio. Asal bisa menemukan Virginia, apa pun yang diminta Sergio akan ia berikan.
*
*
*
Entah berapa banyak puntung rokok yang berjubel di atas asbak, tapi Armando masih belum juga berhenti. Bahkan Sergio yang duduk di sebelahnya sudah tertidur pulas karena kelelahan tapi Armando masih juga tak ingin memejamkan mata.
Asap rokok masih mengepul di sela-sela jarinya. Pria itu tampak putus asa, hingga melihat ponsel Sergio yang tergeletak di atas meja tiba-tiba menyala. Armando mematikan rokok yang ada di tangannya dan mengambil ponsel itu.
“Sergio…! Sergio bangun…!” Armando mengguncang tubuh adik iparnya tanpa perasaan. “Sergio, cepat bangun ponselmu menyala! Sergio…!”
Merasa tidurnya terganggu, Sergio menggeliat. “Ada apa?” tanyanya sambil menutup mulutnya yang menguap.
“Ini lihat, ponselmu menyala!” Armando menyerahkan ponsel Sergio ke tangan adik iparnya. “Buka matamu dan cepat terima panggilan!”
Sergio membuka ponsel yang diberikan oleh Armando sambil berusaha membuka mata yang terasa lengket. Panggilan telah berhenti membuat Armando menjadi gusar.
“Cepat hubungi dia kembali!” perintahnya.
Sergio mengangguk sambil menguap. Melihat penunjuk waktu pada ponsel, pukul tiga dini hari. Jejak panggilan baru beberapa menit yang lalu, berarti kemungkinan teman yang baru dihubungi masih on. Sergio menegakkan badannya lalu segera melakukan panggilan.
“Hallo, Kai. Kau baru saja menghubungiku? Bagaimana hasilnya?” tanya Sergio.
Armando menatap Sergio yang sedang bertelepon dengan penuh harap. “Sergio, bagaimana? sudah ketemu kan?” tanya pria itu.
"[ ... ... ... ]"
Sergio terdiam mendengar apa yang disampaikan oleh orang di seberang sana. “Baiklah, terima kasih atas informasinya.”
Sergio menutup panggilan dengan wajah datar. Pandangannya kosong, punggungnya yang tadi tegak kembali luruh bersandar pada sofa yang didudukinya.
“Sergio, bagaimana? Berita apa yang didapat temanmu? Virginia, dia ada di mana? Dia ada di mana? Cepat Katakan padaku!” Armando begitu tidak sabar apalagi melihat Sergio yang tiba-tiba terdiam wajah sergi yang berubah pias menjadi tanda tanya baginya.
“Sergio, cepat katakan!” Armando berteriak frustasi.
Sergio menatap Armando sendu. “Armando Mendoza, tenang dan dengarkan aku! Cecilia tidak berbohong, kakak ipar benar sudah menenggelamkan diri ke laut tepat di malam kalian bercerai.” ucapnya lirih.
Armada tertawa terkekeh, tawa yang menyakitkan. Tanpa sadar sambil mengeluarkan air mata. Ha ha ha… dan tawa itu menjadi semakin kencang.
Sergio menggelengkan kepala melihat reaksi kakak iparnya. “Armando, aku tahu kamu sulit menerima kenyataan. Akan tetapi inilah yang terjadi sebenarnya.”
Armando tertawa terbahak-bahak mengusap wajahnya kasar. “Kenapa semua orang ingin sekali bersandiwara membohongiku? Virginia Fernandez , kamu benar-benar hebat. Aku tidak menyangka kali ini kamu sampai membayar semua orang untuk menipuku, bahkan menyuap sahabat terbaikku.” Armando memukul kecil bahu Sergio dengan kepalan tangannya, masih sambil tertawa lebar.
“Armando Mendoza, apa maksudmu dengan berkata seperti itu? Apa kamu berpikir aku sedang bermain-main? Apa Kamu berpikir aku sedang bersandiwara?” Sergio berteriak marah.
Dibangunkan di tengah malam, dipaksa membuka mata demi mencari informasi, bahkan kehilangan waktu tidurnya. Namun, apa yang telah ia usahakan dianggap main-main.
“Sergio aku paham kamu kesal karena aku mengabaikan Virginia. Kamu kecewa padaku. Tapi aku sahabatmu, bahkan aku adalah kakak iparmu. Bagaimana bisa kamu menipuku untuknya?” Armando menggeleng penuh rasa kecewa, merasa dikhianati.
“Armando Mendoza! Kamu gila ya? Kita tumbuh besar bersama. Bagaimana mungkin kamu tidak bisa mengenaliku? Kamu pikir aku bermain-main dengan hal seperti ini?” teriak Sergio.
Armando berdiri dari duduknya, menyimpan dua tangan di saku celana, menatap Sergio dingin.
“Apapun yang kamu katakan aku tidak akan percaya. Virginia tidak mungkin menyakiti diri sendiri. Di dunia ini tak ada satu orang pun yang lebih paham tentang dirinya dariku. Dia begitu kuat, begitu sabar. Bagaimana mungkin dia akan meninggal sebelum benar-benar mendapatkanku?”
“Dia sangat mencintaiku, dia rela mengikat diri bersamaku, terikat bersamaku selama lima tahun. Bagaimana mungkin dia bunuh diri! Dia tidak mungkin menyakiti diri sendiri sendiri. Aku tidak akan percaya dia bunuh diri.”
Sergio menggeleng mendengar setiap ucapan Armando. Tampaknya kakak iparnya tidak bisa menerima kenyataan yang dia dengar tentang mantan istrinya.
mendapatkan perlakuan sama pria-pria berjas hitam....
mendapatkan perlakuan sama dari pria-pria berjas hitam
untung adik iparnya waras
dan lepas Virginia