Maksud hati merayakan bridal shower sebagai pelepasan masa lajang bersama teman-temannya menjelang hari pernikahan, Aruni justru terjebak dalam jurang petaka.
Cita-citanya untuk menjalani mahligai impian bersama pria mapan dan dewasa yang telah dipilihkan kedua orang tuanya musnah pasca melewati malam panjang bersama Rajendra, calon adik ipar sekaligus presiden mahasiswa yang tak lebih dari sampah di matanya.
.
.
"Kamu boleh meminta apapun, kecuali perceraian, Aruni." ~ Rajendra Baihaqi
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 - Belum Cemburu
"Nggak akan!!"
"Kalau sampai iya gimana?" Dea kembali bertanya dan kali ini dia tengah mengajak Aruni taruhan.
Diam, Aruni tampak bingung dan menggigit bibirnya, entah kenapa hati kecilnya justru tak seyakin tadi. Namun, tetap saja pada akhirnya dia menjawab tegas. "Ya, sudah kubilang nggak akan."
Nada bicaranya juga mulai sedikit lebih turun. Bisa dibilang, Aruni kurang percaya diri karena sedikit dari dalam hatinya mengakui, bahwa memang dia tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi di kemudian hari.
Bisa jadi benar Rajendra akan menjadi orang terfavorit dan cerita tentang pria itu terlampau menarik untuk dia dengar. Namun, lisan Aruni terlalu enggan untuk mengakui hingga masih keras hati.
Dan, ya, ketiga temannya tidak ingin kian memperpanjang masalah. Untuk saat ini mereka akan menjadi tim yang menunggu kejadian selanjutnya.
Dilihat-lihat, wajah Aruni sudah begitu kusut, pertanda dia memang sangat tidak nyaman dengan pembicaraan yang tengah dibahas.
Karena itu, Anjani memulai untuk kembali mengendalikan situasi. Sesuai dengan rencana, mereka tidak akan hanya makan, tapi juga menonton film yang saat ini tengah digandrungi banyak kalangan.
Sayangnya, suasana hati Aruni sudah telanjur buruk dan sepanjang menonton dia hanya melamun dengan pikiran yang tak tentu ke mana arahnya.
Alur film yang disajikan di layar kaca bahkan tidak bisa diterima akalnya. Ingin sekali dia keluar sebelum filmnya tuntas, tapi lagi dan lagi Aruni masih menjaga perasaan teman-temannya dan tidak ingin mereka tersinggung pada akhirnya.
"Gimana filmnya, bagus 'kan?" Dea memulai pembicaraan sembari merangkul pundak Aruni yang berjalan dengan langkah panjang.
"Lumayan," jawab Aruni seadanya, 180 derajat berbeda dari dia yang biasanya begitu excited dan mereview film tersebut berdasarkan sudut pandangnya.
Tentu saja hal itu sangat disadari ketiga temannya dan menciptakan hening yang seketika mencekam di antara mereka. "Kok gitu jawabnya?"
"Gitu gimana?" Aruni balik bertanya, berlagak tidak tahu padahal dia sebenarnya sadar apa yang dia rasakan sekarang.
"Ya gitu, biasanya kamu semangat banget ... sekarang cuma seiprit, marah ya karena kami bahas Kak Rajendra mulu tadi?"
Sudah tahu masih saja bertanya, ingin sekali Aruni mengatakan hal serupa. Namun, dia enggan mengatakan yang sejujurnya.
"Bukan."
"Bukan tapi kok gitu?"
"Memang bukan, sudahlah ... mending kita pulang deh, aku capek banget," ucapnya mulai terang-terangan menyampaikan keluhan karena memang sudah tak betah di sana.
"Cepet banget sih, Runi, biasanya kita kalau main bisa sampai malam loh," ucap Anjani tampak tak rela andai Aruni akan pulang hanya setelah film tersebut.
"Iya, kalian tahu sendiri keadaannya sudah beda ... Mommy pasti marah kalau aku sampai lupa waktu dan, kebetulan aku nggak izin sama mereka soalnya."
"Waduh? Terus sama siapa kamu izinnya? Oma ya?"
"Nggak juga."
"Ya ampun, Aruni!! Bisa-bisanya sih?" Aruni yang tak pamit, tapi Dea yang cemasnya karena dia tahu seposesif apa keluarga Aruni.
Meski Mommy-nya masih bisa diajak kerja sama, tapi Omanya yang gaul itu super mengerikan dan tak jarang mereka bertiga kena getahnya.
"Tenang, aku izin sama Kak Rajendra ... perginya juga diantar, aku rasa cukup kali ya."
Kompak mereka bertiga menghela napas lega, setidaknya mereka terlepas dari kemurkaan ratu dunia kegelapan, Mikhayla.
"Ah iya, syukurlah kalau gitu ... tapi tetap saja nggak bisa pulang malem berarti?"
"Ya nggak bisa, kalian tahu sendiri kalau Oma marah gimana 'kan?" Hanya demi bisa pulang segera, Aruni menggunakan senjata andalan, Omanya.
Ketiga temannya tak lagi bisa merayu, bahkan melontarkan ajakan untuk menghabiskan di Playground seperti biasa tidak mampu.
"Ya sudah kalau begitu, kita pulang saja ... anyway kamu dijemput atau_"
"Naik taksi aja, tadi nggak bilang minta jemput soalnya," sahut Aruni kemudian melanjutkan langkah.
Diikuti ketiga temannya yang juga tampak pasrah mengakhiri kebersamaan ini. "Yaah sayang banget, padahal kan aku mau ketemu sama kak Rajendra."
"Ih Dea mulai deh, kamu sadar nggak sih yang kamu ajak ngomong itu istrinya?" Sembari menoyor kepala Dea yang terang-terangan menggatal di hadapan istri sah, Anjani bertanya demikian hingga menimbulkan senyum tipis di wajah Aruni tanpa dia sadari.
"Ha-ha-ha, biarin ... selagi Aruni belum keberatan kita sebut saja."
"Dih, maksudnya apa?" Aruni mengerutkan dahi dan ucapan Dea agak sedikit aneh di telinganya.
"Ya gitu, kan saat ini kamu belum keberatan aku nyebut-nyebut kak Rajendra mulu, nanti saat kamu sudah cemburuan mana bisa aku jadi cegilnya Rajendra lagi."
Tak tertarik memberikan tanggapan, Aruni hanya memutar bola matanya malas. Sementara itu, kedua temannya yang lain kompak bertepuk tangan.
"Keren, setidaknya sadar diri ya."
"Lah iya dong, sebatas fans aku sangat diri ... jangan sam-eh bentar!!" Langkah Dea terhenti, tangannya sontak menahan pergelangan tangan Aruni dengan mata yang menatap lurus ke depan.
"Apaan sih?"
"Itu!!" Bibir Dea tampak bergetar, telunjuknya perlahan terarah kepada seseorang yang tampak menunggu di samping mobil merah tepat di depan mall tersebut.
Aruni mengikuti arah telunjuk Dea, dan dia cukup terkejut tatkala sadar Rajendra tengah menunggu di sana.
"Katanya nggak dijemput, itu siapa yang di depan hayo?"
.
.
- To Be Continued -