(Warisan Mutiara Hitam Season 2)
Setelah mengguncang Sekte Pedang Awan dan memenggal Jian Chen, Chen Kai mendapati bahwa kemenangannya hanyalah awal dari mimpi buruk baru. Sebuah surat berdarah mengungkap kebenaran yang meruntuhkan identitasnya: ia bukan anak Klan Chen, melainkan putra dari buronan legendaris berjuluk "Sang Pengkhianat Naga".
Kini, Klan Jian dari Ibu Kota memburunya bukan demi dendam semata, melainkan demi "Darah Naga" di nadinya—kunci hidup untuk membuka segel terlarang di Utara.
Demi melindungi adiknya dan mencari jati diri, Chen Kai menanggalkan gelar Juara dan mengasingkan diri ke Perbatasan Utara yang buas. Di tanah tanpa hukum yang dikuasai Reruntuhan Kuno, Sekte Iblis, dan Binatang Purba ini, Chen Kai harus bertahan hidup sebagai pemburu bayangan. Di tengah badai salju abadi, ia harus mengungkap misteri ayahnya sebelum darahnya ditumpahkan untuk membangkitkan malapetaka kuno.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengais Hantu
Tiga hari berjalan di Padang Abu terasa seperti berjalan di permukaan bulan yang mati.
Tidak ada matahari yang jelas, hanya piringan pucat di balik kabut kelabu yang abadi. Tidak ada orientasi waktu, hanya siklus antara "abu terang" dan "abu gelap". Dan yang paling parah, debu di sini memiliki sifat aneh—ia menempel pada kulit dan menyedot sedikit demi sedikit kelembapan serta Qi dari tubuh.
"Air kita tinggal setengah," lapor Xiao Mei, mengguncang botol kulit di tangannya. Suaranya serak, bibirnya pecah-pecah.
Manajer Sun berjalan dengan bantuan tongkat yang dibuat dari sisa tulang Golem. Wajahnya yang keriput tertutup lapisan debu abu-abu, membuatnya tampak seperti mayat hidup. "Kota terdekat, 'Pos Perdagangan Besi', masih dua hari perjalanan lagi ke barat. Kita harus menghemat air."
Chen Kai berjalan di depan, memecah angin. Dia satu-satunya yang tidak terlihat lelah. 'Tulang Api'-nya memberikan kehangatan internal yang menjaga tubuhnya tetap prima, dan kulitnya yang sekeras giok menolak debu korosif itu.
"Berhenti," kata Chen Kai tiba-tiba.
Dia mengangkat tangan kanannya.
"Ada apa, Tuan Pengembara?" tanya Manajer Sun tegang. "Golem lagi?"
"Bukan," Chen Kai menunjuk ke cakrawala utara. "Itu."
Di kejauhan, dinding raksasa berwarna hitam pekat sedang bergerak ke arah mereka. Itu bukan dinding batu, melainkan dinding angin dan debu yang berputar dengan kecepatan mengerikan, membentang dari tanah hingga ke langit.
Badai Abu Hitam.
Fenomena alam paling mematikan di Padang Abu. Butiran pasir di dalam badai itu bergerak begitu cepat hingga bisa menguliti manusia hidup-hidup dalam hitungan menit.
"Demi Dewa..." wajah Manajer Sun pucat pasi. "Kita tidak bisa lari dari itu. Kecepatannya sepuluh kali lipat kuda perang."
"Cari perlindungan!" perintah Chen Kai. Matanya yang tajam menyapu lanskap yang datar dan membosankan itu.
"Di sana!" Xiao Mei menunjuk ke arah gundukan besar sekitar lima ratus meter di sebelah kiri.
Itu adalah sisa-sisa menara pengawas kuno yang telah roboh dan terkubur separuh di dalam pasir. Bagian atasnya yang berbentuk kubah masih utuh, menyembul keluar seperti tempurung kura-kura raksasa.
"Lari!"
Mereka berlari sekuat tenaga. Angin mulai menderu, suaranya seperti ribuan lebah yang marah. Pasir-pasir kecil mulai menampar wajah mereka dengan rasa sakit yang menyengat.
Chen Kai menyambar Manajer Sun dan memanggulnya di bahu kiri, lalu menarik tangan Xiao Mei dengan tangan kanan. Dia menggunakan kekuatan fisiknya untuk menyeret mereka berdua, berlari melawan angin yang semakin kencang.
Mereka mencapai reruntuhan menara itu tepat saat tepi badai mulai menyentuh tumit mereka.
Ada celah sempit di antara dua blok batu granit yang runtuh—pintu masuk darurat.
"Masuk!"
Chen Kai melempar Manajer Sun dan Xiao Mei ke dalam celah gelap itu, lalu dia melompat masuk terakhir.
WUUUUUUSSSSHHH!
Dunia di luar menjadi gelap gulita seketika. Suara jeritan angin di luar batu terdengar mengerikan, seolah-olah iblis sedang mencakar-cakar dinding untuk masuk.
Di dalam, suasananya hening dan berbau apek. Chen Kai menyalakan api kecil di ujung jarinya untuk menerangi ruangan.
Mereka berada di sebuah aula bundar kecil yang miring. Lantainya penuh dengan puing-puing dan... tulang belulang.
Tapi bukan tulang kuno. Tulang baru.
Dan ada bekas api unggun yang baru padam di tengah ruangan.
"Kita tidak sendirian," bisik Chen Kai, mematikan apinya seketika.
SRET...
Suara logam ditarik dari sarungnya terdengar dari sudut-sudut gelap ruangan.
"Refleks yang bagus untuk orang asing," suara serak dan mengejek terdengar.
Chen Kai menyalakan apinya lagi, kali ini lebih terang, dan melemparkannya ke udara agar melayang di tengah ruangan.
Cahaya itu mengungkapkan enam sosok yang berdiri mengelilingi mereka.
Mereka mengenakan jubah yang terbuat dari kain perca kotor yang dijahit kasar, topeng gas yang terbuat dari tengkorak binatang, dan memegang senjata-senjata aneh—tombak berkarat, rantai berduri, dan belati bergerigi.
Pengais Hantu.
Mereka adalah hyena-nya Reruntuhan Utara. Penjahat rendahan yang hidup dengan merampok mayat atau pelancong yang tersesat di badai.
Pemimpin mereka, seorang pria bungkuk dengan satu tangan mekanik kasar (terbuat dari sisa Golem), melangkah maju. Dia memegang sebuah kapak bergerigi. Auranya berada di Puncak Tingkat Delapan.
"Masuk ke lubang tikus kami tanpa izin saat badai..." kekeh pemimpin itu di balik topeng tengkoraknya. "Biasanya, tarifnya adalah nyawa. Tapi karena kau membawa wanita muda dan orang tua... mungkin kami bisa negosiasi."
Matanya yang rakus menatap Xiao Mei, lalu ke cincin di jari Manajer Sun.
"Tinggalkan wanita, orang tua, dan semua barang kalian. Kau boleh pergi telanjang ke dalam badai," kata pemimpin itu. "Itu kemurahan hati 'Raja Tikus'."
Manajer Sun mundur selangkah, menggenggam tongkat tulangnya. Xiao Mei bersembunyi di belakang Chen Kai.
Chen Kai berdiri santai, menepuk debu dari jubahnya.
"Aku punya tawaran yang lebih baik," kata Chen Kai datar.
"Oh?"
"Kalian duduk diam di pojok sana. Jangan bicara. Jangan bergerak. Dan aku tidak akan mematahkan leher kalian."
Para Pengais Hantu itu terdiam sejenak, lalu meledak dalam tawa.
"Bocah sombong!" teriak Raja Tikus. "Kau pikir kau siapa? Kau sendirian! Serang! Daging segar untuk makan malam!"
Dua anak buahnya (Tingkat Tujuh) melompat maju, mengayunkan rantai berduri ke arah Chen Kai.
Chen Kai tidak bergerak. Dia tidak menghindar.
Saat rantai besi itu melilit lengan kirinya, dia hanya menyentakkan tangannya.
KRAK!
Rantai itu tidak melukainya. Sebaliknya, Chen Kai menarik rantai itu dengan kekuatan kasar.
Kedua penyerang itu tersentak ke depan, terbang melintasi ruangan seperti layang-layang putus, dan bertabrakan satu sama lain di depan Chen Kai.
BUG!
Chen Kai menangkap leher mereka berdua di udara, satu di tangan kiri, satu di tangan kanan.
"Tidur," katanya.
Dia membenturkan kepala mereka satu sama lain.
TAK!
Keduanya pingsan seketika dan jatuh ke lantai seperti karung basah.
Raja Tikus dan tiga sisanya membeku. Tawa mereka mati di tenggorokan.
"Kekuatan fisik..." gagap Raja Tikus, mundur selangkah. "Kau... kau Penguat Tubuh?"
Chen Kai melangkah maju, melangkahi tubuh dua orang yang pingsan itu. Setiap langkahnya membuat para pengais itu mundur ketakutan.
"Tawaran awalku masih berlaku," kata Chen Kai. "Pojok. Diam. Sekarang."
Raja Tikus menatap kapak di tangannya, lalu menatap lengan Chen Kai yang baru saja menarik dua orang dewasa seperti boneka. Dia menjatuhkan kapaknya.
"Pojok! Cepat ke pojok!" teriaknya pada anak buahnya.
Mereka berebut lari ke sudut terjauh ruangan, duduk meringkuk seperti anak ayam yang ketakutan.
"Duduklah," kata Chen Kai pada Manajer Sun dan Xiao Mei, menunjuk ke dekat bekas api unggun mereka. "Badai ini akan berlangsung lama."
Chen Kai duduk di antara rombongannya dan para pengais, Pedang Meteor Hitam diletakkan melintang di pangkuannya.
Suasana hening dan canggung berlangsung selama satu jam, hanya diiringi suara badai di luar.
Akhirnya, Chen Kai menoleh ke arah Raja Tikus.
"Kau," kata Chen Kai.
"Y-Ya, Tuan Besar?" Raja Tikus tersentak kaget.
"Kau punya berita apa dari luar? Apa yang terjadi di Lembah Tulang Naga?"
Raja Tikus menelan ludah. "I-Itu berita besar, Tuan. Dua hari lalu... ada ledakan besar. Langit berubah merah. Lalu... seekor Naga Tulang raksasa bangkit. Kabarnya Klan Jian hancur lebur. Ratusan mati."
"Dan Jian Lie?"
"Komandan Jian Lie selamat, tapi terluka parah. Dia sekarang ada di 'Pos Perdagangan Besi', mengumpulkan sisa-sisa pasukannya dan menyewa tentara bayaran."
Chen Kai menyipitkan mata. Pos Perdagangan Besi. Itu adalah tujuan mereka selanjutnya.
"Apa yang dia cari?" tanya Chen Kai.
"Dia mencari tiga orang," kata Raja Tikus, melirik curiga ke arah Manajer Sun dan Xiao Mei. "Seorang pemuda dengan pedang hitam, seorang pedagang tua, dan pelayan wanita. Hadiahnya... gila-gilaan. Seratus ribu Batu Roh untuk informasi lokasi mereka."
Manajer Sun menahan napas.
"Menarik," kata Chen Kai tenang, seolah tidak membicarakan dirinya sendiri. "Apa ada lagi?"
"Y-Ya... Karena kekacauan itu, banyak 'Pintu Warisan' kecil di sekitar Reruntuhan Utara mulai terbuka akibat resonansi Qi. Banyak pengembara yang menuju ke 'Hutan Batu Berkabut' di timur Pos Perdagangan. Katanya ada cahaya suci muncul di sana."
"Hutan Batu Berkabut..." gumam Kaisar Yao di benak Chen Kai. "Itu salah satu lokasi yang mungkin menyembunyikan petunjuk Kuil Langit."
Chen Kai mengangguk. Dia melempar sekeping koin emas ke arah Raja Tikus.
"Informasi bagus. Diamlah lagi."
Raja Tikus menangkap koin itu dengan tangan gemetar, mengangguk cepat, dan kembali meringkuk.
Chen Kai memejamkan mata, tapi indranya tetap waspada.
Mereka harus melewati Pos Perdagangan Besi untuk mendapatkan perbekalan dan peta yang lebih baik, tapi Jian Lie ada di sana.
"Kita akan butuh penyamaran yang lebih baik," batin Chen Kai. "Dan mungkin... sedikit pengalihan."
Di luar, badai abu terus mengamuk, menyembunyikan jejak mereka dari dunia yang sedang memburu mereka.