Kinara, seorang gadis berusia 24 tahun, baru saja kehilangan segalanya, rumah, keluarga, dan masa depan yang ia impikan. Diusir ibu tiri setelah ayahnya meninggal, Kinara terpaksa tinggal di panti asuhan sampai akhirnya ia harus pergi karena usia. Tanpa tempat tujuan dan tanpa keluarga, ia hanya berharap bisa menemukan kontrakan kecil untuk memulai hidup baru. Namun takdir memberinya kejutan paling tak terduga.
Di sebuah perumahan elit, Kinara tanpa sengaja menolong seorang bocah yang sedang dibully. Bocah itu menangis histeris, tiba-tiba memanggilnya “Mommy”, dan menuduhnya hendak membuangnya, hingga warga sekitar salah paham dan menekan Kinara untuk mengakui sang anak. Terpojok, Kinara terpaksa menyetujui permintaan bocah itu, Aska, putra satu-satunya dari seorang CEO muda ternama, Arman Pramudya.
Akankah, Kinara setuju dengan permainan Aksa menjadikannya ibu tiri atau Kinara akan menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 35
Cahaya pagi menyelinap lembut dari sela gorden.
Kinara terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat, napasnya masih teratur. Butuh beberapa detik sampai ia menyadari sesuatu yang hangat dan naik-turun di bawah pipinya. Saat kesadarannya sepenuhnya kembali, Kinara menegang.
Kinara tertidur di atas dada Arman. Jantung Kinara langsung berdegup kencang. Wajahnya memanas, perlahan sangat perlahan, ia mengangkat wajah, menatap pria di bawahnya. Arman masih terlelap, wajahnya terlihat lebih tenang dari biasanya, tak ada dingin, tak ada jarak. Hanya garis rahang tegas dan napas yang teratur.
Kinara menatapnya terlalu lama, dan saat itulah, kelopak mata Arman bergerak, lalu terbuka.
Tatapan mereka bertemu.
“Pagi,” suara Arman serak, ada senyum tipis di sudut bibirnya. “Kamu sudah puas menatapku diam-diam?”
Wajah Kinara seketika memerah. “A—aku tidak—”
“Kamu bahkan lupa bangun,” lanjut Arman menggoda, matanya turun sekilas pada posisi Kinara. “Nyaman?”
Kinara tersentak, baru benar-benar sadar posisinya. Dengan panik ia hendak menjauh, tapi justru membuat selimut bergeser. Ia menariknya kembali dengan gugup. Belum sempat suasana canggung itu reda, pintu kamar terbuka dengan suara keras.
"Daddy!"
Kinara reflek menjerit kecil dan langsung bersembunyi di balik selimut tebal. Arman sigap menarik selimut agar tak terlihat apa pun yang mencurigakan.
Aksa berdiri di ambang pintu, menatap sekeliling.
“Loh?” kening bocah itu berkerut. “Mommy dimana?”
Kinara di balik selimut menahan napas.
Arman berdehem santai. “Masuk kamar orang itu harus ketuk pintu dulu. Aksa kan orang, jadi ini kama Aksa juga,”
Aksa mengabaikan, dia menunjuk selimut yang tampak sedikit bergerak.
“Itu kenapa gerak?”
Arman melirik selimut sekilas, lalu tersenyum jail.
“Oh, itu angin topan.”
Di balik selimut, Kinara langsung mencubit pinggang Arman sekuat tenaga.
“Ugh!” Arman meringis pelan, wajahnya menegang menahan sakit.
Aksa menatap curiga. “Daddy kenapa?”
“Tidak apa-apa,” jawab Arman cepat, berusaha tetap tenang meski pinggangnya masih nyeri. “Anginnya … kencang.”
Aksa mengangguk polos. “Oh.”
Lalu senyum lebar merekah di wajahnya. “Kalau gitu nanti sarapan bertiga ya! Aksa mau cari dulu.”
Di balik selimut, Kinara tersenyum kecil, matanya terasa hangat.
Begitu langkah kaki Aksa menjauh dan pintu kamar kembali tertutup, Kinara langsung menyibakkan selimut. Wajahnya merah padam, rambutnya sedikit berantakan, napasnya belum sepenuhnya stabil.
“Aku … aku mau ke kamar,” katanya gugup.
Kinara buru-buru turun dari ranjang. Namun baru satu langkah, ia mengeluh pelan, refleks memegang pinggangnya.
“Auh...”
Arman langsung sigap. “Kenapa?” suaranya berubah khawatir.
Kinara membeku, rasa nyeri yang asing itu membuat wajahnya semakin panas. Ia menghindari tatapan Arman, menunduk dalam-dalam.
“Ti—tidak apa-apa,” jawabnya cepat, terlalu cepat. “Aku cuma … pegal.”
Tanpa menunggu Arman bangkit atau bertanya lebih jauh, Kinara melangkah tergesa ke arah pintu.
“Aku mau mandi dulu,” tambahnya singkat, lalu pergi hampir berlari, menahan rasa sakit.
Arman menatap punggung Kinara yang menjauh, senyum tipis terukir di sudut bibirnya. Ada kehangatan yang tak pernah ia rasakan sejak lama tenang, penuh, dan nyata.
Tak lama, ponselnya berdering, Arman mengangkatnya, menatap layar. Nomor tidak dikenal, dia mengerutkan kening, lalu meletakkan kembali ponsel itu tanpa menjawab.
Beberapa detik kemudian, ponsel kembali bergetar. Nomor yang sama. Tatapan Arman mengeras. Dengan satu gerakan tenang, ia membuka layar lalu memblokir nomor itu.
Arman menghembuskan napas pelan, menatap ke arah pintu kamar mandi tempat Kinara berada.
“Sekarang…” gumamnya lirih,
“aku memilih yang ada di rumah.”
Awas kalau nanti ketemu dan kamu tergoda lagi dengan Amira
Enak sekali Amira ngomong ingin ketemu Aksa, setelah 5 tahun tiba2 pergi.
udah mendengar bagaimana Arman sudah sukses yg jelas jadi gatel dia...
Sekarang Arman sudah sukses, jangan harap kamu bisa kembali lagi Amira
pilih yg pasti pasti Ajja Arman..
yg sudah jelas tulus tanpa syarat 👍👍