Edward terkejut saat istrinya yang hilang ingatan tiba-tiba mengajukan gugatan cerai kepadanya.
Perempuan yang selama empat tahun ini selalu menjadikan Edward prioritas, kini berubah menjadi sosok yang benar-benar cuek terhadap apapun urusan Edward.
Perempuan itu bahkan tak peduli lagi meski Edward membawa mantan kekasihnya pulang ke rumah. Padahal, dulunya sang istri selalu mengancam akan bunuh diri jika Edward ketahuan sedang bersama mantan kekasihnya itu.
Semua kini terasa berbeda. Dan, Edward baru menyadari bahwa cintanya ternyata perlahan telah tumbuh terhadap sang istri ketika perempuan itu kini hampir lepas dari genggaman.
Kini, sanggupkah Edward mempertahankan sang istri ketika cinta masa kecil perempuan itu juga turut ikut campur dalam kehidupan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencegah Silva pergi
"Masih kesal?" tanya Dylan sambil meletakkan segelas minuman dingin dihadapan Nana.
"Sedikit," jawab Nana.
Dylan mengangguk paham. Dia pun duduk disamping Nana sambil meminum minumannya sendiri.
"Kamu hebat, Na," puji pemuda itu tiba-tiba.
"Hebat? Hebat kenapa?" tanya Nana tak mengerti.
"Di kantor polisi tadi, kamu masih bisa tenang menghadapi suami kamu dan juga selingkuhannya. Mungkin, kalau itu perempuan lain, mereka nggak akan bisa setenang kamu."
"Aku nggak sehebat yang kamu pikirkan, Dylan. Dulu, aku juga pernah mengamuk bahkan nekat melakukan hal yang melampaui batas. Tapi, sekarang aku sadar kalau semua itu nggak ada gunanya. Aku sadar kalau aku hanya akan merugikan diriku sendiri sementara mereka nggak akan pernah berhenti untuk berhubungan. Jadi, daripada aku mati berdiri gara-gara melihat kelakuan mereka yang semakin kurang ajar, mending aku yang memutuskan menyerah dan berhenti berjuang. Aku ingin bebas. Aku juga ingin bahagia seperti mereka."
"Terlepas seperti apapun kamu di masa lalu, tapi dimataku kamu tetap hebat. Berani melawan dan memutuskan mencari kebahagiaan sendiri adalah sebuah keberanian yang luar biasa. Dan, usaha kamu itu patut diberi apresiasi."
Ucapan Dylan menancap tepat di ulu hati Nana. Senang rasanya ketika tahu bahwa ada seseorang yang bersedia duduk disampingnya untuk memberi dukungan.
"Terimakasih, Dylan. Dari dulu, kamu memang sahabatku yang paling baik," lirih Nana terharu.
Dylan tampak tersenyum. Dia menganggukkan kepala sebagai respon.
"Kalau kamu perlu pengacara, jangan sungkan bilang ke aku, ya! Kebetulan, aku punya beberapa kenalan pengacara yang cukup andal," kata Dylan kemudian.
"Oh, ya?" sahut Nana antusias. Sejujurnya, dia memang sedang butuh seorang pengacara. Tanpa pengacara, mustahil dia bisa terlepas dari jeratan Edward.
"Ya," angguk Dylan lagi.
"Kalau begitu, tolong perkenalkan aku dengan pengacara perceraian yang sudah berpengalaman! Kamu bisa, kan?" pinta Nana bersemangat.
"Oke. Nanti, aku kirim kontaknya ke kamu."
Nana tersenyum lega. Lepas dari Edward adalah impian terbesarnya saat ini.
*
*
*
Pulang dari kantor polisi, Edward tampak melemparkan jasnya ke sembarang arah. Dia pun duduk di sofa dengan tangan yang sibuk melepas dasi yang serasa mencekik lehernya.
"Ed, kamu kenapa? Apa kamu masih marah sama aku?" tanya Silva hati-hati.
Mulai dari perjalanan pulang hingga sekarang, Edward terus saja mendiamkan dirinya. Bahkan, secuil respon pun tak lelaki itu berikan untuk dirinya.
"Ed, ayo jawab! Tolong jangan diamkan aku seperti ini!" pinta Silva membujuk.
Sepasang matanya mulai berkaca-kaca. Dalam beberapa detik ke depan, air matanya pasti akan turun membasahi pipinya.
"Aku lagi malas bicara, Silva! Jadi, bisa kamu tinggalkan aku sendiri?"
"Oke. Kalau itu memang mau kamu."
Silva pun berdiri. Tepat sesuai prediksi, kini air matanya sudah turun membasahi wajahnya.
Dia lekas berjalan buru-buru menuju ke kamarnya. Seluruh pakaian dia kemasi ke dalam koper kemudian kembali keluar untuk menemui Edward.
"Sil, kamu mau kemana?" tanya Edward heran saat melihat Silva datang dengan menggeret koper.
"Aku mau keluar dari rumah kamu, Ed," jawab Silva dengan tatapan sendu.
"Kenapa?" tanya Edward lagi.
"Aku sadar kalau kehadiranku di rumah ini malah mendatangkan banyak masalah untuk kamu. Bahkan, Nana nekat pergi dan meminta cerai juga gara-gara aku. Maka dari itu, mungkin jika aku pergi, Nana bisa kembali lagi ke rumah ini dan batal menceraikan kamu, Ed!"
"Nggak. Kamu nggak perlu kemana-mana, Silva!" cegah Edward.
Jika Silva pergi, maka cinta pertamanya itu akan kembali tinggal sendiri. Dan, tentu saja Edward tak akan bisa tenang karena dirinya tahu jika Silva perempuan yang sangat penakut.
"Aku tetap harus pergi, Ed. Seharusnya, aku sadar kalau kamu sudah menjadi milik orang lain. Dan, aku nggak pantas berdiri ditengah-tengah kalian seperti yang sedang aku lakukan saat ini."
"Tolong jangan pergi! Aku mohon," pinta Edward mengiba.
Dia sendiri tak tahu apa yang diinginkan oleh hatinya. Di satu sisi, dia tidak ingin menceraikan Nana. Namun, di sisi lain, dia juga tak bisa melepaskan Silva begitu saja.
"Maaf, Ed! Tapi, aku benar-benar harus pergi. Aku nggak mau dicap pelakor sama orang-orang. Jadi, mungkin lebih baik kalau aku pergi untuk selamanya dari hidup kamu."
Silva pun kembali menyeret kopernya untuk meninggalkan rumah itu.
"Sial! Kenapa Edward malah diam saja dan nggak mengejar aku?" gumam Silva dengan gelisah didalam hati.
Dia telah sampai di depan rumah. Bersiap untuk menaiki taksi yang sudah dia pesan sejak beberapa menit yang lalu.
"Silva! Jangan pergi!" teriak Edward. Dia berlari mengejar Silva kemudian memegang tangan perempuan itu dengan sangat erat.
Setelah berpikir beberapa saat, ternyata Edward belum bisa merelakan Silva. Perasaan khawatir akan keselamatan Silva diluar sana terus menghantuinya.
"Aku mohon! Tetaplah tinggal di sini! Soal hubunganku dengan Nana, biar aku sendiri yang urus. Kamu nggak perlu merasa bersalah sama Nana! Bukan kamu yang menghancurkan pernikahan kami tapi keegoisan Nana sendiri."
"EDWARD!!"
Suara keras itu sontak membuat Edward menoleh. Alangkah terkejutnya dia, saat tahu siapa pemilik suara itu.
"Pa-Papa?" lirih Edward. Secepat kilat, dia melepaskan genggamannya dari tangan Silva.
"Siapa dia, Edward? Dan, dimana putriku?"