Akibat ditikung saudara kembarnya, Darren memilih keluar dari rumah mewah orang tuanya, melepas semua fasilitas termasuk nama keluarganya.
Suatu hari salah seorang pelanggan bengkelnya datang, bermaksud menjodohkan Darren dengan salah satu putrinya, dan tanpa pikir panjang, Darren menerimanya.
Sayangnya Darren harus menelan kecewa karena sang istri kabur meninggalkannya.
Bagaimana nasib pernikahan Darren selanjutnya?
Apakah dia akan membatalkan pernikahannya dan mencari pengantin penganti?
Temukan jawabannya hanya di sini
"Dikira Montir Ternyata Sultan" di karya Moms TZ, bukan yang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
04. Pengalaman baru
"Dia kenapa, Kak?" Mami Mia mulai panik.
"Bang Ren... Dia baru saja ditolak cintanya oleh seorang gadis, hanya karena pekerjaannya sebagai montir," jawab Daniel.
Mami Mia terkejut, tangannya menutup mulut, berusaha meredam emosinya. "Hanya karena itu?" tanyanya tak percaya.
"Apa salahnya pekerjaan montir? Itu pekerjaan yang baik dan halal," imbuhnya, suaranya tercekat di tenggorokan.
"Kasihan sekali, putra mami," Air mata mulai membasahi pipi Mami Mia. Hatinya hancur mendengar cerita tentang putranya. Ia merasa bersalah karena tak mampu menjadi penghibur putranya di saat sedang terpuruk.
Papi Baim merengkuhnya dalam pelukan, berusaha menguatkan istrinya. "Sudahlah, Mi. Bang Ren pasti bisa melewati ini." ucapnya seraya mengeratkan pelukan, dan menepuk-nepuk pundak sang istri. Sementara Daniel menatap keduanya dengan pandangan tak terbaca, lalu pamit keluar dari ruang kerja papinya.
"Tunggu, Kak. Siapa gadis yang berani menolak Bang Ren?" Mami Mia bertanya dengan rasa penasaran.
"Bukan siapa-siapa, Mi. Lagipula Bang Ren sedang berusaha untuk melupakannya," jawab Daniel cepat, berusaha mengelak. Dia tidak ingin maminya tahu bahwa gadis itu adalah Nancy. Mami Mia pasti akan sangat syok dan merasa bersalah.
*
*
*
Kereta yang membawa Darren berhenti di stasiun tujuan. Dia turun dari kereta dengan langkah gontai. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul tiga dini hari. Udara dingin langsung menyapanya terasa menusuk tulang. Dia mengusap wajahnya yang tampak lelah serta rasa kantuk yang masih menyerangnya.
Tiba-tiba perutnya berbunyi, berteriak minta diisi. Dia ingat belum makan malam. "Astaghfirullah, kenapa aku sampai lupa mengisi perutku?" ucapnya sambil mengusap perutnya yang terasa lapar.
Sambil menyeret kopernya, Darren menyusuri area sekitar stasiun. Dia berharap ada warung atau kedai yang masih buka di jam-jam seperti ini. Matanya kemudian menangkap sebuah warung kaki lima yang berada di seberang stasiun.
Dengan langkah cepat, Darren mendekati warung tersebut dan langsung disambut aroma sedap yang membangkitkan selera makannya. Ia memesan makanan untuk mengganjal perutnya yang lapar. "Pak, mie instan rebus satu dan kopi hitam satu, ya," ucapnya pada pedagang.
"Baik, Mas. Mohon ditunggu sebentar, ya," sahut pedagang dengan ramah.
"Buka dua puluh empat jam ya, Pak?" tanya Darren mencoba membuka obrolan.
"Enggak, Mas. Saya baru buka. Biasanya jam segini para pedagang sayur mayur yang mampir," jawab pedagang sambil menyiapkan pesanan.
Beberapa saat kemudian, pedagang meletakkan semangkok mie instan kuah dan segelas kopi hitam di atas meja. "Silakan dinikmati, Mas."
Darren tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Ia langsung menyantap mie instan kuah yang masih panas dengan lahap, sambil meniupnya sesekali. Dalam beberapa suapan, semangkok mie instan kuah itu pun habis, mengisi perutnya yang lapar.
Darren menikmati kopinya dan gorengan yang masih hangat sambil melanjutkan obrolan bersama bapak pedagang tersebut. Hingga sayup-sayup terdengar suara adzan subuh berkumandang. Dia pun pamit setelah membayar makanan dan minuman yang dipesannya.
Darren menuju masjid terdekat untuk membersihkan diri, kemudian mengikuti sholat subuh berjamaah. Selesai sholat, dia bergegas keluar, tetapi dirinya dibuat terkejut karena tidak mendapati kopernya yang dia letakkan di dekat pintu masuk. Darren pun hanya bisa menghela napas pasrah sambil menggaruk kepalanya bagian belakang dengan kasar.
"Ada apa, Mas?" tanya salah seorang bapak jamaah masjid, yang melihat ekspresi Darren tampak frustrasi.
"Koper saya hilang, Pak. Saya letakkan di sini tadi," jawab Darren dengan nada kecewa, sambil menunjuk tempat di mana kopernya tadi di.a tinggalkan.
Si bapak itu mengangguk simpatik. "Coba kita cari dulu, siapa tahu ada yang melihat dan menyimpannya," sarannya. Bersama-sama, mereka mencari di sekitar masjid, tetapi koper Darren tetap tidak ditemukan.
"Kalau begitu, Mas, coba tanya sama pengurus masjid atau orang-orang di sekitar sini. Semoga ada yang melihat," usul bapak itu.
"Sudahlah, tidak apa-apa, Pak. Lagian tidak ada benda berharga di dalamnya, hanya beberapa pakaian dan peralatan mandi saja," kata Darren.
"Sepertinya masnya bukan orang sini, ya?" tanya bapak itu lagi.
"Iya, Pak. Saya baru tiba dari Jakarta. Saya ke sini merantau," jawab Darren.
"Walah, apa nggak ke balik to, Mas? Biasanya orang berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk mengadu nasib, ini malah dari sana kemari?" Si bapak tersebut berkelakar sambil tersenyum simpul.
"Karena di sana sudah banyak para perantau, maka saya mencoba peruntungan di sini, Pak," jawab Darren dengan senyum pula. "Tapi tidak apa-apa, ini pengalaman baru bagi saya, dan saya siap dengan apa pun yang akan terjadi," tambahnya optimis.
Si bapak mengangguk mengerti. "Bagus kalau begitu, Mas. Semoga masnya cepat beradaptasi dan menemukan jalan yang tepat di sini. Kalau butuh bantuan, jangan ragu untuk bertanya, ya," katanya sambil menepuk bahu Darren.
"Terima kasih, Pak. Saya akan ingat itu," jawab Darren dengan rasa terima kasih.
*
*
*
Hari minggu suasana di kediaman keluarga Papi Baim tampak santai. Mami Mia di bantu Zeya-menantunya menyiapkan sarapan di dapur. Kabut mendung masih menghiasi wajah wanita yang masih cantik meski sudah memiliki lima orang anak yang kini telah tumbuh dewasa itu.
"Sayang, apa kamu juga tahu kalau Bang Ren baru saja ditolak cintanya oleh seorang gadis? Apa Ze, tahu siapa gadis itu?" tanya Mami Mia pelan.
Zeya mengangguk ragu-ragu. "Tapi maaf, Mi, Ze nggak tahu siapa gadis itu," sahut Zeya sambil senyum meringis.
Mami Mia menghela napas kasar, seraya melanjutkan pekerjaannya. "Memangnya Kakak nggak ngasih tahu? Bukankah selama ini kalian selalu terbuka dalam hal apapun?" tanyanya lagi.
"Iya sih, Mi. Tapi, Ze tidak punya wewenang untuk menceritakannya," jawab Zeya.
Mami Mia tidak bisa memaksa, ia tahu bagaimana karakter menantunya yang tak mau ikut campur urusan orang lain.
Menu sarapan telah tersaji di meja makan. Semua anggota keluarga tampak menempati tempat duduknya masing-masing. Mereka menikmati sarapan sambil diselingi obrolan dan candaan ringan.
Selesai sarapan mereka berkumpul di ruang tamu untuk menikmati waktu bersama. Papi Baim membaca koran, sementara Mami Mia dan Zeya membersihkan sisa-sisa sarapan di meja makan. Daniel menemani anak-anaknya bermain di luar, menikmati hari libur mereka. Suasana hangat dan penuh cinta memenuhi rumah itu, membuat semua orang merasa nyaman dan bahagia.
Darrel menghampiri sang adik-Daniel mengajaknya berbincang sambil tetap mengawasi anak-anak yang sedang bermain.
"Apa yang ingin Abang tanyakan?" tanya Daniel.
"Katakan padaku apa yang terjadi pada Ren. Kenapa dia tidak datang pada saat pertunanganku. Kamu pasti tahu, kan?" kata Darrel.
Daniel menatap kakak sulungnya itu dengan pandangan serius. "Abang serius ingin tahu apa yang terjadi pada Ren?"
Darrel mengangguk. Daniel tersenyum tipis. "Dia sedang sedih, baru saja ditolak oleh gadis yang dicintainya. Dia tidak mungkin berpura-pura bahagia sementara hatinya sedang terluka."
"Lalu apa hubungannya denganku?" tanya Darrel. "Lagipula cinta tidak harus memiliki bukan?" imbuhnya.
"Jelas ada, karena dia...." Ucapan Daniel terhenti, dia menoleh ke arah seseorang yang datang menghampiri mereka.
.
.
.
Jangan lupa like-nya ya gaes.
Salam sehat selalu🤗
itu menurutku doang lho yaaa, ...🏃♀️🏃♀️🏃♀️