Sungguh berat beban hidup yang di jalani Sri Qonita, karena harus membesarkan anak tanpa suami. Ia tidak menyangka, suaminya yang bernama Widodo pamit ingin mencari kerja tetapi tidak pernah pulang. Selama 5 tahun Sri jatuh bangun untuk membesarkan anaknya. Hingga suatu ketika, Sri tidak sanggup lagi hidup di desa karena kerja kerasnya semakin tidak cukup untuk biaya hidup. Sri memutuskan mengajak anaknya bekerja di Jakarta.
Namun, betapa hancur berkeping-keping hati Sri ketika bekerja di salah satu rumah seorang pengusaha. Pengusaha tersebut adalah suaminya sendiri. Widodo suami yang ia tunggu-tunggu sudah menikah lagi bahkan sudah mempunyai anak.
"Kamu tega Mas membiarkan darah dagingmu kelaparan selama 5 tahun, tapi kamu menggait wanita kaya demi kebahagiaan kamu sendiri"
"Bukan begitu Sri, maafkan aku"
Nahlo, apa alasan Widodo sampai menikah lagi? Apakah yang akan terjadi dengan rumah tangga mereka? Kita ikuti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Tiba di lobby, langkah Sri berhenti karena dihadang dua wanita yang menatapnya penuh kebencian. Sri tidak mau mencari perkara, lebih baik ia mengabaikan saja, lalu menuntun Laras melanjutkan perjalanan.
"Berhenti!" Bentak Sally menyebabkan anak buahnya yang sedang bekerja menoleh ke arahnya.
Sementara Sri berhenti tapi tidak menoleh lagi ke belakang, kecuali Yani.
"Memang dasar wanita tidak tahu malu kamu" Sally yang sudah berdiri di depan Sri mendorong dada Sri dengan jari telunjuk. "Katanya tidak membutuhkan Mas Widodo tapi justru memanfaatkan anakmu untuk mendekatinya. Munafik kamu!" tuduh Sally, ia pikir Sri ingin kembali kepada suaminya dan juga ingin minta uang.
"Jangan main tuduh Mbak" Sri masih bersikap lembut.
"Apa? Mau mengelak lagi, padahal kamu sengaja datang menemui suamiku bukan?" Sally menatap nyalang wajah Sri.
"Sudah saya katakan berapa kali Mbak, saya bukan pengemis cinta apa lagi harta kalian. Jika Anda ingin tahu ceritanya, tanyakan pada suami Anda. Suami Anda sudah lancang menculik putri saya. Jika sampai terjadi sekali lagi, saya tidak akan tinggal diam!" Sri pun akhirnya marah dan mampu membungkam mulut Sally.
Sri tidak menoleh lagi menggandeng Laras diikuti Yani. Agak lumayan lama mereka menunggu angkutan karena jarangnya penumpang saat ini para supir ngetem dulu di pinggir jalan.
Sementara itu, Sally mempercepat langkahnya ke ruangan Widodo.
"Pelan-pelan apa Ma, tangan aku sakit ini" protes Ara karena ditarik-tarik.
Sally melepas tangan Ara, karena emosi hingga tidak sadar mencengkeram lengan putrinya. Begitu tangan Ara lepas, ia berlari mendahului sang mama ke ruangan Widodo.
"Anak Papa kok cemberut gitu" Widodo seketika berdiri menggendong Ara.
"Ara kesel sama Papa, Papa lebih sayang sama Laras anak bibi daripada Ara. Lihat tuh, Mama marah-marah, tangan Ara sampai merah begini" Ara menunjukkan pergelangan tangan, begitu melirik Sally sudah membuka pintu, anak itu merosot turun dari gendongan Widodo kemudian berlari ke kamar.
"Ada apa Sally?" Widodo sudah paham seperti apa jika Sally sedang marah-marah.
Bruk.
Sally melempar tas di atas sofa, lalu bokongnya menyusul. Napasnya turun naik menahan sumpah serapah jika tidak ingat ada Ara yang akan mendengar pertengkaran akhir-akhir ini yang hampir setiap hari terjadi. Padahal mental Ara sudah terganggu, Sally tidak ingin lebih parah lagi.
"Sally..." Widodo memegang kedua pundak istrinya yang enggan untuk menatapnya.
"Jangan pura-pura tidak tahu Mas, apa yang dilakukan Sri di ruangan ini" Sally akhirnya menatap suaminya skeptis.
Widodo pun akhirnya membetulkan posisi duduknya. "Tadi pagi aku ke kontrakan Sri ingin minta tanda tangan surat cerai Sal" Jujur Widodo.
Namun, tiba di kontrakan, Sri tidak ada. Sambil menunggu Sri pulang, Widodo mengajak Laras jalan-jalan ke mall. Tetapi Laras tidak mau benda, maupun makanan yang Widodo tawarkan. Anak itu ingin cepat menjemput bunda seperti yang Widodo janjikan.
Widodo bingung, jujur ia ingin bersama Laras walaupun hanya sebentar, kemudian memutuskan mengajak putrinya ke bengkel.
"Begitulah ceritanya Sal, tapi baru beberapa menit di sini, Sri datang marah-marah" Widodo menunjukkan pipi bekas tamparan Sri.
"Biar kapok, mau ditambah" Sally mengangkat telapak tangan walaupun hanya menggertak, tapi Widodo segera berdiri. "Sudah berapa kali aku katakan Mas, jauhi mereka tetapi kamu justru menemuinya dengan cara sembunyi-sembunyi di belakang aku" sewot Sally.
"Sal, aku dengan Sri ada bekas istri, tapi tolong jangan melarang aku apa bila ingin bertemu Laras" Widodo memohon, karena walau bagaimana Laras adalah anaknya dan ingatannya tentang anak itu kadang tidak bisa Widodo tahan.
"Baik, tapi setiap kali ingin bertemu aku harus ikut" Sally tidak ingin pikiran Widodo goyah lagi. Setelah sepakat, suami istri itu mengajak Ara makan siang di luar.
***************
Di kontrakan, Sri dengan Laras hendak bobo siang, tapi Sri menasehati putrinya lebih dulu.
"Sayang... Bunda tidak melarang jika kamu ingin bertemu Ayah, tapi hanya boleh di halaman kontrakan" Sri tidak mau Sally curiga lagi, ia sudah capek dengan semua ini. Sri ingin fokus membesarkan Laras, mencarikan biaya agar bisa sekolah, dan juga masih banyak yang harus Sri pikirkan.
"Iya Bun" Laras juga tidak mau bundanya dimarahi tante Sally. Ia juga tidak mau dimusuhi Ara, karena Ara pikir Laras mau merebut papanya.
Laras pun akhirnya tidur, sementara Sri setelah istirahat sebentar mulai menyiapkan segala sesuatunya untuk jualan besok.
Sri ambil tas ingin menyimpan uang pembayaran dari Prasetyo. Ia baru ingat jika hape pemberian pria itu belum dia rakit. "Sebaiknya aku pasang saja" Sri pun membuka kotak hendak memasang hape. Setelah kehilangan Laras tadi, Sri baru sadar memang saat ini harus mempunyai benda ini agar bisa menghubungi Yani jika ingin menanyakan tentang Laras apa bila Sri sedang keluar rumah.
"Ini mah bukan hape bekas" Sri meneliti hape begitu dia tekan langsung menyala. Rupanya Pras sudah aktifkan handphone tersebut bahkan nomor dia satu-satunya sudah nangkring.
Tiga hari kemudian selama itu pesanan restoran Pras kepada Sri semakin lancar, bahkan nambah hingga 700 porsi.
Namun, tidak disangka jika pagi ini akan terjadi kekacauan di restoran tersebut. Lontong sayur yang pelanggan konsumsi menyebabkan sakit perut berjama'ah.
"Perut saya sakit, perut saya juga, ini pasti gara-gara makan lontong sayur" Begitulah mereka marah-marah sambil meringis memegangi perut masing-masing.
"Mana bos kalian?" Datang serombongan pria wanita akan menuntut tanggungjawab karena keluarga mereka masuk rumah sakit.
"Mohon tenang dulu, saya panggilkan bos" jawab karyawan lalu berlari. "Bos, gawat bos, para pelanggan sakit perut setelah sarapan lontong sayur" lapor karyawan ke ruangan Pras.
"Yang benar kamu" Pras segera ke lantai satu memastikan kebenaran laporan anak buahnya.
"Aduuhh... perut aku sakit" suara-suara pelanggan itu terdengar di telinga Pras.
"Astagfirullah... kenapa bisa terjadi begini?" Pras terpaku memandangi pelanggan yang merasakan kesakitan.
"Kami minta tanggungjawab segera obati mereka, jika tidak, saya akan telepon polisi sekarang juga" Ancam pelanggan ketika melihat kedatangan Prasetyo. Pelanggan itu kebetulan makan nasi uduk dan tidak mengalami sesuatu.
"Tentu saja" Pras segera memanggil anak buahnya yang khusus pria agar menggotong para korban ke dalam mobil operasional restoran dan juga mobil Pras pribadi.
Tiba di rumah sakit pasien segera ditangani, dan dinyatakan bahwa ada obat pencahar dalam makanan yang di konsumsi mereka. Obat yang biasanya digunakan dengan resep dokter apabila pasien sulit buang air besar.
"Obat pencahar?" Prasetyo tidak percaya itu karena sudah satu bulan menjual lontong sayur dan tidak pernah ada masalah.
"Mungkin saja Mbak Sri salah memasukkan bumbu Bos" jawab menejer yang berada di samping Pras.
Pras segera telepon Sri agar datang ke restoran saat ini juga. Prasetyo mengatakan pada menejer agar tetap di rumah sakit jika sewaktu-waktu ada yang memanggil. Dia lantas kembali ke restoran.
Namun, betapa terkejutnya Pras ketika tiba di sana, entah siapa yang lapor, restoran sudah banyak polisi yang tengah memeriksa.
"Ada apa Mas Pras?" Sri pun tiba sambil menggandeng Laras diikuti Yani.
"Semua pelanggan yang sarapan lontong sayur kamu mendadak sakit perut Sri" Pras menceritakan semuanya.
Sri belum sampai menjawab, polisi memberikan surat perintah agar Sri dan Prasetyo ikut ke kantor polisi. "Masakan saya aman Pak" Sri bermaksud menjelaskan. Namun, polisi minta Sri dan Pras agar menjelaskan di kantor saja.
"Bundaaa... Bunda saya bukan penjahat, jangan dibawa Pak" Laras menangis kencang.
"Sebentar Pak, saya akan bicara dengan putri saya" Sri mendekati Laras yang dipeluk Yani.
"Sayang... Bunda tidak akan kenapa-kenapa, sekerang Laras pulang naik ojek sama Mbak Yani ya" Sri mencium pipi putrinya sebelum naik ke mobil polisi.
"Bundaaa..." jerit Laras, tangisnya semakin kencang memandangi mobil polisi yang sudah menjauh membawa Sri.
...~Bersambung~...
mknya cuss krja bikin kmu sukses dn bhgiain laras....doll...
sekarang baru merasakan widodo, dulu kemana hati nuranimu menelantarkan sri n laras anak kandungmu