Seira, 25 tahun, istri dari seorang saudagar beras harus menerima kenyataan pahit. Dikhianati suami disaat ia membawa kabar baik tentang kehamilannya. Zafran, sang suami berselingkuh dengan temannya yang ia beri pekerjaan sebagai sekretaris di gudang beras milik mereka.
Bagaimana Seira mampu menghadapi semua ujian itu? Akankah dia bertahan, ataukah memilih pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebahagiaan Menjadi Ayah
"Lita, gimana? Udah ada kabar dari Ibu kamu soal jual tanah itu? Ini udah satu Minggu, tapi aku tunggu-tunggu kamu nggak ngasih kabar juga," tanya Zafran begitu melihat istrinya tiba di rumah dengan menenteng belanjaan.
Matanya melirik tajam pada dua tangan Lita yang penuh, sungguh tak dinyana dalam keadaan sulit pun wanita itu masih membelanjakan uang dengan semaunya. Tak peduli pada kondisi yang sedang dialami terlebih pada perut yang sudah kian membesar. Untuk berjalan saja, ia terlihat kepayahan.
Lita duduk di sampingnya, meletakkan belanjaan di atas meja di hadapan mereka berdua. Zafran enggan bertanya meskipun ingin. Terlalu jemu rasanya. Ia memutar bola mata sambil berpaling muka darinya.
"Mas nggak tanya, kamu abis belanja apa? Abis berapa? Biasanya suka tanya-tanya," sindir Lita sambil mencari posisi duduk yang nyaman.
Zafran mendengus, ekor matanya melirik penasaran apa yang ada di dalam tas belanja tersebut. Lita mengambilnya, mengeluarkan isi di dalam satu per satu. Beberapa keperluan bayi, dan memang hanya keperluan bayi.
Melihat itu, hati Zafran kembali menghangat. Wajah tegangnya mengendur, betapa ia juga ingin menyiapkan semuanya. Namun, masalah yang sedang dihadapi gudang, teramat menyita waktunya.
"Aku lagi nyicil ini, Mas. Keperluan buat bayi kita, biar nanti nggak terlalu banyak belinya. Jadi, ya ... dikit-dikit aja dulu," ucapnya sambil terus mengeluarkan isi di dalam tas belanja.
Zafran kembali berpaling, tanpa sadar tangannya mengambil sebuah popok bayi bergambar binatang. Menciumnya cukup lama seolah-olah itu adalah bayinya. Sudut bibirnya terangkat ke atas, dipandangi benda tersebut penuh kerinduan.
Diam-diam Lita melirik, menertawakan Zafran di dalam hati. Mudah sekali mengendalikan laki-laki yang satu ini. Jika mengenai bayi di dalam perutnya, Ibu dan anak itu akan menjadi anj*ng penurut pada majikannya.
"Kenapa kamu belinya gambar binatang? Gimana kalo nanti anak kita perempuan?" tanya Zafran menatap Lita dengan binar di wajahnya.
Wanita itu menghela napas pendek, seiring perut yang membesar dadanya kerap terasa sesak. Terlebih saat janin itu bergerak menendang, ada rasa asing yang luar biasa yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
"Makanya aku mau ngajak Mas USG nanti, biar kita tahu posisi bayinya juga jenis kelaminnya. Kita juga bisa lihat bayi kita lewat layar yang ada di sana," ungkap Lita sambil bergelayut manja di lengan suaminya.
Sebelah tangan mengusap perut memperlihatkan pada Zafran bahwa bayi itu telah membesar.
"Beneran kita bisa lihat bayi kita nanti?" tanya Zafran penasaran.
Ada rasa yang membuncah dari dalam hatinya, tapi sulit dijelaskan. Penasaran, sekaligus gugup bercampur jadi satu padahal mereka baru hanya berencana.
"Beneran, Mas. Eh ... coba liat, Mas. Dia gerak-gerak," pekik Lita disaat bagian perutnya sedikit menyembul karena pergerakan si jabang bayi.
Mata Zafran terjatuh pada perut yang ditunjukkan Lita. Ia tak bereaksi, tangannya gemetar sendiri. Tak tahu harus apa, genangan air tercipta di kedua sudutnya. Rasa haru menyeruak membuncah hingga ke puncaknya.
Lita mengambil tangan Zafran, menempelkannya pada permukaan perut. Ia juga menarik kepala suaminya itu, memintanya untuk menempel di sana.
Zafran mendongak disaat tangan merasakan sebuah pergerakan. Wajahnya memerah penuh haru, beginikah rasanya momen menunggu menjadi Ayah?
"Dia ... gerak. Apa dia tahu aku Ayahnya?" tanya Zafran polos.
Lita mengusap rambut laki-laki itu, tersenyum melihat tingkah sang suami. Dia benar-benar menggemaskan.
"Iya, Mas. Dia tahu, makanya Mas harus ajak dia ngobrol," ujar Lita membentuk kerutan di dahi Zafran.
"Emang dia bisa denger? Terus bisa jawab?" tanyanya.
Lita terkekeh seraya berucap, "Dia bisa denger, Mas, tapi nggak bisa jawab. Coba ajak ngobrol, nanti dia bergerak jawab Mas."
Zafran berkedip tak percaya, berpaling dari Lita pada perut di dekatnya. Ditempelkannya sebelah pipi di sana, sambil diusap-usap dengan pelan.
"Hallo, anak Ayah. Kamu bisa denger Ayah nggak? Yang sehat di dalam sana, ya," ucap Zafran sedikit bingung sebenarnya, tapi juga penasaran.
Bayi itu bergerak, dan hal itu membuat Zafran tersentak kaget. Girang bukan main ia lagi dan lagi bertanya pada si jabang bayi. Ibu yang memperhatikan di kejauhan ikut tersenyum haru, sebentar lagi pelengkap kebahagiaan akan hadir di rumah mereka.
Suara nyaring itu akan memenuhi seisi rumah setiap hari. Tak sabar rasanya ingin segera ia keluar. Melihat seperti apa rupa bayi tersebut, apakah tampan seperti ayahnya? Ataukah cantik seperti ibunya? Seperti siapapun itu membuat hati Ibu terus menghangat.
Ibu melangkahkan kaki mendekat pada keduanya, duduk sambil terus tersenyum melihat tingkah sang anak yang mengusik sebuah kenangan.
"Kamu persis Bapak kamu. Dulu dia juga begitu waktu Ibu hamil kamu, nggak sabaran. Sampe-sampe ngajakin Ibu buat USG setiap Minggu. Padahal itu nggak boleh," ucap Ibu tiba-tiba.
Zafran mendongak perlahan mengangkat kepalanya dari perut Lita dan menatap Ibu penuh keharuan.
"Apa Ibu juga kayak Lita? Suka ngidam ini itu?" tanyanya penasaran.
"Iya, Nak. Semua perempuan hamil pasti ngidam. Permintaannya suka aneh-aneh, Ibu salut sama Lita dia nggak pernah minta yang aneh-aneh. Padahal wajar aja kalo Ibu hamil itu suka minta segala macem," ungkap Ibu memuji sang menantu.
Lita bersemu, menunduk dengan rona merah di pipi. Siapa yang tak senang dipuji begitu, itu menjadi nilai plus untuknya di mata Zafran.
Laki-laki itu menoleh, menatap penuh cinta pada istri yang sudah menghadirkan kebahagiaan di rumah itu.
"Makasih, ya. Kamu nggak pernah nyusahin Mas. Jangan dengerin omongan para tetangga, bilang aja sama Mas kalo mereka nyindir kamu. Fokus aja sama anak kita, ya," ucap Zafran penuh perhatian.
Lita mengangguk pelan, betapa hatinya bahagia saat ini. Ia berhambur memeluk suaminya menumpahkan segala perasaan di hati. Namun, di balik tubuh Zafran, ia memasang senyum licik penuh muslihat.
Kena kamu, Mas. Aku emang pinter, nggak sia-sia selama ini aku nahan-nahan ngidam. Sekarang semuanya udah lewat tinggal nunggu waktu aja bayi ini keluar. Abis itu aku bisa bebas pergi ke mana aja, 'kan? Hihi ... senengnya.
Hatinya bergumam licik. Yang sebenarnya ia tak pernah mempedulikan bayinya, demi mendapatkan hati Zafran dan ibunya ia rela membuang uang untuk membeli semua itu.
Zafran melepas pelukan, tangannya mengusap-usap perut Lita lagi dan lagi. Rasanya tak ingin melakukan apapun, sepanjang hari hanya ingin berduaan bermain dengan calon anak mereka.
"Oya, kalian udah USG belum?" tanya Ibu.
Lita dan Zafran kompak menggeleng.
"Lho, kandungan Lita itu udah tujuh bulan. Udah pas buat USG, periksa nanti minta USG aja, ya. Selain tahu jenis kelaminnya juga kalian akan tahu dia sehat apa nggak?" ujar Ibu yang diangguki mereka secara kompak juga.
Kebahagiaan siang itu harus terganggu karena ponsel Lita yang tiba-tiba berdering. Nama si penelpon di layar membuat Lita menegang. Melirik Zafran takut-takut, suaminya itu membeku tanpa senyum di bibir.