Jalan berliku telah Nina lalui selama bertahun-tahun, semakin lama semakin terjal. Nyaris tak ada jalan untuk keluar dari belenggu yang menjerat tangan dan kakinya. Entah sampai kapan
Nina mencoba bersabar dan bertahan.
Tetapi sayangnya, kesabarannya tak berbuah manis.
Suami yang ditemani dari nol,
yang demi dia Nina rela meninggalkan keluarganya, suaminya itu tidak sanggup melewati segala uji.
Dengan alasan agar bisa melunasi hutang, sang suami memilih mencari kebahagiaannya sendiri. Berselingkuh dengan seorang janda yang bisa memberinya uang sekaligus kenikmatan.
Lalu apa yang bisa Nina lakukan untuk bertahan. Apakah dia harus merelakan perselingkuhan sang suami, agar dia bisa ikut menikmati uang milik janda itu? Ataukah memilih berpisah untuk tetap menjaga kewarasan dan harga dirinya?
ikuti kelanjutannya dalam
KETIKA SUAMIKU BERUBAH HALUAN
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
Waktu menunjukkan pukul 09.00 pagi ketika Nina bergegas meninggalkan kios laundry menggunakan motor matic-nya. Nina menyerahkan urusan laundry kepada Wati dan Ayu, dua orang pegawainya. Kegelisahan masih menggelayut di hatinya, terutama setelah kejadian kemarin dengan Hani yang tiba-tiba pergi begitu melihat Wito. Hani telah menghubunginya sejak pagi dan memintanya bertemu di sebuah cafe.
Sesampainya di cafe, Nina menemukan Hani sudah duduk di meja pojok.
“Nina, di sini!” Nina bergegas mendekat pada hani yang melambangkan tangan untuknya.
“Maaf, aku agak lama tadi. Soalnya aku harus ngasih instruksi buat wati sama ayu dulu,” ucap Nina merasa tak enak. Wanita itu pun segera menarik sebuah kursi untuknya duduk di hadapan Hani.
“Kamu mau pesan apa?” tanya Hani sambil menyeruput kopi di cangkirnya. “Sorry aku pesan duluan tadi biar gak ngantuk,” ucapnya, wajahnya terlihat serius.
“Aku juga pesan kopi yang tanpa ampas saja,” ucap Nina, lalu melambaikan tangan memanggil waiters.
“Nina, maaf ya aku tiba-tiba ngajak ketemuan. Kamu pasti beneran repot ya?” Hani memulai pembicaraan, suaranya sedikit bergetar.
“Tidak apa-apa,” jawab Nina. “Lagian mungkin aku juga butuh sesekali keluar. Memangnya ada apa sih? Gak mungkin kamu begitu memaksa kalo gak beneran penting.” Nina bertanya dengan menahan jantungnya yang berdebar kencang. Seolah merasa apa yang akan disampaikan oleh Hani bukanlah sesuatu yang baik.
Hani mengambil tangan Nina dan menggenggam jemari nya. Ditatap nya wajah temannya itu dengan rasa iba. “Sebelumnya aku minta maaf, jika apa yang akan aku katakan ini nanti membuatmu terluka,” ucap Hani. “Tapi aku merasa aku memang harus mengatakan ini padamu.”
Nina memandang hani dengan dada yang semakin berdebar. “Katakan, Han! Aku sudah siap. Kamu tahu kan? Aku bukan orang yang lemah.” Nina menganggukkan kepala, agar Hani tak perlu khawatir, padanya.
Hani mengambil nafas dalam dan memejamkan mata sejenak. “Aku punya sesuatu yang harus kamu tahu. Ini tentang Wito, suamimu,” ucapnya.
Nina meneguk sedikit kopi yang masih mengepulkan uap, jantungnya berdebar kencang. “Tentang Wito? Ada apa?” tanyanya, suara sedikit gemetar. Bahkan mungkin dia lupa merasakan lidahnya yang tersengat kopi panas.
Hani menarik napas dalam-dalam. “Aku… aku melihat Wito beberapa kali bertemu dengan seorang lelaki. Aku tidak tahu dia siapa, tapi sepertinya aku pernah melihatnya di tempat laundry kamu,” ucap Hani
Deg
Dada Nina terasa dipukul dengan kencang. Apakah kecurigaannya dulu itu benar? “Apakah yang kamu maksud itu Anton, teman mas Wito? Di mana kamu bertemu mereka?”
“Ini bukan sekali dua kali, Nin. Sering. Dan bukan di satu tempat. pernah satu kali aku lihat mereka di hotel Sukowati, yang ada di jalan XX itu. Pernah juga di kompleks rumah kontrak yang ada di jalan YY.” Terang Hani.
“Yang aku bingung adalah, mereka… mereka terlihat sangat dekat, lebih dari sekedar teman biasa.” Hani tampak ragu-ragu melanjutkan ceritanya.
Nina mengerutkan kening. “Maksudmu…?”
Hani menggigit bibirnya. “Aku… aku melihat mereka berpelukan, Nina. Berpegangan tangan. Tatapan mata mereka… aku tidak bisa menjelaskan, tapi itu sangat… intim. Seperti dua sejoli, padahal mereka sama-sama laki-laki.”
Tubuh Nina menegang. Ingatannya kembali pada tatapan Anton yang ganjil saat pertama kali bertemu. Dan sekarang, informasi mengejutkan dari Hani semakin memperkuat kecurigaannya. Perasaan tidak enak yang selama ini ia rasakan, kini semakin menjadi-jadi.
“Apa… apa Kamu benar-benar yakin?” tanya Nina, suaranya nyaris tak terdengar.
Hani menggeleng. “Aku memang tidak tahu persis. Aku hanya melihat mereka beberapa kali. Tapi… aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Sesuatu yang tidak benar. Hubungan mereka berdua itu,,, Ya Tuhan, aku bingung bagaimana menjelaskannya padamu.”
Nina terdiam, wajahnya menjadi dingin dengan rahang mengeras. Apakah mungkin Wito kembali menyelingkuhinya? Dan parahnya, bukan dengan seorang wanita, melainkan dengan sesama pria? Pikiran itu menusuk hatinya seperti sebilah pisau. Jika itu benar, maka Nina tak akan memaafkannya kali ini. Apalagi dia memegang surat perjanjian yang sudah ditandatangani Wito, sebuah bukti hitam di atas putih yang menjadi jaminan atas kesetiaan
Nina memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Dia harus berpikir jernih. Dia membutuhkan bukti, bukti yang tak terbantahkan. Dia menatap Hani, matanya berkaca-kaca menahan amarah dan kepedihan.
“Han, apa kira-kira ada yang bisa aku mintai tolong untuk mengawasi mas Wito?” tanya Nina, suaranya terdengar pelan namun tegas. “Aku membutuhkan bukti yang kuat, bukti yang bisa aku gunakan untuk menuntutnya di pengadilan agama. Kali ini aku tidak akan berpikir dua kali. Agus sudah lebih besar, aku rasa dia akan mengerti.”
Hani mengangguk mengerti. Dia tahu betapa hancurnya hati Nina saat ini. “Ada, Mas Susilo, kakakku. Kamu ingat dia kan? Dia handal dalam hal ini,” jawab Hani, suaranya penuh simpati. “Dan sebenarnya, dia yang melihat itu untuk pertama kali.”
“Mas Susilo??” Nina terbelalak. Aib rumah tangganya diketahui oleh orang lain. Kalau cuma Hani, mungkin dia tak terlalu malu. Tapi Mas Susilo? Entah kenapa dia merasa tak memiliki muka lagi untuk bertemu dengan pria itu.
“Iya. Waktu itu dia ada acara dengan rombongan touringnya di hotel Sukowati, dia melihat Wito, dan dia mengenali kalau itu suamimu. Lalu dia memberitahukan itu padaku. Aku rasa, Dia bisa membantumu mendapatkan bukti yang kamu butuhkan.”
Nina mengangguk pelan. Kenangan tentang Susilo, kakak Hani, menyeruak dalam ingatannya. Dulu, ketika dia masih gadis, mereka bertiga—Nina, Hani, dan Susilo—selalu bersama. Susilo selalu dengan senang hati mengantarkan dirinya dan Hani kemanapun mereka pergi. Keakraban mereka begitu erat, seperti saudara.
Susilo selalu bersikap protektif terhadap dirinya dan Hani, selalu memastikan mereka berdua aman dan terlindungi. Namun, keakraban itu memudar setelah Nina menikah dengan Wito. Susilo terkesan menjaga jarak. Apalagi kesibukan masing-masing membuat pertemuan mereka semakin jarang. Kini, dalam situasi yang sulit ini, lagi-lagi hanya Susilo yang bisa dia mintai tolong.
“Bisakah kamu katakan padanya?” Nina meminta Hani untuk menghubungi Susilo dan menjelaskan semuanya. “Tolong, Han! Katakan padanya aku membutuhkan bantuannya.”
Nina merasa beban berat di pundaknya. Dia tidak tahu harus memulai dari mana, langkah apa yang harus diambil selanjutnya. Kepercayaan yang selama ini ia bangun berantakan seketika. Kesempatan yang dia beri telah disia-siakan. Rasa sakit dan kecewa menghujam hatinya.
Tekad Nina semakin kuat. Dia akan memperjuangkan haknya. Dia akan membuat Wito menyesal berani bermain-main dengan nya.
“Tenang saja, Mas Sus pasti akan dengan senang hati membantumu.” jawab Hani.
“Seandainya saja Kamu peka, Nin. Kakakku itu mencintaimu sejak dulu, melihat kamu dikhianati, dia yang paling sakit hati,” batin Hani.
tak or yak?
terima kasih tetap memberikan hiburan gratis ini,
jangan lupa istrahat cukupp yaaa/Kiss//Kiss/