NovelToon NovelToon
Azizah Dikira Miskin

Azizah Dikira Miskin

Status: sedang berlangsung
Genre:Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:9.4k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

Azizah pura pura miskin demi dapat cinta sejati namun yang terjadi dia malah mendapatkan penghinaan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 16 susan warseno

Cahaya sore yang masuk melalui jendela besar di belakang meja kerja Andi Pratama memberikan sentuhan keemasan pada ruangan yang penuh dengan nuansa kayu mahoni. Aroma kopi yang masih mengepul dari cangkir porselen di mejanya bercampur dengan wangi kulit dari sofa mahal yang berada di sudut ruangan. Di hadapannya, Warseno duduk dengan senyum puas, jasnya rapi tanpa cela, dan nada bicaranya penuh penghormatan.

"Terima kasih, Tuan Andi, atas kerja samanya. Semoga bisnis kita semakin sukses,"ucap Warseno, mengulurkan tangan dengan mantap.

Andi Pratama menjabat tangan itu dengan erat, sorot matanya tajam namun ramah. "Sama-sama, Pak Seno. Saya juga senang bisa bekerja sama dengan Anda," jawabnya, suaranya penuh percaya diri, seperti biasa.

Warseno mengangguk, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. "Ngomong-ngomong, bagaimana kabar putra Anda, Indra, di Amerika? Apakah dia sudah menyelesaikan pendidikannya?" tanyanya dengan nada penuh minat.

Andi mengangkat alisnya sedikit, tampak terkejut. "Oh? Anda mengenal anak saya?" tanyanya, sedikit penasaran.

Warseno tersenyum lebar. "Tentu saja, Pak. Saya pernah ke sana dan sempat menghadiri salah satu presentasi bisnisnya. Saya harus akui, anak Anda sungguh luar biasa," katanya, matanya berbinar saat mengenang momen itu.

Andi menyunggingkan senyum bangga, meskipun ia tetap menjaga nada suaranya tetap tenang. "Indra akan kembali ke tanah air tahun depan. Saya sudah menyiapkan semua wewenang untuk dia pegang," ucapnya dengan nada pasti.

Warseno terkekeh kagum. "Luar biasa, Pak Andi. Anda tidak hanya sukses dalam bisnis, tetapi juga berhasil mendidik anak Anda menjadi pria yang hebat."

Andi mengangguk pelan. "Bagi saya, pendidikan itu nomor satu. Tidak ada yang lebih penting daripada membekali anak dengan ilmu yang cukup agar mereka bisa berdiri di atas kaki sendiri," katanya, suaranya tegas namun mengandung filosofi mendalam.

Warseno tersenyum semakin lebar. "Saya sepakat, Pak. Pendidikan memang harus jadi prioritas utama." Ia melirik ke sampingnya, lalu dengan nada bangga memperkenalkan seseorang. "Oh ya, Pak Andi, kenalkan ini putri saya, Susan Warseno."

Susan, yang sejak tadi duduk dengan anggun di sebelah ayahnya, segera bangkit dengan sikap sopan. Tubuhnya ramping dibalut gaun sederhana tetapi elegan. Ia mengulurkan tangan kecilnya dengan penuh kepercayaan diri. "Senang bertemu dengan Anda, Pak Andi," katanya dengan suara lembut dan senyum yang sudah terlatih sempurna.

Andi menatap Susan sejenak sebelum menjabat tangannya sekilas. "Oh, ini putri Anda?" ucapnya, sekadar basa-basi.

Warseno tertawa kecil. "Iya, Pak. Putri satu-satunya saya. Masih lajang, Pak," katanya dengan nada yang seolah mengandung maksud tertentu.

Andi menghela napas pendek dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Wah, kalau saya sudah menikah, Pak. Dan Anda sendiri tahu bagaimana rumor-rumor di luar tentang saya," katanya, ada sedikit nada sarkasme dalam suaranya.

Warseno terkekeh pelan, seperti sudah menduga jawaban itu. "Oh, tentu saya tahu, Pak. Saya hanya memperkenalkan putri saya. Siapa tahu, Indra belum punya pasangan. Mungkin mereka bisa berkenalan," ujarnya santai, namun matanya memancarkan sedikit harapan.

Andi tersenyum tipis, tetapi ada nada tegas dalam jawabannya. "Kalau soal itu, saya serahkan kepada anaknya, Pak. Anak laki-laki harus menentukan jalan hidupnya sendiri."

Warseno mengangguk setuju. "Saya suka cara berpikir Anda, Pak," katanya, nada suaranya penuh respek.

Tiba-tiba, Susan yang sejak tadi diam, membuka suara. "Mohon maaf sebelumnya, Pak Andi. Saya sangat mengagumi Anda. Bolehkah saya berfoto bersama Anda?" tanyanya sopan, nada suaranya sedikit bersemangat, tetapi tetap menjaga keanggunannya.

Andi menatapnya sejenak sebelum akhirnya menghela napas. "Hmm... Tapi jangan disebar ke media sosial ya. Istri saya tidak suka hal seperti ini," ucapnya, setengah bercanda namun tetap serius.

Susan terkikik pelan, matanya berbinar senang. "Siap, Pak! Ini hanya untuk pribadi, kok. Sebagai kenang-kenangan saya bertemu orang hebat seperti Anda."

Andi mengangguk, lalu melirik asistennya yang langsung sigap mengambil ponsel untuk memotret mereka. Saat kamera menangkap momen itu, Susan tersenyum manis, sementara Andi tetap dengan ekspresi khasnya—tenang, berwibawa, dan sedikit enggan.

Klik!

Sebuah foto baru tersimpan di ponsel Susan, dan mungkin, sebuah rencana baru juga telah tersimpan di benaknya.

Mereka melangkah keluar dari gedung Pratama dengan langkah santai namun penuh arti. Langit sore mulai bersemburat jingga, menciptakan bayangan panjang di trotoar. Seorang sopir pribadi sudah menunggu dengan sigap, membukakan pintu mobil hitam mengilap yang terparkir rapi di depan lobi utama.

Susan masuk lebih dulu, diikuti oleh Warseno yang duduk di sampingnya. Begitu pintu tertutup, suasana di dalam mobil terasa lebih tenang, hanya diiringi suara pendingin ruangan yang berdengung halus.

Susan menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, lalu mendesah pelan. "Susah, Pak, menggoda Pak Andi itu. Dia tipe laki-laki takut istri," keluhnya dengan nada setengah bercanda, tapi ada sedikit kejengkelan dalam suaranya.

Warseno tertawa kecil, nada bicaranya tetap santai namun penuh perhitungan. "Ya sudah, berarti kita alihkan ke anaknya kalau begitu."

Susan mengerutkan kening, menoleh ke arah ayahnya dengan tatapan tak setuju. "Pak, boleh nggak aku menentukan pilihanku sendiri? Aku juga ingin punya seseorang yang benar-benar aku cintai."

Warseno tersenyum kecil, tetapi tatapannya tetap tajam. "Sekadar senang-senang, silakan. Bapak nggak akan melarang. Kamu boleh berpacaran dengan siapa pun yang kamu mau. Tapi ingat, suami kamu tetap harus orang yang berada, yang punya koneksi kuat. Itu penting untuk membesarkan bisnis kita."

Susan mendesah, memainkan jari-jarinya di atas pahanya. "Yah, Pak… Masa gitu sih?" protesnya, suaranya lebih lembut, hampir seperti rengekan seorang anak yang meminta sesuatu yang tidak akan pernah ia dapatkan.

Warseno menatap lurus ke depan, wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Susan, hiduplah dengan rasional. Jangan hanya mengandalkan perasaan. Kamu harus mementingkan harta dan kekuasaan, karena hanya itu yang akan membuat kamu mendapatkan apa pun yang kamu inginkan. Perasaan itu cuma datang sementara, cepat berubah dan bisa menyesatkan."

Susan menggigit bibirnya, masih mencoba berargumen. "Tapi, Pak—"

Warseno mengangkat tangannya, memotong kalimat putrinya dengan nada yang lebih tegas. "Sudah, Susan. Kamu masih muda. Kamu belum merasakan asam manis kehidupan. Dan menurut bapak yang sudah tua ini, rasional adalah cara terbaik untuk bertahan hidup. Carilah yang lebih menguntungkan untuk masa depanmu. Jangan terjebak dalam perasaan sesaat, nanti pandanganmu tidak tajam, perhitunganmu tidak matang."

Susan terdiam. Ia menundukkan kepala, menatap kukunya yang dipoles sempurna dengan warna merah muda. Dalam hatinya, ia tahu ayahnya tidak akan pernah berubah. Cinta bagi Warseno hanyalah ilusi, sementara uang dan kekuasaan adalah realitas yang harus dikejar.

Mobil terus melaju di antara jalanan kota yang mulai diselimuti cahaya lampu. Di luar sana, dunia tetap berputar, tapi di dalam mobil, Susan merasa seperti terperangkap dalam dunia yang telah dirancang ayahnya sejak ia lahir.

Begitu memasuki rumah lampu lampu kristal menhiasi rumah, tiang tiang rumah menjulang tinggi, lantai marmer dari italia, taman depan rumah yang indah, dan ada garasi mobil yang tersedia koleksi mobi-mobil mewah

Di ruang keluarga, Serena duduk di sofa besar berlapis beludru, mengenakan baju tidur sutra berwarna krem. Wajahnya tampak sedikit pucat, tapi senyum lembut tetap menghiasi bibirnya saat melihat putrinya datang.

"Selamat malam, Bu,"ucap Susan sambil mendekat.

Serena menoleh, tatapan hangatnya menyapu wajah putrinya. "Malam juga, Nak. Bagaimana pertemuan dengan Pak Andi?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh selidik.

Susan menghempaskan tubuhnya ke sofa di sebelah ibunya, melepas napas pelan. "Lancar, Mah," jawabnya datar, matanya menatap ke arah langit-langit.

Serena mengangguk kecil. "Syukurlah, Nak."

Susan melirik ibunya, memperhatikan wajah yang kini mulai tampak lebih letih dari biasanya. "Mamah kok belum tidur?" tanyanya dengan sedikit khawatir.

Serena tersenyum tipis, lalu menghela napas pelan. "Mamah khawatir sama kamu," ucapnya jujur. "Mamah sakit-sakitan terus... Mamah pengen kamu cepat nikah, Nak. Biar ada yang jagain kamu nanti."

Susan menggigit bibirnya, perasaan tak nyaman menyelinap di dadanya. "Iya, Mamah... Susan juga maunya kayak gitu," katanya pelan. "Tapi Mamah tahu sendiri, kan, bagaimana Bapak mengatur hidupku sedemikian rupa?"

Serena mendengus kecil. "Mmm, dasar Bapak kamu itu..." keluhnya lirih.

Susan tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan di sana. Dia menunduk, jemarinya saling bertaut di pangkuannya. "Mamah... Aku sebenarnya sudah punya seseorang yang aku suka."

Serena langsung menatap putrinya dengan sorot penuh minat. "Oh, iya? Siapa, Nak?" tanyanya dengan antusias.

Susan mengangkat bahu, menghela napas panjang. "Tapi kayaknya dia bukan spek Bapak, Bu," katanya sambil tersenyum getir.

Serena menatap Susan lama, seolah sedang membaca pikirannya. Ia mengulurkan tangan, menyelipkan beberapa helai rambut putrinya ke belakang telinga dengan penuh kasih sayang. "Ikuti kata hatimu, Nak," ujarnya lembut. "Yang penting, pastikan dia orang yang baik. Kalau dia baik, keluarganya juga baik, Ibu yakin kamu akan bahagia."

Susan terdiam, merasakan sentuhan ibunya yang begitu hangat, begitu tulus.

Serena menarik napas pelan sebelum melanjutkan, suaranya sedikit bergetar. "Dan ingat, Nak... Sebagai perempuan, kamu hanya memberikan kehormatanmu pada suamimu, ya."

Susan menoleh, matanya bertemu dengan mata ibunya yang sendu. Ada ketulusan di sana, ada harapan, ada ketakutan seorang ibu yang ingin melindungi putrinya, bahkan ketika tubuhnya sendiri mulai melemah.

Susan menggenggam tangan ibunya, merasakannya semakin kurus dan dingin. "Iya, Mamah," bisiknya.

Serena tersenyum, lalu mengusap lembut pipi putrinya. Bagi Serena, Susan akan selalu menjadi putri kecilnya, yang harus ia jaga, walau kini ia sendiri tengah berjuang melawan sakit yang semakin sering datang menghampiri.

Susan terbangun dengan sedikit terkejut, menyadari dirinya masih di sofa ruang keluarga. Cahaya lampu yang temaram membuat ruangan terasa lebih hangat, tetapi tubuhnya terasa agak kaku setelah tertidur dalam posisi duduk. Ia mengusap wajahnya, lalu menoleh ke arah ibunya yang masih duduk bersandar di sofa dengan mata setengah terpejam.

"Mah, maaf aku ketiduran,"ucap Susan dengan suara parau.

Serena membuka matanya perlahan, menatap putrinya dengan senyum lelah. "Tidak apa-apa, Sayang," katanya lembut. "Kamu tidurlah di kamar kamu, Mamah juga mau istirahat."

Susan mengangguk kecil, lalu bangkit dari sofa. Sebelum pergi, ia membenarkan selimut tipis yang menyelimuti ibunya, memastikan ibunya tetap hangat. "Selamat tidur, Mah," bisiknya sebelum berjalan menuju kamarnya.

Begitu memasuki kamarnya yang megah, Susan langsung menghempaskan tubuhnya ke atas kasur empuknya. Tapi, bukannya merasa nyaman dan mengantuk, pikirannya justru semakin gelisah. Ia menatap langit-langit kamar, lalu berguling ke sisi lain tempat tidurnya. "Kenapa susah banget tidur malam ini?" gumamnya pelan.

Akhirnya, ia meraih ponselnya di atas nakas dan membuka galeri foto. Jari-jarinya menggulir layar, melewati berbagai foto dirinya, keluarganya, dan momen-momen pertemuan bisnis yang membosankan. Hingga akhirnya, matanya tertuju pada satu foto yang membuatnya berhenti.

Foto seorang pria.

Matanya menatap tajam ke arah layar. Di foto itu, seorang pria berdiri dengan ekspresi serius, namun pesonanya begitu kuat. Rahangnya tegas, matanya tajam tapi ada kelembutan yang samar di dalamnya. Susan merasakan dadanya berdesir hanya dengan menatapnya.

Perlahan, senyum terbentuk di bibirnya. Ia menyentuh layar ponselnya, seolah ingin merasakan pria itu lebih dekat.

"Ah, Raka... Kamu tampan sekali,"bisiknya lirih, matanya tidak lepas dari foto itu. "Kamu adalah tipe aku, Raka."

Ia menggigit bibir bawahnya, tatapannya penuh tekad.

"Aku harus mendapatkanmu, Rak."

Matanya berbinar penuh ambisi. Malam itu, Susan tidak bisa tidur, bukan karena kegelisahan, tetapi karena pikirannya sudah dipenuhi oleh satu hal—atau lebih tepatnya, satu orang. Raka.

1
Jumiah
Rommy cari tau dong kenapa azizah .
gk sma suamix tinggal ,dodol bangat Rommy...kejar cinta msa lalu mu
Ma Em
Tuh kan Azizah nya tdk apapa kan kalian keluarga pratama dan Aditama malah adu kekuatan dan pamer kekayaan , kalian harus akur karena mungkin tdk lama lagi kalian akan jadi besan 🤭🥰🥰
Jerni
tutorial biar yang baca banyak gimana ya? 😭
Jerni: gila banget 10 Bab sehari /Sob/
SOPYAN KAMALGrab: bikin Sahari 10 bab.. langsung sistem merekomendasikan...aku bikin satu bab satu bab pembacanya sedikit,
total 2 replies
Ma Em
Azizah sdh ceraikan Raka sebelum Raka tau Azizah anak orang kaya takut nanti Raka tdk mau menceraikan Azizah kalau keluarga Raka tau Azizah anak orang kaya maklum ibunya Raka dan kakaknya matre semua
Ma Em
Akhirnya Raka masuk jebakan Susan semoga Susan hamil agar Raka menikah dgn Susan dan Azizah jadi mudah pisah dgn Raka dan Azizah bisa dgn Romi biarkan Raka dan keluarganya menyesal karena sdh membuang istri dan menantu kayanya apalagi kakaknya Raka yg matre yg selalu bilang Azizah miskin dan tdk berguna itu anak seorang konglomerat
Ma Em
Romi kalau kamu mau tau kemana suaminya Azizah makanya yg kamu selidiki itu suaminya Azizah siapa, dimana dan kenapa tdk bersama Azizah jgn Azizah nya yg ditungguin sama anak buah kamu Romi dan untuk pak Warseno yg matre meskipun sdh kaya semoga saja Susan dgn Raka
Ma Em
Raka turuti terus kemauan ibumu dan kakakmu itu pasti akan membawamu dalam kehancuran, ibumu dan kakakmu itu ambisinya terlalu besar jadi menghalalkan segala cara meskipun itu dgn cara salah tapi ada untungnya Raka dan ibunya tdk tau bahwa Azizah anak seorang pengusaha makanya Azizah lebih baik cepatlah ceraikan Raka.
Phoebe
Puas hati!
SOPYAN KAMALGrab: makasih
total 1 replies
ChopSuey
Gilaaa ceritanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!