NovelToon NovelToon
Aku, Kamu, Dan Jarak Yang Tak Kasat Mata

Aku, Kamu, Dan Jarak Yang Tak Kasat Mata

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Percintaan Konglomerat / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Murni / Romansa
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Venus Earthly Rose

"Apa yang Dipisahkan Tuhan takkan pernah bisa disatukan oleh manusia. Begitu pula kita, antara lonceng yang menggema, dan adzan yang berkumandang."
- Ayana Bakrie -

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Venus Earthly Rose, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sabtu 26 Desember 2015

Aku bertemu seorang anak laki-laki. Dia seumuran denganku. Kami sama-sama kelas sepuluh. Aku bertemu dengannya di Jakarta. Iya, Jakarta. Ribuan kilometer dari rumahku. Aku seperti anak yang tersesat di sini.

Jadi begini, aku mengikuti lomba menulis cerpen tingkat nasional. Dan Alhamdulillah dari sekian banyak peserta yang mengirimkan email cerita. Aku meraih juara satu. Huhuhu... Aku ingin menangis dan memang kenyataannya aku menangis. Cerita yang ku tulis meraih juara satu di lomba menulis cerpen yang diadakan salah satu penerbit yang ku suka.

Saat pertama mendapatkan pemberitahuan jika aku menang lomba dari pesan whatsapp. Ku pikir itu penipuan. Jadi ku acuhkan saja pesan itu lebih dari seminggu. Sampai akhirnya salah satu panitia lomba menelepon dan meminta kesediaanku datang ke Jakarta. Tentu saja aku menolak. Pergi ke Jakarta sangat jauh, aku merasa keberatan. Belum lagi biaya perjalanan pulang pergi dan biaya makan di sana. Jadi aku bilang saja jika aku tak apa-apa jika tak jadi pemenang di lomba itu.

Tetapi, aku sempat bertanya apakah uang hadiah lomba dapat ditransfer saja. Kebetulan kakak sepupuku punya rekening bank. Dan alhamdulillah nya lagi, pihak penyelenggara bilang jika mereka akan mengirim tiket pesawat pulang pergi supaya aku bisa datang ke Jakarta menghadiri acara penyerahan hadiah lomba cerpen itu. Untuk makan dan tempat menginap pun, mereka sudah menyediakan hotel khusus untuk aku dan empat orang lainnya yang juga memenangkan lomba menginap. Mereka bilang, aku punya potensi jadi penulis. Karena ceritaku meraih poin tertinggi dari para juri dari beribu email yang masuk.

Dan selain ada hadiah uang yang jumlahnya cukup besar, cerpen yang ku tulis akan diterbitkan dalam suatu buku bersama cerpen-cerpen lain yang juga memenangkan lomba. Dan juga....... Aku punya kesempatan magang di penerbit tersebut. Aku benar-benar takjub luar biasa.

Tetapi kan tidak mungkin jika aku yang masih berusia lima belas tahun ini ikut magang. Jadi ku putuskan saja untuk menunda mengambil bagian magang itu. Mereka bilang hal itu tidak jadi masalah, aku bisa magang setelah aku lulus SMA nanti. Asyik...... Mereka bilang ada dua anak lainnya yang ternyata juga sama-sama masih kelas satu SMA. Dari lima pemenang, kami bertiga menduduki posisi juara satu hingga tiga. Maka dari itu pihak penerbit sampai bilang jika aku dan yang lainnya punya potensi jadi penulis yang hebat. Wahh, aku dipuji habis-habisan.

Aku berangkat jam empat sore dari Bandara Blimbingsari menuju Jakarta kemarin. Benar-benar seorang diri. Ada rasa takut. Luar biasa takut. Keluargaku sudah menyiapkan keperluanku dengan sangat baik. Aku bisa melihat raut wajah takut mereka. Begitu pula kembaranku. Tetapi mau bagaimana lagi, hanya ada satu tiket. Dan besok sore aku juga akan segera kembali ke rumah.

Ayahku sempat menawarkan diri untuk ikut namun ku tolak. Biaya tiket pesawat lumayan mahal. Tidak usah. Aku akan segera kembali besok. Keluargaku mengizinkanku berangkat setelah ayah menginterogasi salah satu panitia lomba untuk memastikan jika lomba ini bukan penipuan. Mereka sempat beradu mulut sampai-sampai panitia lomba tersebut, yang kemudian ku ketahui jika Namanya Pak Radit menunjukkan kantor tempat penerbit tersebut beroperasi dan menunjukkan tempat acara akan dimulai. Aku pun berangkat ke Jakarta seorang diri.

Sesampainya di Jakarta, sudah ada Pak Radit yang menungguku. Pak Radit masih muda, usianya sekitar dua puluh lima tahunan. Pak Radit bilang dia kepikiran omongan ayahku. Dan wajar saja hal itu terjadi. Mengingat apa yang ku alami, benar-benar seperti mimpi di siang hari. Tidak akan lucu jika ternyata sesampainya di Jakarta, aku malah dijual ke luar negeri. Amit-amit. Naudzubillah. Namun Pak Radit sangat baik, bahkan Pak Radit membantuku membawa barang-barang bawaanku.

Kami naik mobil. Mobilnya bagus sekali. Aku tak tahu jenisnya. Fitur-fitur mobilnya sangat canggih. Namun tetap saja, sebagus apapun mobil itu, membuatku tak betah. Aku mabuk kendaraan. Jadi selagi Pak Radit mengajakku bicara dengan ramah, yang sanggup ku lakukan hanya diam seribu bahasa. Pak Radit yang duduk di kursi depan awalnya terus lanjut bicara sampai beberapa lama waktu menuju hotel. Pak Radit semakin diam lalu menengokku yang duduk di kursi penumpang. Kami saling bertatapan. Pandangan Pak Radit penuh dengan rasa menyelidik. Saat kami berhenti di lampu merah. Pak supir juga ikut menengok ke arahku. Aku sempat dengar Pak Supir bilang jika wajahku sudah pucat pasi. Lalu beliau menoleh lagi ke depan seakan-akan mencari sesuatu.

Pak Radit masih menatapku. Pandangan matanya masih menyelidik. Ekspresinya datar. Sedangkan ekspresiku semakin kecut. Jilbab yang kenakan mulai basah penuh keringat. Aku tak beranjak sesenti pun dari tempatku awal duduk tadi saat pertama kali masuk mobil. Sampai akhirnya Pak Radit bersuara.

"Kamu mabuk kendaraan, ya?" tanyanya.

Aku tak menjawab sama sekali. Namun tanganku langsung menyambar kantung plastik yang disodorkan oleh Pak supir. Sedetik kemudian. Aku muntah.

Pak Radit langsung sigap memberikanku minyak kayu putih. Argghhh aku malu sekali. Aku hanya bisa mencoba tidur dan memejamkan mata. Sedangkan Pak Radit menginstruksikan kepada Pak supir agar mempercepat laju mobil sampai kami tiba di hotel. Entah kenapa perjalanan terasa lama sekali.

Saat sampai di hotel, aku sudah muntah lima kali dan badanku benar-benar lemas.

Pak Radit mengantarku ke kamar tempatku menginap. Pak Radit bilang jika kamar tempat lima pemenang lomba menginap, semuanya berjejer berurutan di samping kamarku. Dimulai dari kamarku yang berada di paling pojok. Hanya kamarku dan kamar di sebelahku yang terisi. Sisanya masih kosong karena yang lainnya berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan mereka semua belum sampai di Jakarta. Aku jongkok di depan pintu kamar sambil menahan pusing dan mual sementara Pak Radit membuka pintu kamarku dengan kartu. Canggih sekali.

"Na, yok masuk. Nanti kamu istirahat dulu aja, jangan kemana-mana dulu. Kamu pucat banget loh ini." Kata Pak Radit penuh khawatir.

Aku hanya menjawab dengan mengangguk lemah. Pandanganku masih ke bawah dan aku masih mencoba menahan rasa mual. Makanan yang tadi ku makan mulai naik lagi ke kerongkonganku.

Saat aku akan masuk ke dalam kamar. Sesorang memanggil Pak Radit. Aku sempat menoleh sekilas sebelum lari secepat kilat ke dalam kamar mandi. Mabuk kendaraan memang luar biasa. Yang ku ingat waktu itu, yang memanggil Pak Radit adalah anak laki-laki. Jika dilihat-lihat sepertinya keturunan cindo. Wah, dia mirip artis Korea yang selalu ku idamkan belakangan.

Hari itu ku habiskan dengan tidur. Aku bangun jam tujuh pagi dan tergesa-gesa sholat subuh. Acara dimulai jam delapan dan aku belum sarapan. Saat ku cek ponselku puluhan panggilan tak terjawab dari keluargaku dan Pak Radit menyambutku. Setelah mengabari keluargaku. Aku segera keluar kamar, di depan pintu kamar ada meja sarapan. Lalu aku sarapan lebih dulu.

Aku masuk kembali ke kamar dan makan dengan buru-buru. Sarapannya luar biasa enak. Nasi goreng cumi-cumi dilengkapi sop buntut dan jus jambu. Wah. Luar biasa. Saat melihat cermin, aku baru sadar jika dasi seragam sekolahku belum ku pakai. Lalu aku mencarinya dan ku temukan di kamar mandi. Ini pertama kalinya aku mandi air hangat menggunakan shower. Pak Radit bilang kami yang masih SMA harus menggunakan seragam putih abu-abu kami untuk menunjukkan identitas kami. Jadi aku membawanya dari rumah. Setelah penampilanku ku rasa rapi. Aku segera berlari keluar. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat naik lift.

Saat melihat Pak Radit di lobi hotel. Aku merasa senang dan malu bercampur jadi satu. Pak Radit jadi repot mengurusku yang mabuk kendaraan kemarin. Namun Pak Radit bilang jika yang ia lakukan hanyalah hal biasa. Pak Radit juga bersama dengan tiga orang lainnya yang juga pemenang lomba. Ada salah satu yang juga menggunakan seragam putih abu-abu sepertiku. Anak laki-laki. Tetapi dia bukan anak laki-laki yang kemarin. Kami semua berkenalan. Anak laki-laki itu bernama Brian, dia meraih juara tiga. Aku bertukar nomor ponsel dengan Brian. Ada seorang Bapak yang usianya ku rasa sama dengan ayahku, namanya Pak Jhon, beliau juara lima, dan ada seorang kakak cantik dengan penampilan modis yang usianya dua puluhan, namanya Kak Reya, juara empat. Kak Reya terlihat sangat cuek dan mengintimidasi. Selebihnya, mereka semua ramah. Kami lalu berjalan keluar hotel. Aku sempat bertanya kepada Pak Radit dimana anak laki-laki lain yang seusia denganku. Kata Pak Radit, anak laki-laki itu. tidak menginap di hotel karena rumahnya di Jakarta.

Kami sampai di tempat acara tepat waktu. Aku bebas dari mabuk kendaraan karena aku naik ojek motor. Alhamdulillah. Aku bilang ke Pak Radit jika aku akan mengganti ongkos ojeknya nanti. Namun tentu saja, lagi-lagi Pak Radit menolak. Saat aku masuk ke ruangan acara. Aku melihatnya lagi. Anak laki-laki yang kemarin. Kali ini secara lebih jelas.

Benar. Dia juga mengenakan seragam SMA seperti aku dan Brian. Rambutnya hitam legam. Rapi. Aku bisa melihat rambutnya licin karena gel rambut. Ada sedikit bagian dari poni rambutnya yang ku rasa tidak suka diatur sehingga agak menjuntai ke keningnya. Pupil matanya lebih gelap dari malam. Pikirku. Menurutku. Dia lebih tinggi dariku, tinggiku mungkin hanya se lehernya saja. Dibandingkan dengan Brian pun, ia masih jauh lebih tinggi. Seragam yang ia kenakan juga seragam dari sekolah elit. Badge tanda nama sekolahnya berada di lengan baju kirinya. Di dada kirinya ada badge nama lengkapnya.

Dia mengobrol dengan santai dengan Brian dan yang lain. Termasuk dengan Kak Reya yang dari tadi kelihatan cuek. Aku hanya sekali bicara dengannya saat awal, hanya sekedar menyebutkan nama tadi. Aku begitu sibuk mengamatinya. Dia tidak seperti idola K-pop yang ku idolakan. Dia lebih dari itu. Tatapan matanya begitu dalam dan tegas. MasyaAllah. Tuhan memang menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya.

Aku bisa melihatnya sepuasku karena dia sama sekali tidak mengajakku bicara dan tidak menoleh ke arahku. Dia sibuk berbicara dengan Brian. Aku tidak tahu kenapa namun aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Bahkan Pak Radit sempat menggodaku karena hal itu.

Sampai akhirnya acara penyerahan hadiah dimulai. Semua pemenang maju satu per satu ke panggung dimulai dari Pak Jhon, dan seterusnya. Aku yang paling terakhir dipanggil. Saat namaku dipanggil, aku pun maju. Pandanganku terus saja ke anak laki-laki itu. Dia kali ini balas memandangku, tanpa ekspresi. Hanya diam. Aku tak bisa membaca mimik mukanya. Bibirnya tak menyunggingkan senyuman. Namun tak ada raut marah atau terganggu di sana.

Matanya menatap lurus ke mataku. Membuatku mengalihkan pandangan dan seketika tersandung kecil sebelum sempurna mengambil tempat berdiri di sampingnya. Aku menunduk malu. Aku bisa dengar pekikan tertahan Brian tadi. Dan saat aku melirik ke sampingku. Dia, anak laki-laki itu menundukkan pandangannya ke bawah sembari tersenyum tipis. Aku ikut tersenyum dan menunduk. Setidaknya dia tidak membenciku. Tidak. Ku harap dia tidak membenciku, aku harap aku tidak mengganggu di matanya. Aku harap kami bisa jadi akrab.

Nama lengkap anak laki-laki itu Satya Alfiandra Wijaya. Namanya Andra.

1
nurul hidayati
ceritanya bagus... cuma direct speech nya aj yg agak banyakin.... biar berasa real aj. good 👍🏻👍🏻
Venus Earthly Rose: oke kak, makasih masukannya 🫶🏻🫶🏻🫶🏻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!