“Jangan berharap anak itu akan menggunakan nama keluarga Pratama ! Saya akan membatalkan pernikahan kami secara agama dan negara.”
Sebastian Pratama, pewaris tunggal perusahaan MegaCyber, memutuskan untuk membatalkan pernikahannya yang baru saja disahkan beberapa jam dengan Shera Susanto, seorang pengacara muda yang sudah menjadi kekasihnya selama 3 tahun.
Shera yang jatuh pingsan di tengah-tengah prosesi adat pernikahan, langsung dibawa ke rumah sakit dan dokter menyatakan bahwa wanita itu tengah hamil 12 minggu.
Hingga 1.5 tahun kemudian datang sosok Kirana Gunawan yang datang sebagai sekretaris pengganti. Sikap gadis berusia 21 tahun itu mengusik perhatian Sebastian dan meluluhkan kebekuannya.
Kedekatan Kirana dengan Dokter Steven, yang merupakan sepupu dekat Sebastian, membuat Sebastian mengambil keputusan untuk melamar Kirana setelah 6 bulan berpacaran.
Steven yang sejak dulu ternyata menyukai Kirana, berusaha menghalangi rencana Sebastian.
Usaha Steven yang melibatkan Shera dalam rencananya pada Sebastian dan Kirana, justru membuka fakta hubungan mereka berempat di masa lalu.
Cover by alifatania
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 Anak Siapa ?
Kirana baru saja kembali dari makan siang dengan Echi dan Marsha. Sejak jam 10 pagi Sebastian ditemani Dion keluar untuk bertemu klien.
Jam 11.30 tadi Sebastian mengabarkan kalau Tuan Richard memintanya untuk ikut lunch meeting dengan salah satu sahabat daddy-nya.
Kirana mengeluarkan handphone dari saku blazernya. Setelah merapikan diri di kamar mandi, Kirana balik ke ruangan dan mulai menyalakan komputer.
Matanya langsung terbelalak saat melihat notifikasi 35 panggian tidak terjawab dari papa Heru dan Kendra. Kirana menepuk jidatnya, dia lupa mengaktifkan mode suara saat pergi keluar makan. Selama di kantor, Kirana lebih sering mengaktifkan mode diam karena handphonenya pun ada di atas meja.
Kendra : Kak, mama jatuh dan dibawa ke rumah sakit.
Pesan terakhir yang dikirimkan Kendra membuat Kirana langsung menghubungi adiknya
“Mama gimana Ken ?” tanya Kirana langsung tanpa menyapa terlebih dahulu.
“Sudah diobati, Kak. Sedang tertidur di UGD. Dokter bilang boleh langsung pulang kalau sudah bangun.”
“Kakak ke sana !”
Kirana langsung menyambar tas nya dan memgunci semua laci meja kerjanya. Tidak lupa mematikan komputer yang baru saja dinyalakannya.
Kirana pun menghubungi Echi terlebih dahulu untuk mengabarkan kalau dia pamit pulang karena mamanya jatuh. Echi yang sempat terkejut mengiyakan dan meminta Kirana segera ke rumah sakit.
Sepanjang jalan turun ke lobby, Kirana berusaha menghubungi Sebastian dan Dion bergantian. Namun sampai dia naik taksi, tidak ada satupun panggilan yang terjawab.
Akhirnya Kirana memutuskan untuk mengirimkan pesan pada keduanya.
30 menit kemudian taksi berhenti di depan pintu UGD. Selama perjalanan, Kirana dan Kendra bertukar pesan terus. Ia meminta adiknya untuk menunggu di depan pintu UGD yang langsung ke parkiran. Kendra melambaikan tangan begitu melihat Kirana yang turun dari taksi. Kirana bergegas dan mengikuti Kendra menuju bilik mama Lia.
Ternyata mama Lia sudah sadar kembali dan duduk di ataa tempat tidur.
“Maaf Kiran telat datang,” Kirana langsung memeluk mamanya dengan perasaan menyesal.
“Nggak apa-apa, kan kamu sudah datang juga,” mama Lia menepuk-nepuk punggung putrinya.
“Mama mau pulang sekarang ? Udah nggak pusing ?” Papa Heru mendekati istrinya dan mengelus-elus punggung mama Lia.
“Pulang sekarang aja, Pa.”
Kirana pamit mengurus pembayaran sekaligus menebus obat yang diresepkan dokter. Sambil menunggu, mama Lia tetap berisitirahat ditemani papa Heru, dan Kendra pergi ke kantin mencari makan untuk mereka bertiga.
Kirana baru saja mengecek handphonenya. Belum ada panggilan telepon balik dari Sebastian maupun Dion. Pesan yang dikirimnya juga hanya centang dua belum berubah warna biru.
Suara tangisan anak kecil terdengar cukup keras tidak jauh dari tempatnya duduk. Kirana menoleh. Tampak sepasang suami istri baya dan seorang perempuan berpakaian babysitter sedang berusaha menenangkan anak lelaki yang terus menangis kencang dan sesekali berteriak.
Merasa tidak tega, Kirana pun bangun dari duduknya dan mendekati keeempatnya yang berdiri di sudut ruangan.
“Hai sayang,” sapa Kirana sambil menatap anak lelaki yang sedang digendong pria baya. Kirana yakin kalau sepasang pria dan wanita di depannya adalah opa dan oma dari anak lelaki itu.
Bocah lelaki itu pun terdiam dengan sisa-sisa air mata dan sesekali masih sesunggukan.
“Halo jagoan,” Kirana dengan senyuman khasnya kembali menyapa bocah itu.
“Kamu kenapa ?” Perlahan Kirana mengulurkan tangannya dan mulai membelai kepala si anak.
Matanya sedikit mengernyit. Menatap wajah balita itu yang terlihat familiar baginya. Ia terus berpikir sambil mengusap kepala anak lelaki itu yang mulai tenang.
Tanpa diduga, anak lelaki yang masih digendong opanya mengulurkan tangan minta digendong. Kirana makin melebarkan senyuman. Setelah minta ijin, Kirana pun mengambilnya. Bocah itu pun langsung merangkul leher Kirana dan meletakan kepalanya di ceruk leher gadis itu.
“Boleh tahu siapa namanya ?” Kirana bertanya pada sepasang suami istri itu.
“Raven,” jawab omanya
.
Kirana mengangguk sambil mengelus-elus punggung balita yang mengusap-usap wajahnya di bahu Kirana.
“Raven jangan begitu,” tegur omanya. “Nanti baju tantenya basah dan kotor kena ingus Raven.”
Kirana memberi isyarat pada babysitter untuk memberikan saputangan yang sejak tadi dipegang saja.
“Raven , sayang,” perlahan Kirana melerai pelukannya. “Lap dulu ya wajah Raven biar ganteng.”
Bocah itu mengerjapkan matanya yang masih sedikit basah.
“Boleh saya bawa ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya ?” tanya Kirana.
Oma Raven menggangguk dan menyuruh babysitter mengikui Kirana untuk membantunya.
Kirana pun mendudukan Raven di dekat wastafel lalu membersihkan wajah anak itu dengan air dan tissue.
“Nah sekarang kan Raven sudah ganteng lagi,” Kirana mencubit pelan bocah yang memiliki pipi gembul itu.
Raven tertawa dan berusaha berdiri atas wastafel. Kirana langsung menggendongnya karena sudah bisa menebak kalau anak ini akan main air.
Baru saja Kirana keluar pintu kamar mandi, namanya langsung dipanggil.
“Honey !”
“Nana !”
Kirana merasa kalau dua panggilan itu berasal dari arah yang berbeda. Dia memilih menoleh ke arah kanan dari tempatnya berdiri karena yakin matanya akan mendapati Sebastian di sana.
Sementara tanpa menoleh pun, Kirana sudah tahu pria yang ada di bagian sisi kirinya.
“Bee..” Kirana melebarkan senyumnya. Dilihatnya Sebastian sedang berdiri ditemani Kendra. Dion tidak kelihatan.
Kirana berjalan ke arah kanan mendekati Sebastian yang juga berjalan ke arahnya. Sebastian mengernyit melihat Kirana menggendong bocah laki-laki.
“Anak siapa, Ki ?” Terlihat tatapan curiga di wajah Sebastian.
“Aku juga nggak tahu anak siapa, Bee. Dia kemari sama opa omanya. Tadi menangis kencang sampai lama banget. Kasihan. Eh pas aku dekati, Revan mulai diam dan malah minta gendong.”
“Revan ?” Sebastian mengernyit lagi.
“Iya tadi omanya kasih tahu kalau namanya Revan.”
Bocah itu sempat memperhatikan Kirana dan Sebastian yang saling berbicara. Namun setelah melihat tatapan Sebastian padanya, Revan langsung berputar dan kembali memeluk leher Kirana lalu bersembunyi di ceruk leher gadis itu.
“Bee,” Kirana tertawa pelan. “Mata kamu jangan galak begitu dong . Lihat tuh, Revan jadi takut.”
Sebastian hanya tersenyum tipis. Dia sempat menoleh bersitatap dengan Steven yang masih berdiri di tempatnya. Sepertinya sepupunya sedang praktek di rumah sakit, karena masih menggunakan snelli.
“Ken,” Kirana mengalihkan perhatiannya pada Kendra. “Sepertinya obat mama sudah bisa diambil. Semuanya sudah kakak bereskan,”
Kirana memberikan selembar kertas untuk pengambilan obat pada Kendra.
“Biar Dion yang mengantar papa, mama sama Kendra,” ujar Sebastian.
“Aku bawa motor, Kak,” Kendra menyahut.
“Papa sama mama bagaimana ?” Sebastian menatap Kendra.
“Papa bawa mobil karena langsung dari kantor,” sahut Kendra lagi.
“Kalau begitu biar Dion yang setir mobil papa, nanti kakakmu pulang sama kakak.”
Kendra hanya mengangguk dan berjalan mendahului ke arah apotik rumah sakit.
“Kembalikan dulu anak ini. Memangnya mamanya kemana malah maunya sama orsng lain,” Sebastian merangkul bahu Kirana dan mendengus kesal sambil mengomel.
Diajaknya Kirana untuk mengembalikan Revan pada opa dan omanya. Babysitter Revan mengikuti mereka di belakang.
“Nana,” sapa Steven saat Kirana yang masih menggendong Revan sudah ada dekatnya.
“Hai Steve. Lagi praktek ?” Kirana membalas sapaan Steven. Pria itu hanya mengangguk karena pandangannya teralihkan pada bocah lelaki dalm gendongan Kirana.
“Anak siapa, Na ?” Sama seperti Sebastian, Steven pun mengerutkan dahi sambil menatap bocah lelaki itu.
“Aku juga nggak tahu Steve. Itu opa omanya.” Kirana menunjuk pasangan suami istri yang memunggungi mereka.
“Ayo Honey, kita harus segera pulang,” Sebastian langsung menarik lengan Kirana.
Hati Sebastian masih sedikit dongkol kalau mengingat bagaimana sepupunya itu membawa paksa Kirana sampai ke Bogor.
Kirana pun pamit pada Steven sambil menganggukan kepalanya.
“Tante,” panggil Kirana saat langkah mereka semakin dekat.
Keduanya membalikan badan dan langsung terbelalak saat bertatapan dengan Sebastian.
“Om Herman !” desis Sebastian. Tangannya mengepal di samping dan rahangnya langsung mengeras.