"Kau masih gadis?"
"I-iya, Tuan."
"Bagus. Kita akan membuktikannya. Kalau kau berbohong, kau akan tahu apa akibatnya."
Bab 27
"Carlton berniat mengobatimu, tetapi kau bahkan menuduhnya akan melakukan sesuatu yang buruk," pikirnya.
Klaim
"Apa kau akan mengobatiku? Aku sudah tidak berdarah. Katanya kau ingin mencekikku?"
"Apa orang yang ingin mencekik seseorang harus membawa kotak P3K?"
Mata Ariella berkaca-kaca, tetapi ia memalingkan wajah. Ini pertama kalinya ada orang lain yang peduli padanya selain Maria dan nenek Esme.
Orang tuanya saja tidak pernah meminta maaf setelah mereka memukulinya, bahkan setelah mereka membuatnya menanggung begitu banyak beban.
Melihat Carlton berniat mengobati lukanya, hati Ariella tersentuh.
"Tidak, Ariella. Jangan sampai kau terbujuk.
Jangan lupakan fakta bahwa dia pembunuh dan berniat memerkosamu! Bagaimana bisa kau membiarkan dirimu terhanyut? Jangan naif.
Mungkin saja itu bagian dari rencana Carlton agar kau luluh dan menurut padanya!"
Akan tetapi, ketika Carlton mulai mengeluarkan kain kasa dan betadine dari dalam kotak. Ariella diam saja.
"Duduklah."
Ariella menolak dibantu, meskipun tubuhnya sangat lemah ia berhasil bangkit duduk. Carlton mengangkat satu alis, mengamati tanpa ekspresi sebelum memerintahkan gadis itu menoleh agar luka di lehernya terlihat jelas.
Di sana tidak dalam, lukanya hanya menggores kulit, tetapi letaknya cukup berbahaya dan rasanya tetap sakit. Ariella menggigit bibir saat Carlton mulai membersihkan lukanya, tetapi setelah itu rasa perihnya hilang.
Sekarang, yang Ariella rasakan bukan rasa perih, melainkan sapuan napas hangat Carlton di leher dan wajahnya.
Tidak, tidak.
Pria itu duduk terlalu dekat, begitu dekat.
Rasanya Ariella tidak dapat bernapas. Aroma tubuh pria itu, kehangatannya, melingkupi tubuhnya.
Deg!
Deg!
Deg!
Jantung Ariella berdetak cepat, semakin cepat.
Wajahnya yang tadi pucat dan dingin kini terasa panas. Ia menahan napas, lalu mendapati dirinya tengah diawasi oleh sepasang mata hijau Carlton.
Pria itu sudah memasang perban di lehernya, lalu kini pria itu menunduk, menatap ke arah dada Ariella.
Carlton mendecak.
"Turunkan gaunmu sedikit."
"B-biarkan aku saja, aku bisa melakukannya."
"Aku yang akan melakukannya."
"Kenapa kau bersikap seperti ini padaku?"
"Jangan bertanya."
"Kau orang aneh."
Carlton setengah menggeram.
"Turunkan sedikit gaunmu atau akan kuturunkan semuanya?"
"Aku malu!"
"Malu? Aku sudah melihat tubuh atasmu, jadi bukan masalah."
"Tapi...."
Dengan tegas, Carlton meraih bahu Ariella, lalu mendorong gadis itu agar bersandar ke kepala ranjang di antara bantal-bantal empuk. Ia tersengal, terlalu lelah untuk melawan, jadi ia hanya terpana ketika Carlton mulai membersihkan lukanya.
Klaim
"Ini hanya luka gores."
"Tapi aku berdarah cukup banyak."
"Mungkin."
Carlton menyahut acuh tak acuh, jari-jarinya yang cekatan bergerak di atas dada Ariella, punggung jarinya sesekali bersentuhan dengan kulit Ariella yang lembut. Setiap itu terjadi, rasanya ada sengatan listrik kecil yang aneh. Ariella menahan napas, berulang kali.
"Mulutmu bau alkohol," kata Ariella dengan berbisik. Matanya menatap ke arah bibir Carlton yang seksi, terlihat ranum.
"Kau punya masalah?"
Ariella menggigit bibir.
"Aku benci alkohol. Jadi jangan terlalu dekat denganku, itu membuatku ... uh!"
Sebelum Ariella menyelesaikan ucapannya.
Carlton sudah lebih dulu menekan Ariella agar lebih dalam bersandar ke bantal empuk, tubuh besarnya mengurung tubuh kecil Ariella, dan itu benar-benar menakutkan.
Karena, Carlton sengaja mendekatkan wajahnya ke wajah Ariella, membuat gadis itu bertatapan mata dengannya.
"Benarkah kau tidak suka?" Carlton berbisik serak. Matanya kini menatap bibir mungil Ariella, penuh hasrat.
"H-hentikan, kau terlalu dekat! Aku mual, aku ingin muntah."
Sayangnya, gertakan Ariella tidak berhasil pada Carlton. Pria itu justru semakin mendekatkan wajahnya, puncak hidung mereka bahkan saling bergesekan.
Carlton bernapas dari mulut, menebarkan aroma mint dan alkohol yang bercampur jadi satu, meskipun aroma alkohol jauh lebih mendominasi.
Hal itu membuat Ariella gelisah, bukan hanya karena ia berbagi napas dengan Carlton, tetapi hal itu membuatnya teringat akan ciuman yang diberikan Carlton padanya beberapa minggu lalu.
"H-hentikan...."
"Mulut mungilmu itu harusnya dihukum,
Ariella."
Carlton bergerak.
Sedikit saja.