NovelToon NovelToon
Dipoligami Karna Tak Kunjung Hamil

Dipoligami Karna Tak Kunjung Hamil

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Poligami / Cinta Paksa / Diam-Diam Cinta / Romansa / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Mahkota Pena

Cerita ini mengisahkan sepasang suami isteri yang sudah dua tahun lamanya menikah namun tidak kunjung diberikan momongan.
Mereka adalah Ayana dan Zulfahmi.
Namun karena desakan sang ibu yang sudah sangat mendambakan seorang cucu dari keturunan anak lelakinya, akhirnya sang ibu menyarankan untuk menjodohkan Fahmi oleh anak dari sahabat lamanya yang memiliki anak bernama Sarah agar bisa berpoligami untuk menjadi isteri keduanya
Rencana poligami menimbulkan pro dan kontra antara banyak pihak.
Terutama bagi Ayana dan Fahmi sendiri.
Ayana yang notabenenya anak yatim piatu dan tidak memiliki saudara sama sekali, harus berbesar hati dengan rencana yang mampu mengguncangkan jiwanya yang ia rasakan seorang diri.
Bagaimanakah kelanjutan kisah Ayana dan Fahmi?
Apakah Ayana akan menerima dipoligami dan menerima dengan ikhlas karena di madu dan tinggal bersama madunya?
Ikuti kisahnya..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mahkota Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Happy Anniversary

"Wa'alaikumsalam, Bu." Ucap lirih Difa dengan wajah gelisah dan kebingungan.

Dahlia adalah janda beranak dua.

Anak pertama bernama Dito sedangkan anak keduanya bernama Difa.

Ia hidup menjadi sudah kurang lebih selama lima tahun setelah suaminya meninggal dunia.

Semenjak suaminya meninggal, ekonomi keluarga Difa menjadi kurang baik. Dahlia harus membanting tulang demi menyekolahkan Dito dan Difa.

Namun, Dito kini lupa akan perjuangan Dahlia.

Dito yang sudah bekerja di Kota besar, jarang sekali memberikan uang kepada Dahlia. Sehingga Dahlia harus tetap membanting tulang untuk kebutuhan sehari-hari.

Besar harapannya kepada Difa. Semoga Difa kelak dapat membahagiakannya dan bisa merubah ekonominya agar kembali membaik.

Nampaknya, raut wajah kegelisahan Difa terpantau oleh Zidan yang sudah berdiri sedari tadi didepan pintu ruangan Difa.

"Apakah kamu sudah sarapan? Jika belum, mari kita sarapan bersama." Suara Zidan membuyarkan pikiran Difa.

Difa terkejut dengan adanya Zidan yang telah berdiri didepan pintu ruangannya.

"Eh, Kyai. Alafu, Difa sampai tidak tahu jika Kyai sudah ada disini." Jawab Difa dengan gugup.

"Tidak apa-apa. Yuk, sarapan. Disekitar sini saja, kita jalan kaki." Ajak Zidan kepada Difa.

Difa merasa tidak enak menerima ajakan Zidan, namun ia lebih tidak enak lagi jika harus menolak ajakan seorang Kyai.

Zidan berusaha untuk lebih welcome kepada Difa, seperti yang disarankan oleh Ayana.

Barangkali, memang Difa adalah jodohnya. Ia sedikit membuka hati untuk Difa, agar lebih terbiasa dan tidak kaku.

"Tapi, Kyai?" Jawab Difa.

"Sudah, santai saja. Yuk, mumpung belum terlalu ramai." Ajak Zidan kembali.

Difa pun mengangguk dan berjalan mendekati Zidan.

Keduanya berjalan menuju tempat sarapan yang tidak jauh dari Pesantren. Walau jalan kaki berdua, mereka memberikan jarak keduanya.

***

"Untuk hasilnya, kami akan kirimkan ke alamat rumah Bapak dan Ibu, ya. Atau bisa juga diambil esok sekitar pukul lima sore." Ucap sang dokter obgyn kepada Ayana dan Fahmi.

"Baik, dokter. Apakah ada keluhan pada tubuh saya dan suami saya?" Ayana mencoba bertanya kembali kepada sang dokter.

Dokter pun tersenyum.

"Setelah kami cek, kondisi bapak dan ibu cukup bagus dan sehat. Namun, untuk hasil lebih pastinya, akan diketahui esok hari." Jawab sang dokter.

"Apakah besok kamu bisa mengambilnya, sayang?" Ucap lirih Fahmi bertanya kepada Ayana.

"Insya Allah, bisa. Sepulang mengajar aku akan mengambilnya dan sekalian minta penjelasan lebih detail lagi pada dokter." Tegas Ayana.

"Baiklah."

"Dokter, terima kasih ya untuk pemeriksaan hari ini. Kalau begitu, kami izin pamit terlebih dahulu." Ayana berdiri hendak akan pergi meninggalkan sang dokter.

"Baik, Ibu Ayana, Pak Fahmi. Hati-hati dijalan ya."

Fahmi dan Ayana pergi meninggalkan sang dokter.

Sembari berjalan menuju parkiran mobil, keduanya saling berbincang-bincang.

"Dek, besok sore apakah benar kamu bisa mengambilnya? Kalau tidak, biarkan dikirim saja hasilnya." Fahmi bertanya kepada Ayana.

"Insya Allah aku bisa, Mas. Aku ambil saja. Karena, aku ingin bertanya langsung tentang hasilnya seperti apa. Kalau hasilnya dikirim, kita tidak akan tahu bagaimana hasilnya. Secara kita ini orang awam tentang dunia medis." Jawab Ayana.

Fahmi tampak berpikir sejenak.

"Baiklah, kalau begitu besok kamu minta antarkan Kak Zidan saja. Sekalian arah pulang ke rumah." Perintah Fahmi.

"Baik, Mas. Sekarang kita akan lanjut jalan-jalan kemana, Mas?" Tanya Ayana dengan begitu penasaran.

Fahmi dan Ayana telah memasuki mobil dan hendak akan pergi meninggalkan area parkiran Rumah Sakit.

"Hmmm, ada deh. Rahasia!"

"Ih, Mas. Kasih tahu dong!"

"Nanti kamu juga akan tahu, Dek!"

***

"Sepertinya kamu sedang ada masalah? Boleh berbagi cerita? Barangkali aku bisa memberikan solusi." Zidan sedang menikmati sarapan bersama dengan Difa.

Disebuah kedai kecil tidak jauh dari Pondok Pesantren. Keduanya tengah menikmati sarapan bubur ayam.

Difa menunduk dan terdiam. Rasanya ia enggan sekali bercerita dengan Zidan.

Zidan menatap kembali wajah Difa, memang sepertinya Difa sedang mengalami sebuah masalah.

"Difa, aku bertanya. Mengapa kamu tidak menjawabnya? Ya sudah, tidak apa-apa, jika kamu tidak mempercayakan kepadaku untuk berbagi cerita." Zidan bertanya kembali dengan kemudian membiarkan Difa fokus dengan hati dan pikirannya sendiri.

Difa menjadi semakin bingung.

"Eee.. Bukan begitu maksud Difa, Kyai." Jawab Difa dengan segera, ia takut jika Zidan berubah menjadi marah karena pertanyaannya tidak segera dijawab.

"Lantas? Ada apa?" Tanya Zidan kembali.

Difa kemudian menceritakan apa yang telah mengganggu aktifitas paginya kala itu.

Dengan seksama, Zidan menyimak dan menjadi pendengar yang sangat baik.

Sesekali, Zidan menikmati bubur ayam dan meneguk segelas teh tawar hangat.

"Jadi seperti itu ceritanya? Baiklah, berikan nomor rekening kamu kepadaku." Pinta Zidan kepada Difa.

Difa terkejut dan menjadi bingung.

"Untuk apa, Kyai?" Tanya Difa.

"Tolong jangan ditolak ya. Ada sedikit rezeki untuk Ibu kamu yang di kampung. Semoga bisa sedikit membantu beliau." Jelas Zidan.

Difa semakin merasa tidak enak. Karena Zidan akan membantu dirinya dan Ibunya.

"Tapi, Kyai..!" Protes Difa.

"Nomor rekening, sekarang!" Pinta Zidan kembali, dengan wajah sikap dinginnya.

Sikap Zidan membuat Difa merasa tidak nyaman. Namun, dengan segera Difa memberikan nomor rekeningnya kepada Zidan.

Karena, rupanya Zidan terus mendesak kepada Difa agar segera memberikan nomor rekening.

"Ini, Kyai." Difa menunjukkan sebuah nomor rekening kepada Zidan.

Zidan langsung melakukan pengiriman uang saat itu juga.

"Sudah ya, semoga bermanfaat!" Zidan menunjukkan bukti pengiriman uang kepada Difa.

Begitu terkejutnya Difa melihat nominal yang tertera pada layar ponsel Zidan.

Sebesar lima juta rupiah telah masuk ke rekeningnya.

Sungguh, Zidan memang seorang Kyai yang baik hati dan tidak sombong.

"Kyai? Tidak salah nominalnya?" Difa terkejut sampai menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

"Apanya yang salah? Benar kok!" Sahut Zidan.

"Banyak sekali, Kyai? Bagaimana cara Difa menggantinya? Apakah bisa dicicil saja nanti dari gaji Difa, Kyai?" Difa berusaha untuk menggantinya suatu saat dari hasil gaji mengajar Difa.

"Kamu bicara apa, Difa? Tidak perlu diganti!" Tegas Zidan.

"Tapi, Kyai?" Sahut Difa kembali.

"Makannya sudah selesai belum? Kalau sudah, mari kita segera ke Pesantren!" Zidan berusaha mengalihkan pembicaraannya.

Difa tidak diberi kesempatan untuk menanyakan lebih lanjut terkait pemberian uang dari Zidan.

Difa segera menyelesaikan sarapannya, dan kemudian kembali lagi berjalan menuju Pesantren bersama dengan Zidan.

***

"Wah, ternyata kamu mengajakku kesini ya, Mas? " Ayana bahagia sekali ketika dirinya diajak oleh Fahmi ke sebuah pantai yang indah.

Riuh ombak memecahkan keheningan. Deru ombak menciptakan suasana lebih tenang dan damai.

Angin semilir menerpa wajah keduanya.

"Kamu suka, Dek?" Fahmi tersenyum kepada Ayana.

Ia memang jarang sekali berquality time bersama dengan Ayana. Karena, pekerjaan yang menuntut untuk tetap profesional dalam mengembannya.

"Suka sekali, Mas. Aku sejak kecil suka sekali bermain ke Pantai. Dulu, aku sering diajak jalan-jalan oleh Kyai Akbar dan Umi Farida ketika para santri dan santriwati sedang liburan. Salah satu tempat favoritku adalah Pantai. Kalau sudah berada di Pantai, rasanya enggan pulang, Mas." Cerita Ayana disimak oleh Fahmi dengan perasaan bahagia.

Kali ini, Fahmi berhasil membuat Ayana kembali bahagia dengan mengajak Ayana pergi jalan-jalan untuk melepaskan kepenatan aktifitas kesehariannya.

Apalagi, hari ini adalah hari dimana tepat satu tahun usia pernikahan mereka.

"Alhamdulillah, kita bisa merayakan hari pernikahan kita ya, Dek." Sahut Fahmi.

"Iya, Mas. Alhamdulillah! Sering-sering ya, Mas. Ajak aku jalan-jalan terus supaya tidak merasakan bosan, hehehe." Pinta Ayana dengan terkekeh memandang wajah Fahmi.

Fahmi tersenyum dan mengangguk pasti.

Ayana memeluk Fahmi dengan nyaman. Suasana Pantai belum terlalu ramai, sehingga Fahmi dan Ayana dapat sepuasnya bermain dan berlari kesana-kemari diiringi oleh gulungan ombak yang berlomba-lomba untuk mencapai tepi.

***

"Bu, sendirian saja? Yang lain kemana?" Zidan yang baru sampai rumah hendak naik ke kamarnya, bertanya kepada Bu Fatimah.

Bu Fatimah yang sedang menyaksikan acara televisi, menoleh kearah sumber suara Zidan.

Hari sudah malam, Zidan pun pulang terlambat karena ia sedang mengurus untuk pembangunan rumah yang akan segera dibangun di area Pesantren.

"Fahmi dan Ayana belum pulang, Nak. Mereka sedang pergi. Tumben kamu juga pulang malam? Biasanya sore kamu sudah sampai rumah!" Bu Fatimah balik bertanya.

"Iya, Bu. Ada sedikit urusan yang harus aku selesaikan. Karena, aku akan segera membangun rumah di area Pesantren." Jelas Zidan.

Bu Fatimah mengerutkan dahinya, dengan memasang wajah penuh tanda tanya.

"Membangun rumah? Jadi, kamu nanti akan tinggal di Pesantren?" Bu Fatimah bertanya kembali.

"Iya, Bu. Aku harus tinggal disana. Karena, dunia Pesantren tidak hanya belajar dari pagi sampai sore saja. Melainkan malam hari pun juga harus. Lagi pula, Zidan tidak nyaman jika tinggal disini karena satu atap bersama Ayana. Walaupun Ayana temanku, tetap dia adalah adik iparku. Takut ada fitnah dan hal-hal yang tidak diinginkan." Jelas Zidan kepada Bu Fatimah.

Bu Fatimah mengerti akan maksud Zidan. Ia mengangguk perlahan.

"Ya sudah, aku ke kamar dulu ya, Bu. Mau bersih-bersih. Badanku sudah lengket sekali." Zidan melangkahkan kakinya menaiki anak tangga.

"Iya, Nak. Nanti kalau sudah selesai, segera turun ya. Ada yang ingin Ibu bicarakan denganmu!"

1
♡Ñùř♡
kmu kurang garcep sih,mk nya keduluan fahmi😁
Mahkota Pena: hihihi iya nih 😁
total 1 replies
♡Ñùř♡
aku mampir thor...
Mahkota Pena: thank you yaa.. semoga terhibur dengan alur ceritanya ☺
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!