NovelToon NovelToon
Korban Virtual Check!

Korban Virtual Check!

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Chicklit
Popularitas:656
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah A

"Berawal dari DM Instagram, lalu berujung sakit hati."

Khansa Aria Medina tidak pernah menyangka DM yang ia kirimkan untuk Alister Edward Ardonio berujung pada permasalahan yang rumit. Dengan munculnya pihak ketiga, Acha-panggilan Khansa-menyadari kenyataan bahwa ia bukanlah siapa-siapa bagi Al.

Acha hanyalah orang asing yang kebetulan berkenalan secara virtual.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gelato Romantica

Untuk menjernihkan pikirannya, Acha biasa berjalan-jalan sendirian di mal. Ia menikmati waktu sendirinya dengan berbelanja, makan, atau bahkan sekadar cuci mata. Akhir-akhir ini, pikirannya sedikit suntuk karena tugas-tugas dari sekolah yang menumpuk. Setiap hari selalu ada tugas hingga membuat waktu istirahat Acha berkurang banyak. Hubungannya dengan Al juga belum ada kemajuan atau titik terang saking sibuknya Acha. Bahkan, belum ada kejelasan dari acara Dufan yang sempat direncanakan Bagas.

Kakinya Acha berhenti di salah satu toko gelato langganannya. Sudah lama ia tidak berkunjung ke sini. Mumpung belum waktunya makan malam, Acha memutuskan mengganjal perut dengan gelato. Tetapi, saat kakinya baru melangkah, ada laki-laki yang duduk membelakangi Acha. Acha seperti mengenal punggung dan potongan rambut laki-laki itu.

"Eh, eh, itu Al bukan sih ...?" Acha menyipitkan matanya agar pandangannya lebih tajam. Ia pun mengurungkan niatnya untuk membeli gelato. Perlahan, kakinya mundur dan Acha memutuskan memperhatikan laki-laki itu dari jauh. Di toko gelato itu, Acha tidak melihat tanda-tanda keberadaan Bagas. "Kayak Al, ya? Masa sih, dia ke sini sama pacarnya?"

Selama lima menit lebih, Acha menunggu untuk memastikan dengan siapa laki-laki itu bersama. Tetapi belum ada siapa pun yang duduk di depan laki-laki itu. "Lama amat, keburu gue encok. Samperin aja lah!"

Tanpa menunggu lama, Acha kembali masuk ke toko gelato. Saat melewati laki-laki itu, Acha sedikit melirik agar bisa melihat wajahnya. Benar saja dugaannya, sosok Al sedang duduk menikmati gelato.

"Al?" Acha tidak kuat menahan intonasinya agar tidak terlalu tinggi. Ia bahkan berusaha mengontrol mimik wajah agar tidak terlihat seperti salah tingkah. Perlahan, Acha menghampiri Al yang terkejut. "Sendirian ya, Al? Gue boleh duduk di sini, nggak?"

Sepertinya, Al tidak menduga akan bertemu Acha di toko gelato. Sadar bahwa Acha mungkin akan menggangu dirinya, maka Al bersiap untuk pergi. Ia merapikan tasnya lalu berdiri.

"Duh, apa susahnya sih, nemenin gue? Toh, kita juga sama-sama sendirian!" tukas Acha yang langsung merapatkan mulutnya. Baru kali ini, ia berbicara dengan Al menggunakan nada yang sedikit menyentak. Mau bagaimana lagi, kalau dipikir-pikir, sikap Al sedikit keterlaluan. Acha kan tidak pernah berbuat di luar batas hingga Al harus menghindar seperti itu.

Al melebarkan matanya. Kemudian, ia mendengus kesal dan kembali ke tempat duduknya. "Asal jangan bikin gue risih."

"Gue nggak pernah bikin lo risih, lo aja kali yang alay," kata Acha terlalu jujur. Sebelum Al semakin marah, Acha langsung berjalan menuju kasir untuk memesan gelato.

Seperti kebiasaannya dulu, rasa tiramisu yang dicampur kacang almond menjadi favorit Acha. Setelah satu porsi gelato berada di tangannya, Acha kembali ke tempat duduk Al. Ia mengambil duduk di depan laki-laki itu.

Acha membuka pembicaraan. "Al, nggak nyang—"

"Kalau banyak ngomong, mending pindah tempat aja," potong Al tanpa menatap Acha.

Acha mendengus sebal. Ia berusaha menepis rasa kesalnya. Berduaan bersama Al seperti saat ini menjadi sebuah keberuntungan. Ia kira Al akan mengusirnya atau bersikeras pergi dari toko ini, rupanya laki-laki itu masih punya hati untuk menemani Acha.

Daripada diam dengan aura canggung, Acha memutuskan menghabiskan gelatonya dengan cepat. Barangkali setelah ini, mereka akan berjalan-jalan dan menghabiskan waktu bersama. Kesempatan emas, bukan?

"Lo bocah apa gimana, sih? Makan gelato aja sampe cemot segala." Mata Al masih fokus pada ponselnya, sementara tangan kirinya mendorong kotak tisu ke hadapan Acha.

Acha mengulum senyum. Al yang diam-diam perhatian membuatnya semakin kesengsem. Kalau begini, Acha tidak akan punya alasan untuk mundur. "Lap-in mulut gue dong, Al," pinta Acha sambil memajukan wajahnya.

"Najis, entar tangan gue kotor!"

Acha tidak bisa menahan senyumnya. Ia mengambil tisu dengan gerakan lemah gemulai. Pasalnya, sikap Al terlalu manis meski terlihat jutek. "Al sendirian aja di sini?" tanya Acha setelah membersihkan mulutnya.

"Jangan banyak ngomong," peringat Al sekali lagi.

"Padahal tinggal jawab." Acha cemberut.

Al menghela napas sambil menghabiskan gelatonya yang tinggal seperempat. "Emangnya lo lihat orang lain di sekitar gue?"

Acha semakin cemberut. Bibirnya yang maju membuat orang yang melihatnya menjadi gemas—kecuali Al. Laki-laki itu tetap memasang ekspresi datar. Lalu, Acha teringat suatu hal yang dulu sempat ia dan Bagas bicarakan. "Al dulu punya mantan, ya? Al move on aja dari dia. Kan udah ada penggantinya." Acha memasang senyum semanis mungkin sembari memberikan kode.

Al melotot mendengarnya. Kemudian, ia baru teringat. Mulut ember Bagas itu memang sempat membocorkan hal itu pada Acha. Tidak disangka akan menjadi topik pembicaraan saat ini. "Gue nggak mau bahas! Selesaiin gelato lo, biar gue bisa pergi!"

***

Sepertinya ekspektasi Acha tentang Al terlalu tinggi. Ia kira, setelah ini, ia dan Al menyempatkan waktu untuk berjalan-jalan sebentar. Ternyata laki-laki itu berniat langsung pulang. Alhasil, Acha pun ikut pulang. Lagi pula, sudah tidak ada lagi yang harus ia lakukan di mal.

Setelah keluar dari toko gelato, Acha dan Al memutuskan berjalan bersama menuju pintu utama mal. Semua karena permintaan Acha agar Al menemaninya hingga Acha dijemput Pak Iman. Sesampainya di sana, belum ada tanda-tanda mobil Acha muncul sehingga Acha mengeluarkan ponselnya. Beberapa pesan yang dikirim dari Rika sejak lima belas menit lalu membuat Acha memutuskan membacanya.

[Mami]

[Acha, sayang.]

[Kamu kapan pulang?]

[Pak Iman masih nganterin Mami.]

Semula Acha sedikit bete membacanya, tetapi ia mempunyai ide bagus untuk memanfaatkan kesempatan ini.

[Acha]

[Sekarang.]

[Tapi Acha dianter temen kok.]

"Gue pulang dulu," pamit Al.

Acha memegang lengan Al sebentar kemudian melepasnya lagi. "Eh, Al. Gue pulang bareng lo, ya?" pinta Acha dengan wajah memelas.

Sudah jelas Al menolak. Ia menggeleng lalu hendak meninggalkan Acha. Tetapi, lagi-lagi Acha memegang lengannya.

"Gue barusan dikasih tahu Nyokap kalau supir gue nggak bisa jemput," cicit Acha.

"Nggak bisa, lo pakai ojek online aja." Al bersikeras untuk menolak. Setelah dirasa Acha tidak memaksanya lagi, ia pun meninggalkan Acha yang masih berdiri di luar pintu utama.

Acha menatap kecewa punggung Al. Percuma jika Acha memaksakan kehendaknya, toh, Al lebih keras kepala ketimbangnya. Dengan perasaan dongkol, Acha membuka aplikasi ojek online dan segera memesan jasa dari aplikasi itu. Ia ingin sekali segera sampai ke rumah. Kalau mood-nya sudah jelek begini, kasur adalah solusinya. Tetapi ojek tersebut menolak permintaan Acha dengan alasan bensin habis.

"Apaan, sih? Ini bapaknya kok tega banget?" keluh Acha. Ia kembali memesan ojek online. Tetapi entah kenapa, permintaan Acha kembali ditolak. Rasanya Acha ingin memukul samsak sekarang. Bukannya Acha tidak sabaran, tetapi mood-nya mendadak jelek dan ingin segera pulang. Apalagi terik matahari di sore hari sangat panas.

Sambil mencak-mencak, Acha mencoba menggunakan aplikasi lain. Tetapi suara klakson motor menghentikan aktivitasnya. Gadis dengan rambut panjang bergelombang itu menatap ke arah depan. Al melepas helm-nya, motornya yang berhenti tepat di depan Acha.

Acha menghampiri Al perlahan dengan kerutan di bagian dahi. "Lo kok nggak pulang?" Setahu Acha, parkiran bawah mempunyai akses pintu keluar menuju jalan raya. Lalu, untuk apa Al melewati pintu utama?

"Naik, nggak?"

***

Selama perjalanan, jantung Acha benar-benar tidak aman. Selain karena ia berada satu motor dengan Al, Al juga menyetir dengan kecepatan tinggi. Masalahnya, Acha jarang naik motor sehingga ia tidak terbiasa dan hanya bisa berdoa agar ia selamat sampai tujuan. Motor Al yang mengebut dengan tangan Acha yang memegang ujung jaket Al membuat tubuh mungil Acha sering bergeser ke sana ke mari. Tadinya Acha berencana memeluk pinggang Al, tetapi tepisan tangan dari Al membuatnya langsung sadar diri.

Alhasil, selama perjalanan, mulut Acha berkali-kali merapalkan doa sembari menyembunyikan wajahnya di punggung Al. Untungnya aksi kebut-kebutan itu tidak perlu waktu lama. Dalam sepuluh menit, Al berhasil mengantar Acha ke rumahnya—sesuai arahan Acha sebelum mereka berangkat. Agak beruntung pula karena tidak perlu membuka mulutnya saat di perjalanan. Acha tidak bisa membayangkan ia harus melewati mobil dan motor dengan sangat cepat. Padahal ia biasa menaiki roller coaster, tetapi untuk yang satu ini, Acha tidak sanggup.

Acha melepas helm yang bertengger di kepala, lalu menyodorkannya kembali pada Al. Helm itu merupakan milik Bagas yang tertinggal di motor Al. Tadinya Al berniat mengembalikan, tetapi sepertinya sedikit terlambat karena harus mengantar Acha.

"Makasih tumpangannya, Al," ucap Acha semanis mungkin.

Al hanya bergumam tanpa menatap Acha. Tangannya sibuk mengembalikan helm Bagas pada tempatnya. Selanjutnya, ia hendak menaikkan standar motornya.

"Mampir ke rumah yuk, Al?" tawar Acha. Gadis itu masih belum mau berpisah dengan Al.

"Nggak usah, gue mau—"

"Mampir, nggak?!" tanya Acha dengan nada lebih keras.

Al menghela napas. Entah kenapa, gadis itu tiba-tiba sering memaksanya. Seharusnya, dengan gampang, Al menolak. Tetapi Al seperti tidak punya alasan menolak. Laki-laki itu seperti terhipnotis dengan perintah Acha.

Saat Al hendak mematikan mesin motornya, sebuah mobil yang cukup mewah berhenti di belakang motor Al. Selanjutnya, turun seorang wanita paruh baya dengan gaya elegan. Wanita itu memberikan senyum ramah pada Acha lalu menghampiri kedua remaja yang berhenti di depan rumahnya.

"Wah, ini teman kamu ya, Cha?" tanya Rika sambil memberikan senyum pada Al.

Acha hanya senyam-senyum. Ia memperhatikan Al yang langsung turun dari motor dan memberikan salam pada Rika. Acha jadi semakin meleleh dengan tingkah Al. Belum lagi Al yang langsung memperkenalkan diri tanpa disuruh. Bukankah Al terlihat seperti calon suami yang sedang berkenalan dengan calon mertua?

Mereka bertiga segera menepi karena mobil Rika sedang dimasukkan ke dalam garasi. Begitu pula Al yang menepikan motornya agar tidak menghalangi jalan masuknya mobil.

"Al mau masuk ke dalam, ya? Masukin aja motornya," suruh Rika sambil menunjuk garasi yang terpampang jelas dari luar.

Al menggaruk-garuk tengkuknya. "Emm ... saya ada urusan, Tante."

"Oh, kalau memang lagi ada urusan, silakan pulang aja. Kapan-kapan bisa mampir ke sini," ujar Rika dengan pengertian.

Acha menatap Rika dengan tidak percaya. Tidak bisakah Rika peka dengan keadaannya? Seharusnya Rika tidak sesantai itu membiarkan Al pulang. Al datang ke rumahnya saja adalah sebuah keajaiban yang sepertinya harus Acha masukkan ke salah satu keajaiban dunia. "Ng-nggak apa-apa kok, mampir bentar aja."

"Eh, orang lagi ada urusan, kok kamu paksa?" tanya Rika terheran. Lalu, ia menatap Al dengan lembut. "Kapan-kapan kamu mampir ke sini ya, selesaikan dulu urusannya ya."

"Mami, yang peka ih!" tegur Acha sambil berbisik. Tetapi sepertinya Rika tidak punya rasa peka sama sekali.

Wanita yang berstatus ibu kandung Acha itu tidak mendengar suara Acha. Malahan menyetujui ketika Al berpamitan. Hingga motor Al menghilang, Acha tidak mampu berkata apa-apa. Ingin memaksa Al pun tidak bisa, bisa saja Rika semakin menegurnya dan membuat malu di depan Al.

"Kok kamu diem aja? Temen kamu tadi pamitan, harusnya dijawab dong, sayang," tegur Rika. Mereka berdua pun mulai memasuki rumah.

Acha menghela napas. Ingin marah, tetapi masih ingat bahwa Rika adalah ibunya. "Al itu gebetan Acha, Mami," ungkap Acha dengan lesu. Rasanya Acha ingin memutar waktu dan menyuruh Pak Iman untuk memperlambat perjalanan mereka. Dengan begitu, Al berhasil masuk ke dalam rumahnya.

Mata Rika melebar. Sepertinya ia sadar sudah membuat kesalahan cukup besar pada anaknya. "Waduh, Mami nggak tahu. Lagi pula, Mami kira kamu sukanya sama Bagas."

"Bagas itu cuman temen. Ini gebetan yang asli."

Rika menggaruk kepalanya kemudian memasang ekspresi merasa bersalah. "Astaga, Mami kurang peka rupanya. Kamu sih, udah suka sama Al, kok deket sama Bagas juga?"

"Nggak deket banget, Mi! Bagas udah sama Maya," ucap Acha sambil cemberut. Ia masih terbawa kesal dengan yang tadi.

"Tapi, kalau sama Bagas, Mami lumayan setuju kok." Rika ikut berbisik sembari tersenyum menggoda pada putrinya.

Acha jadi gemas sendiri mendengarnya. "NGGAK MAU!"

***

Setelah memarkirkan motornya, Al merenggangkan ototnya sejenak. Seharian mengunjungi tiga tempat membuat tubuhnya pegal-pegal. Sepertinya untuk makan malam, Al akan memasak indomie kuah kesukaannya. Makanan kuah yang hangat dapat membuat pegal di tubuhnya seketika hilang.

Sambil membawa beberapa kantong plastik di tangan, Al berjalan memasuki rumah. Baru menginjakkan kaki di ruang tamu, Al disambut Marlina yang langsung membantunya membawa kantong plastik. Marlina memang meminta Al membelikan beberapa barang saat di mal tadi.

"Tumben ke mall sampai malem gini?" tanya Marlina menyambut putranya.

"Yah, tadi Al ke rumah temen juga," jawab Al.

Marlina melirik lengan Al yang dibalut kemeja lengan panjang, kemudian langsung tersenyum geli dan memandangi Al dengan arti yang tidak diketahui Al. Pasalnya, Al tidak sedang melucu atau menggunakan intonasi konyol yang bisa membuat Marlina tersenyum seperti itu.

Dengan dahi berkerut, Al bertanya, "Kenapa, Bun?"

Marlina mengulum senyum. Ia tersenyum sejenak untuk menyusun kalimat yang pas. "Bunda lihat di Instagram Acha. Dia bikin story sama cowok. Lengan bajunya kok mirip kamu?" goda Marlina sambil tertawa.

Mata Al melebar. Setelah menaruh kantong plastik di meja ruang makan, Al segera membuka ponselnya. Benar saja, Acha membuat story Instagram berisi gelato yang gadis itu beli. Entah sengaja atau tidak, lengan Al ikut masuk ke dalam potret kamera. "Untung muka gue nggak kelihatan," gumam Al lega. "Bunda follow Instagram Acha?"

"Nggak, cuman stalking aja. Kamu mulai berani bohong sama Bunda ya," jawab Marlina enteng. Ia sedikit kecewa karena Al tidak menceritakan secara rinci, tetapi setidaknya bersyukur karena Al mau berkenalan dengan perempuan baru lagi. Bukankah ini sedikit kabar bahagia untuknya?

Al mendesah lelah. "Kebetulan tadi ketemu Acha. Terus Al memang pergi ke rumah Bagas kok." Kemudian, Al menuju dapurnya untuk memasak makan malam. "Bun, Al mau bikin indomie ya."

"Iya," jawab Marlina sembari senyam-senyum. Ia mengikuti putranya menuju dapur sambil membantunya memasak. Selain agar indomie lebih cepat jadi, Marlina juga masih ingin bertanya mengenai Acha. "Kamu kapan bawa Acha ke rumah?"

Al mengerutkan kening. Kalau begini, Al sama sekali tidak merasa terbantu dengan kehadiran Marlina di sini. "Kenapa Al harus bawa Acha ke rumah? Al sama Acha cuman sebatas kenal biasa."

"Tapi Bunda mau bikin kue bareng dia, Bunda udah janji," paksa Marlina. "Nanti kamu ajak dia ke rumah minggu depan ya."

"Bunda kan udah punya kontaknya Acha," protes Al.

"Ish, kamu itu nggak peka banget! Bunda suruh kamu biar kamu bisa modus sama pedekate," ucap Marlina senyam-senyum sendiri. Ia membayangkan Al yang tampan dan Acha yang cantik menjadi pasangan yang sempurna baginya.

"Apaan sih, Bun? Al tuh nggak ada perasaan sama Acha," tukas Al keras kepala. Meski begitu, Marlina bisa melihat sedikit semburat merah yang muncul di pipi putranya.

"Nggak ada uang jajan buat bulan depan kalau kamu nggak nurut sama Bunda!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!