Kalian Bisa Dukung aku di link ini :
https://saweria.co/KatsumiFerisu
Seorang pengguna roh legendaris, yang sepanjang hidupnya hanya mengenal darah dan pertempuran, akhirnya merasa jenuh dengan peperangan tanpa akhir. Dengan hati yang hancur dan jiwa yang letih, ia memutuskan mengakhiri hidupnya, berharap menemukan kedamaian abadi. Namun, takdir justru mempermainkannya—ia terlahir kembali sebagai Ferisu Von Velmoria, pangeran ketiga Kerajaan Velmoria.
Di dunia di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk menjalin kontrak dengan roh, Ferisu justru dikenal sebagai "Pangeran Sampah." Tidak ada roh yang mau menjawab panggilannya. Dipandang sebagai aib keluarga kerajaan, ia menjalani hidup dalam kemalasan dan menerima ejekan tanpa perlawanan.
Tetapi saat ia masuk ke Akademi Astralis, tempat di mana para ahli roh belajar tentang sihir, teknik, dan cara bertarung dengan roh, sebuah tempat terbaik untuk menciptakan para ahli. Di sana Ferisu mengalami serangkaian peristiwa hingga akhirnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Katsumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5 : Ramalan
Ferisu berlari tanpa arah pasti, melintasi lorong-lorong panjang istana. Nafasnya tersengal ketika akhirnya ia sampai di halaman belakang, sebuah taman bunga yang asri. Di tengah taman itu, terdapat sebuah paviliun kecil di mana seorang pria tua duduk dengan tenang. Pria itu adalah kakeknya, mantan Raja Velmoria, yang kini menikmati masa pensiunnya dengan merawat bunga-bunga di taman istana.
"Ah, akhirnya kau sampai, Ferisu," ujar sang Kakek tanpa menoleh, seolah ia sudah tahu bahwa cucunya akan datang mencarinya.
Ferisu langsung mendekat dengan langkah berat, wajahnya menunjukkan rasa frustrasi. "Apa maksudnya tentang pertunangan itu!?" tanyanya tajam, tanpa basa-basi.
Sang Kakek hanya tersenyum tipis, sama sekali tidak terpengaruh oleh nada cucunya. "Tenang dulu, Ferisu. Ambil nafas, duduklah di sini." Ia menunjuk kursi taman di sebelahnya.
Ferisu mendengus, namun akhirnya menurut. Ia menjatuhkan tubuhnya di kursi, menghela napas panjang sebelum menatap kakeknya dengan ekspresi jengkel. "Aku tenang. Sekarang jelaskan!"
Sang Kakek, yang rambutnya telah memutih namun masih memancarkan aura kebijaksanaan, tersenyum kecil. "Kau tahu roh yang menjalin kontrak denganku, bukan?" tanyanya dengan nada lembut.
Ferisu memutar mata, tampak kesal. "Ya, roh dengan kemampuan melihat masa depan, kan?" jawabnya setengah hati. Namun, tiba-tiba pikirannya menangkap sesuatu. Ia menatap kakeknya tajam. "Ah, jadi ini semua karena ramalan roh itu, ya? Jangan bilang ini hanya karena kesalahan perhitungan roh kontrakmu!"
Sang Kakek terkekeh pelan, seolah pertanyaan itu menghiburnya. "Kesalahan? Tidak, Ferisu. Justru ini semua demi masa depanmu yang lebih baik."
Ferisu hanya mendengus kasar, melipat tangannya dengan kesal. "Masa depan yang lebih baik? Menurut siapa? Aku? Atau roh sialan itu?"
Sang Kakek tetap tersenyum, tidak terpengaruh oleh amarah cucunya. Setelah beberapa saat, ia berganti topik. "Ngomong-ngomong, bukankah bulan depan kau akan masuk ke Akademi Roh?"
Wajah Ferisu langsung berubah dingin. "Aku tidak berniat pergi."
Sang Kakek tertawa kecil, seolah sudah menduga jawaban itu. "Kau benar-benar tidak berubah, ya? Tapi sebenarnya, apa yang membuatmu begitu membenci para roh, Ferisu?" tanyanya dengan nada ingin tahu.
Ferisu terdiam. Pertanyaan itu menyerang bagian terdalam dirinya, menggali luka yang tidak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun. Pandangannya menerawang jauh, pikirannya melayang ke masa lalu—ke kehidupan sebelumnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Dalam ingatannya, ia adalah seorang pahlawan legendaris, pengguna roh terkuat di medan perang. Setiap hari, ia harus bertarung melawan para pengguna roh iblis yang berusaha menghancurkan dunia. Perang yang tiada henti itu telah menghabiskan sebagian besar hidupnya.
Bahu Ferisu selalu terasa berat, menanggung tanggung jawab besar sebagai simbol harapan umat manusia. Namun, harapan itu datang dengan harga yang sangat mahal. Ia kehilangan banyak rekan, sahabat, dan bahkan orang-orang yang dicintainya.
Wajah-wajah mereka yang gugur di medan perang terus menghantui pikirannya. Darah, tangisan, dan kematian menjadi bagian dari hidupnya. Meski dunia akhirnya damai, perasaan hampa itu tidak pernah hilang.
"Medan perang itu..." pikirnya dalam hati. "...hanya membawa kesedihan, kebencian, dan kehancuran."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Ferisu?" suara kakeknya membangunkannya dari lamunan.
Ferisu tersentak, kembali ke kenyataan. Ia menoleh ke arah kakeknya, menyadari bahwa ia telah melamun terlalu lama. "Ah... maaf. Aku... aku harus ke toilet," katanya gugup, mencari alasan untuk menghindar.
Tanpa menunggu jawaban, Ferisu bangkit dan bergegas meninggalkan taman. Sang Kakek hanya memandangi punggung cucunya yang menjauh, menghela napas panjang. "Kau masih memikul beban itu sendirian, ya, Ferisu?" gumamnya pelan, matanya memandang ke arah bunga-bunga yang bermekaran di taman.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...----------------...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ruangan Tamu Istana Velmoria
Raja Velmoria duduk di kursinya, wajahnya tampak tenang, meski suasana di ruangan itu terasa berat. Di depannya, Duke Valcrest bersama istrinya tampak ragu, sementara putri mereka, Erica, duduk dengan ekspresi kesal dan wajah cemberut. Mata ungunyanya yang tajam memancarkan ketidakpuasan yang jelas, tetapi ia memilih diam, hanya melirik sesekali ke arah ayahnya.
"Jadi, bagaimana?" Raja memecah kesunyian dengan nada penuh pertimbangan. "Apakah kita tetap melanjutkan pertunangan ini?"
Duke Valcrest menghela napas panjang, lalu melirik putrinya. Melihat wajah Erica yang penuh penolakan, ia tampak semakin ragu. "Aku tidak tahu... tapi, ini adalah perjanjian yang dibuat oleh ayahku dengan Raja sebelumnya."
Raja Velmoria mengangguk pelan, menunjukkan bahwa ia memahami dilema Duke. Namun, di balik ketenangannya, ia sendiri tampak memikirkan banyak hal. "Aku juga merasa tak enak pada putrimu, Erica. Kau tahu bagaimana putraku, Ferisu, bukan?"
Duke tersenyum masam, menyembunyikan rasa tidak nyamannya. "Ya, aku sudah mendengar banyak tentangnya. Dia... benar-benar sesuai dengan rumor yang beredar."
Senyum Raja melebar tipis, mengisyaratkan bahwa ia tidak menyangkal pernyataan itu. "Ferisu memang... istimewa, dengan caranya sendiri. Namun, aku tidak bisa memaksa orang lain untuk memahaminya."
Erica, yang mendengar percakapan itu, akhirnya bersuara dengan nada dingin. "Istimewa? Kau menyebut seseorang seperti itu istimewa? Dia hanya seorang pangeran pemalas yang bahkan tidak bisa menjalin kontrak dengan roh."
"Erica!" seru Duke, suaranya terdengar tajam, memotong komentar pedas putrinya.
Namun, Erica tetap memasang wajah cemberut, pandangannya tertuju pada meja di depannya. "Maafkan ketidaksopananku," katanya akhirnya, meski nadanya masih terdengar ketus.
Raja hanya tersenyum kecil, seolah memahami reaksi gadis itu. "Tak apa. Aku yakin Ferisu pun tidak akan terlalu peduli. Dia bukan tipe orang yang mudah tersinggung, apalagi oleh kata-kata."
Duke menghela napas lagi, mengusap dahinya dengan lelah. "Meski begitu, aku masih tidak mengerti apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Raja sebelumnya... atau roh kontraknya."
Raja Velmoria menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap langit-langit ruangan seolah sedang mengingat sesuatu. "Ayahku... dia selalu mempercayai ramalan roh kontraknya. Katanya, Ferisu dan Erica memiliki peran besar di masa depan. Entah bagaimana, aku merasa kata-katanya tidak sekadar omong kosong."
"Peran besar?" Duke menatap Raja dengan alis terangkat.
"Ya," Raja mengangguk perlahan. "Sayangnya, roh itu hanya memberi gambaran, bukan penjelasan. Namun, jika ayahku bersikeras membuat perjanjian ini, aku yakin dia punya alasan yang kuat."
Hening kembali menyelimuti ruangan. Erica memandang ayahnya dengan tatapan ragu, sementara Duke tampak masih mempertimbangkan banyak hal. Akhirnya, Duke bersuara, meski dengan nada berat.
"Aku akan berbicara dengan Erica lagi tentang ini, Yang Mulia. Mungkin, jika ada sedikit harapan dari perjanjian ini, kita bisa mencobanya."
Raja mengangguk, senyumnya mengandung rasa terima kasih. "Aku hargai itu, Duke Valcrest. Lagipula, ini bukan hanya tentang kita, tapi tentang masa depan yang mungkin tidak bisa kita lihat sekarang."
Erica, meski masih merasa tidak puas, memilih untuk tidak berkomentar lebih jauh. Namun, di dalam hatinya, ia tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya jika harus terikat dengan seseorang seperti Ferisu.
raja sihir gitu lho 🤩