Ima mengalami hal yang sangat luar biasa pada kehidupan nya yang beranjak dewasa. Dia baru tahu bahwa cinta harus memandang usia, uang, kualitas, fisik bahkan masih banyak lagi. Hal itu membuatnya bimbang akan pilihan kedepan nya bagaimana dia menemukan sesosok pria yang begitu baik untuk menemani kehidupan nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khara-Chikara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13
"Haiz.... Sepertinya aku harus berterima kasih nanti pada Mas Regis, dia benar-benar menggendong ku sampai di kamar. Pria yang kuat dan baik... Uhuy... Sayangnya dia seperti jarang berinteraksi dengan orang lain... Tunggu... Apa dia cupu?" pikir Ima yang berjalan ke kampus. Tapi ia melihat seseorang yang ia kenal.
Yakni Hendar, ingat dokter over protective itu, dia sedang berjalan sendirian meminum kotak teh di pinggir jalan.
Ima terdiam, lalu ragu untuk menyapa. "Itu... Dia benar-benar Mas Hendar kan? Aduh, aku harus apa? Apa aku harus menyapa nya? Tapi... Aku tak mau, tapi kalo aku tidak mau, nanti malah canggung... Dia nanti malah menilai ku sama seperti SMP dulu, tidak menyenangkan... Salah satu kuncinya aku harus menyapa nya," pikir Ima, ia akhirnya mau menyapa. Lalu ia berjalan mendekat sambil memanggil.
"Mas Hendar."
Hal itu membuat Hendar menoleh dan langsung tersenyum. "Ima!" ia seperti senang ia bertemu dengan Ima.
"Pagi Mas Hendar," Ima mendekat.
"Ya, pagi juga... Apa kau akan ke kampus? Dimana kamu berkuliah? Aku belum mendengar nya," Hendar menatap.
"Ah, aku ada di kampus Nora, dekat dengan sini."
"Hah, kampus Nora?! Kampus itu bukan nya kampus terbesar di kawasan ini?"
"E... Iya, banyak mahasiswa dan mahasiswi yang ada di sana, bahkan jurusan nya lengkap."
"Wah, lalu, apa jurusan mu?"
"Sama seperti Mas Hendar kan, kesehatan," kata Ima.
"Jadi, kamu mau jadi dokter?"
"Iyap."
"Tapi, bukankah itu terlalu pusing, kamu harus belajar banyak materi, belum praktek nya... Bagaimana jika kamu pusing nanti? Aku pernah mengalaminya Ima... Itu sangat berat, pusing, stress, nilai naik turun dan yang lain nya, itu mengecewakan untuk ku," kata Hendar dengan wajah khawatir dan putus asa.
"Hm... Aku baru tahu lelaki sepintar Mas Hendar ini, bisa gagal juga waktu kuliah. Tapi paling tidak lihat hasilnya, Mas Hendar sudah menjadi dokter dan memiliki klinik resmi sendiri, itu benar-benar hebat bukan," Ima menatap.
"Yeah, bayaran nya juga besar, tapi tetap saja... Masa lalu tetaplah masa lalu, aku masih berdiri di belakang masa lalu dan tak bisa berjalan ke masa depan, dengan kata lain, masa lalu ku terus saja terngiang ngiang mengganggu masa depan ku ini," kata Hendar.
"Haiz... Kenapa tidak berpikir yang baik saja, berpikir lebih baik itu akan menimbulkan sesuatu yang baik juga. Aku yakin Mas Hendar sudah baik dalam masa depan..." tatap Ima.
Lalu Hendar tersenyum kecil. "Yah, mungkin kau benar, terima kasih Ima…" Hendar menatap haru.
"Ehehe, biasa saja, oh ngomong-ngomong kenapa tadi Mas Hendar terlihat ada di kawasan ini? Apakah tidak ke klinik?" Ima menatap.
"Oh, aku sedang berjalan jalan saja, lebih enak berjalan dari pada memakai kendaraan ke tempat tujuan," balas Hendar.
"Wah wah... Padahal dia termasuk orang kaya... Tapi hebat juga jalan-jalan tanpa memakai barang barang yang mencolok sebagai seorang yang sudah berkecukupan," Ima menatap senang. Lalu ia terpikirkan sesuatu. "Oh benar, aku jadi ingin bertanya sesuatu. Um... Mas Hendar, apa aku bisa bertanya sesuatu?" tatap Ima.
"Ya, silahkan saja, aku akan menjawab nya," Hendar langsung bersemangat.
"Ketika aku ke rumah mu saat itu untuk kamu mengantar ku ke rumah dengan mobilmu, kenapa aku tak melihat satu orang pun di sana? Dimana orang tua mu?" Ima menatap.
"Oh, soal itu, mereka sudah tidak ada 2 tahun yang lalu, ibu ku terkena kanker stadium akhir dan ayah ku kecelakaan, mereka pergi bersamaan, benar-benar suatu takdir yang kebetulan."
"Astaga.... Maafkan aku... Aku turut berduka," Ima menatap panik.
"Tak apa, itu juga sudah lama, aku tinggal sendirian tapi aku selalu berjalan jalan untuk mengisi waktu luang ku, kadang bertemu orang baru dan sekarang aku senang bisa menjalin hal dekat seperti ini bersama adik kelas ku dulu," Hendar menatap.
Ima yang mendengar itu langsung berwajah merah, tapi ia menggeleng. "Apa yang aku pikirkan, aku hampir saja terbawa oleh nya, aku tak boleh tersipu malu begitu saja," ia menyadarkan dirinya.
"Oh Ima, apa kau benar-benar tak punya pacar?" Hendar menatap.
"Eh, kenapa tanya begitu?"
"Aku hanya melihat mu selalu tak bareng sama lelaki, apakah kau tidak punya pacar?"
"Um... Memang nya jika aku punya pacar? bagaimana konsep nya aku dapat pacar?"
"Kenapa malah memberikan pertanyaan? E... Mungkin lelaki nya yang menyatakan perasaan nya dulu?" Hendar menatap.
"Yah begitulah, aku lebih suka lelaki yang seperti itu, tapi sejauh ini aku tidak tertarik dengan lelaki dan tidak ada tuh lelaki yang menyatakan perasaan nya padaku, jadi aku tak punya pacar..." balas Ima membuat Hendar terdiam kaku mendengar itu tadi.
"Oh, ngomong-ngomong soal membahas pacar, apakah Mas Hendar juga tidak punya pacar?"
"Menurutmu?"
"Punya?"
"Hah, kenapa kau bisa berpikir begitu?" Hendar menatap terkejut.
"Yeah, Mas Hendar memiliki tubuh yang di sukai banyak wanita, wajah tampan, karir lurus dan yang lain nya, kamu seperti sudah mapan saja... Begitulah aku menilai mu sudah dapat pacar, atau malah istri."
"Hm? Bukankah kau berpikir aku sendirian, kau bahkan sudah mengira rumah ku kosong tak ada orang."
"Ya, aku juga berpikir begitu, itu karena Mas Hendar juga bilang soal kebiasaan mu... Terlalu over protective," tatap Ima.
"Ah, aku mengerti, kamu ingat yah... Ya, sebenarnya... Aku belum punya pacar karena mereka juga meninggalkan ku karena kebiasaan ku ini," kata Hendar.
"Sabar ya Mas Hendar, aku yakin di luar sana banyak wanita yang mau menerima anda dan tidak akan merasa terganggu, justru malah nyaman."
"Ya, terima kasih," Hendar menatap dengan senyum nya.
Ima juga ikut mengangguk lalu menatap ke jam ponsel nya. "Oh astaga, aku benar-benar menghabiskan waktu di sini, Mas Hendar, maaf dulu ya, aku harus ke kampus," Ima langsung berjalan pergi.
"Ya, hati-hati dan rajin belajar. Wah wah.... Gadis itu benar-benar baik, dan juga menarik... Apakah ini bisa di atasi, apa dia salah satu gadis yang akan menerima sikap ku ini?" pikir Hendar, sepertinya dia mulai menyukai Ima.
Di kampus, Ima berjalan akan ke kelas nya, sama seperti biasanya, melewati halaman kampus dan di saat itu juga, dia di lihat oleh Mose.
"Oh, itu Ima," Mose menatap Ima yang berjalan hanya lurus ke depan tidak melihat ke sana ke sini.
Mose yang kebetulan sedang bermain basket dengan tim nya di halaman luar, menoleh ke sekitar, banyak sekali wanita yang berdiri menatap nya dan tim nya bermain basket, sambil meneriaki nama Mose juga, sudah jelas, para wanita itu sedang menarik perhatian Mose dan kagum padanya.
"Aku sudah biasa dengan mereka... Menurutku, gadis tertutup sama seperti Ima patut di sebut sebagai selera ku yang telah berubah, aku suka pada gadis itu," Mose terdiam, dia masih di tempat nya menatap Ima yang kemudian masuk ke gedung kampus tak terlihat lagi.
"Bagi ku, mungkin gadis itu sedang memiliki orang lain yang dia kagumi dalam hidup nya, yang pasti aku tak bisa menjadi orang itu, karena dia benar-benar bersikap tidak sama seperti mereka, dia tidak baperan dan juga tidak banyak cari perhatian. Ima sangat menjaga diri nya sendiri, bahkan orang lain pun tak akan berimajinasi maupun berfantasi soal dia, keturunan apa dia sehingga tak mau menunjukan tubuh nya yang sama seperti mereka tapi lebih berbeda, lebih istimewa... Aku terlalu berpikir begini mungkin karena tidak memahami apa itu perempuan yang sangat tertutup."
--
"Ha... Akhirnya, aku sampai dan tidak terlambat, aku benar-benar tepat waktu," Ima menghela napas panjang sampai di lorong kampus, ia akan masuk ke kelas tapi seseorang memanggil.
"Ima!"
Hal itu membuat nya menoleh dan rupanya yang memanggilnya adalah Naya.
"Oh Naya," Ima menatap menyapa.
"Ima, sudah lama tidak bertemu."
"Hm? Belum bertemu satu hari saja karena libur bekerja kemarin kamu sebut sudah lama tidak bertemu?"
"Ehehe, mungkin karena pacar ku, aku selalu menghabiskan waktu bersama nya dengan lama dan waktu kami jadi terasa lama," kata Naya, dia seperti menggunakan nada sombong.
"Hmp... Dia benar-benar membuat ku iri," Ima menatap kesal.
"Oh benar, Manajer Hinko ingin bertemu dengan mu nanti, dia ruangan manajer."
"Apa? Kenapa dia mau memanggil ku? Ada apa?"
"Entahlah, aku pernah loh di panggil, dan dia bilang aku terlalu banyak melakukan kesalahan, ini seperti dia memprovokasi ku, jangan sampai kau juga begitu ya."
"Apa?! Kamu serius saja, aku benar-benar takut di panggil, aku juga tidak melakukan kesalahan apapun, selama ini aku berhati hati," Ima menatap takut.
"Yah, tinggal berdoa saja, semoga berhasil," kata Naya, ia lalu berbalik dan berjalan pergi membuat Ima terdiam dan menghela napas panjang.
"Sudahlah... Pasrah saja," ia akhirnya pasrah.
Di tempat kerja, Ima mengetuk pintu ruangan manajer.
"Masuk saja," suara manajer Hinko membalas dari dalam.
Lalu Ima berjalan masuk. "Manajer, permisi, apa benar anda memanggil ku?" tatap Ima.
"Ya, kemari Ima," Hinko membalas. Ia sudah berdiri agak jauh dari sana. Lalu Ima berdiri di hadapan nya.
"Manajer, apa aku melakukan kesalahan karena manajer memanggil ku begini."
"Tidak, kamu tidak melakukan kesalahan apapun, aku hanya memanggil mu bukan soal urusan pekerjaan di sini."
"Eh, lalu apa? Kupikir yang di katakan Naya benar, ternyata dia salah... Jika tidak soal kesalahan, lalu apa?" Ima terdiam menunggu.
"Ima, aku memanggil mu mungkin karena sesuatu, aku ingin bertanya sesuatu, mungkin jika ini pertanyaan pribadi maafkan aku," Hinko menatap.
"Manajer mengatakan nya dengan sopan, aku juga tidak akan segan, aku suka sikap orang yang begini... Ya, ini baik-baik saja, aku akan melihat dulu apa pertanyaan nya," tatap nya.
"Baiklah, e... Apa kau sudah punya pacar?"
"Huh? Pertanyaan ini lagi? Sudah beberapa kali aku dengar dari banyak orang.... Ini benar-benar agak menyakiti ku karena terus saja di ajukan pertanyaan yang sama..."