Kael Draxon, penguasa dunia bawah yang ditakuti dan dihormati pada masa nya. Namun, di puncak kekuasaan nya, Kael Draxon di khianati oleh teman kepercayaan nya sendiri, Lucien.
Di ujung kematian nya, Kael bersumpah akan kembali untuk balas dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon asep sigma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengkhianat
Dingin. Lembab. Bau logam bercampur darah dan minyak menyeruak di udara, memenuhi ruangan bawah tanah yang luas namun suram. Cahaya redup dari lampu gantung berkedip-kedip, menciptakan bayangan bergerak di dinding beton yang mulai berjamur. Di tengah ruangan itu, Kael terikat di kursi besi, tangannya terbelenggu dengan rantai baja yang kokoh.
Napasnya berat, kepalanya tertunduk, dan wajahnya penuh luka memar. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih, tetapi tubuhnya sudah memberitahu bahwa ia telah mengalami perlakuan kasar sejak tertangkap. Beberapa penjaga Cobra Zone berdiri di sekitar ruangan, bersenjata lengkap, berbincang rendah namun tetap awas, memastikan bahwa tahanan mereka tidak berani mencoba melarikan diri.
Di luar sana, di sisi lain kota, berdiri sebuah rumah megah bak istana. Bangunan dengan arsitektur klasik itu dihiasi pilar-pilar besar dan jendela tinggi yang memperlihatkan kemewahan di dalamnya. Di dalam salah satu ruangan utama, seorang pria duduk dengan tenang di atas sofa kulit yang empuk.
Ronan Lucien.
Pewaris kerajaan kriminal terbesar di dunia bawah. Ia mengenakan setelan hitam elegan, rambutnya tertata rapi, dan sorot matanya tajam seperti elang yang sedang mengawasi mangsanya. Di tangan kanannya, ia menggenggam segelas anggur merah yang berputar perlahan, sementara tangan kirinya mengetuk-ngetuk lengan sofa dengan ritme yang teratur.
Di hadapannya, berdiri dua orang pria.
Viktor Kane—salah satu eksekutif tertinggi Cobra Zone. Tubuhnya tegap, wajahnya dihiasi bekas luka panjang di pipi kiri, dan sorot matanya penuh kesombongan serta kepercayaan diri.
Di sampingnya, Garth—pria bertubuh besar yang sebelumnya menjebak Kael di Pabrik Lothar Industries.
Keduanya berdiri tegak, memberikan laporan dengan penuh kehati-hatian.
"Semua sudah berjalan sesuai rencana, Tuan Ronan," Viktor berbicara lebih dulu, suaranya dalam dan penuh keyakinan. "Zayne sudah kami tangkap. Dia kini berada di ruang tahanan, terikat dan tidak bisa ke mana-mana. Kami sudah memastikan dia tidak memiliki celah untuk kabur."
Ronan tidak langsung merespons. Ia hanya menyesap anggurnya perlahan, matanya tetap fokus pada gelas di tangannya, seolah sedang menimbang sesuatu. Setelah beberapa saat, ia mendongak dan menatap Viktor serta Garth dengan ekspresi dingin.
"Lalu?" suaranya tenang, namun membawa tekanan yang sulit dijelaskan.
Garth menelan ludah, sedikit gelisah. "Kami masih menunggu perintah Anda, Tuan. Jika Anda menginginkannya, kami bisa mengeksekusinya malam ini juga."
Ronan tersenyum tipis, namun tatapannya tetap tajam. "Aku tidak begitu peduli dengan orang-orang yang kalian tangkap." Ia menyandarkan tubuhnya ke sofa dan mengetuk gelasnya dengan jari. "Aku hanya tidak suka, apabila ada orang yang mau menggagalkan rencanaku. Kalau ada yang mau mengusik rencanaku, akan kupastikan mereka akan binasa. Mau itu anak kecil, orang dewasa, atau lansia sekalipun."
"Jangan dibunuh terlebih dahulu, anak kecil sepertinya tidak akan berani melakukan ini semua seorang diri."
Viktor mengangguk setuju. "Kami bisa menginterogasinya lebih dulu, mencari tahu siapa saja yang ada di pihaknya."
Ronan mengangguk pelan, lalu tiba-tiba melempar pandangannya ke arah Viktor. "Bagaimana dengan Lukas?"
Viktor langsung menundukkan kepala. "Lukas menjalani misinya dengan baik, bahkan penyerangan ini bisa dihentikan karena dia ."
Senyum Ronan semakin melebar. "Bagus." Ia kembali menyesap anggurnya, lalu bangkit berdiri, berjalan perlahan menuju jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota di malam hari. "Zayne Draxon... Aku ingin melihat sendiri seperti apa dia sekarang."
Ia berbalik menatap Viktor dan Garth dengan mata yang bersinar penuh perhitungan.
"Siapkan segalanya. Aku akan menemui dia."
Sementara itu, di ruang tahanan bawah tanah, Kael perlahan mulai sadar, merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Tapi satu hal yang lebih mengganggu pikirannya—bagaimana ini semua bermula? Mengapa Garth bisa mengetahui penyerangan malam ini? Apakah Cobra Zone selalu satu langkah di depan? Atau sebenarnya, apakah ada pengkhianat di antara mereka?
...****************...
Ruangan tahanan itu terasa semakin berat dengan kehadiran mereka. Edgar, Taron, Iris, dan Elira digiring dengan kasar ke dalam ruangan yang gelap dan lembab. Mereka diborgol dan dipaksa berjalan dengan cepat oleh pasukan Cobra Zone yang menjaga pintu masuk. Semua mata mereka penuh dengan rasa cemas, tapi tidak ada kata yang keluar dari mulut mereka. Mereka tahu, jika berbicara terlalu banyak, hanya akan menambah penderitaan.
Di dalam, Kael sudah terikat di kursi besi, wajahnya masih memar dan tubuhnya lemas. Namun, ketika mendengar langkah-langkah berat di luar, matanya yang semula terpejam perlahan terbuka. Tubuhnya yang lemah terasa berat untuk digerakkan, tapi Kael masih bisa merasakan keberadaan teman-temannya yang datang. Edgar, Taron, Iris, dan Elira—semuanya sudah berada di ruang yang sama.
Kael menatap mereka dengan tatapan penuh pertanyaan dan keprihatinan. Di antara mereka, hanya Iris yang sedikit tampak lebih tenang, meskipun jelas bahwa dia juga sedang berusaha mengatur pernapasan dan menjaga kewarasannya.
Darius Voss, dengan langkah tegap dan wajah tanpa ekspresi, memimpin rombongan itu. Di belakangnya, para anggota Cobra Zone menjaga setiap gerakan mereka. Viktor Kane dan Garth ada di samping, mengamati dengan sikap yang tidak menyenangkan.
Elira, yang pertama kali melihat Kael, segera mencoba menggerakkan tubuhnya, meskipun ia tahu pergerakannya sangat terbatas oleh borgol yang ketat.
"Zayne...!" serunya, matanya penuh kecemasan.
Kael, meskipun terluka, memberikan senyum kecil yang seakan meyakinkan mereka bahwa ia baik-baik saja. Namun, senyum itu cepat menghilang saat Darius Voss mendekat dengan tatapan tajam.
"Jangan coba-coba bergerak," ujar Darius dengan suara yang rendah dan mengancam, membuat Elira terdiam.
Kael mengangkat alis, memperhatikan Darius dengan seksama. "Apa yang kau inginkan dari kami?" tanyanya dengan suara yang datar, meski ada kepahitan yang jelas terasa.
Darius memandangnya, lalu berbalik pada Viktor dan Garth. "Jangan khawatir. Ini hanya awal dari apa yang akan terjadi," katanya, kemudian mengarahkannya pada Kael. "Kau akan mendengarkan kami, Zayne. Jika ingin hidup lebih lama, bersikaplah sesuai dengan kehendak kami."
Kael menatap Darius dengan tatapan penuh kebencian, namun ia menahan diri untuk tidak berkata apa-apa. Kini bukan saatnya untuk menunjukkan kelemahan.
Sementara itu, Iris, yang sudah mencoba meretas borgolnya dalam diam, akhirnya menemukan celah. Perlahan-lahan ia mulai bekerja dengan jari-jarinya yang gesit. Namun, meski ia berhasil melepaskan borgolnya, ada satu masalah besar yang harus dihadapi—keadaan mereka kini sangat terjepit.
Edgar yang telah berhasil mengumpulkan sedikit tenaga, menatap Kael dan berkata, "Kita akan menemukan jalan keluar, Zayne. Kita tidak akan terjebak selamanya di sini."
Namun, sebelum Kael bisa memberikan tanggapan, pintu besi yang kokoh terbuka kembali. Ronan Lucien, bersama beberapa pengawalnya, memasuki ruangan dengan langkah perlahan dan penuh kewibawaan. Tatapan tajamnya langsung menghantam Kael, seolah ingin menembus jiwa sang tahanan.
"Ah, sungguh pemandangan yang menggugah selera," suara Ronan penuh dengan ironi. "Beberapa orang yang tidak tahu perbedaan kekuatan yang dimiliki, nekat melawan Cobra Zone." Ia tersenyum dengan mata yang menunjukkan kelicikan. Lalu pandangannya beralih ke arah Edgar.
"Lalu kau... ah, sebentar ku ingat dulu nama mu" menunjuk Edgar sambil berpura-pura berfikir. "Ah, aku ingat. Edgar. Waktu itu kau sudah kuberi pengampunan, namun masih berani melakukan hal ini. Kau sungguh tidak sayang nyawamu ya Edgar."
Edgar meludah ke arah Ronan. "Aku tidak peduli, mau kau menghabisiku atau tidak. Akan ku pastikan seluruh yang kau punya akan hancur dan kau ditinggal sendirian."
Ronan yang mendengar hal itu langsung merasakan amarah dalam dirinya. Dia memukuli Edgar untuk beberapa saat.
"Kau ingat ini bajingan, aku tidak akan kalah oleh siapapun, dan aku yang akan berdiri di puncak pada akhirnya."
Dengan kata-kata itu, Ronan dan rombongannya meninggalkan ruangan, namun seketika langkah mereka terhenti.
"Ah, aku hampir lupa. Lepaskan dia!" perintah Ronan, menunjuk ke arah Taron.
Para penjaga dengan sigap melepaskan borgol yang terikat pada Taron.
Kael dan yang lainnya memasang wajah keheranan. Apa maksudnya ini?
Setelah borgol terlepas, Taron berjalan ke arah Ronan. Ronan menyambutnya dengan tersenyum dan menepuk kedua pundak Taron.
"Kerja bagus, Lukas."
Kael, Elira, Edgar dan Iris mematung seketika. Lukas? Siapa itu? Apakah nama asli Taron?
Banyak pertanyaan yang memenuhi pikiran mereka. Namun yang jelas, mereka menyadari, kalau Taron adalah pengkhianat.