The World Where You Exist, Become More Pleasant
_______
"Suka mendadak gitu kalau bikin jadwal. Apa kalau jadi pejabat tuh memang harus selalu terburu-buru oleh waktu?"
- Kalila Adipramana
_______
Terus-terusan direcoki Papa agar bergabung mengurus perusahaan membuatku nekat merantau ke kabupaten dengan dalih merintis yayasan sosial yang berfokus pada pengembangan individu menjadi berguna bagi masa depannya. Lelah membujukku yang tidak mau berkontribusi langsung di perusahaan, Papa memintaku hadir menggantikannya di acara sang sahabat yang tinggal tempat yang sama. Di acara ini pula aku jadi mengenal dekat sosok pemimpin kabupaten ini secara pribadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rsoemarno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15.) Fitting
Chapter 15: Fitting
Progress persiapan pernikahanku dengan Mas Satya sudah hampir mencapai 50%. Setelah melalui rapat panjang dengan segala keribetannya antara dua keluarga, kami pun mencapai suatu kesepakatan bersama mengenai konsep pernikahanku.
Royal Wedding dan Pesta Rakyat.
Konsep royal wedding adat solo, jawa tengah dipilih untuk setiap rangkaian upacara pernikahan mulai dari pra pernikahan hingga ngunduh mantu. Sementara pesta rakyat sendiri akan dilaksanakan 3 hari penuh di alun-alun Kabupaten Bawera dengan mengundang artis lokal daerah hingga mancanegara untuk menghibur rakyat bawera di hari bahagia kami.
Saat ini aku tengah berada di kediaman kusumanegara yang berada di kabupaten Bawera, untuk melakukan fitting busana-busana yang akan kugunakan pada rangkaian acara pernikahan nantinya.
“Untuk resepsi bagusnya pakai adat solo basahan, Kal.” saran Ibu Kirana yang turut membantu persiapan pernikahanku dengan Mas Satya.
“Tapi kayaknya Mas Satya kurang setuju kalau pakai pakaian yang terlalu terbuka, Bu.” tolakku. “Takut masuk angin.” lanjutku.
“Badan segede itu takut masuk angin?” cibir Ibu Kirana. Ia membuka-buka katalog busana yang ada di tangannya dengan cepat, lantas menutupnya kembali.
“Duduk sini, Kal.” ujarnya menepuk-nepuk sofa kosong di sampingnya. Aku menuruti permintaannya.
“Dari dulu Ibu sudah punya bayangan ingin memakaikan Kalila busana yang seperti apa saat Kalila menikah. Tapi sayangnya Kalila ga jadi sama anak Ibu, Alreno.” ujar Ibu Kirana sendu.
Mendengar suaranya yang lirih sendu membuat perasaan tak enakku muncul. Walau bagaimanapun dulu aku yang membatalkan pertunangan dengan Alren. Dan membuat mimpi Ibu Kirana sirna.
Kupegang kedua telapak tangan Ibu Kirana yang menangkup di atas pangkuannya.
“Apa Kalila boleh mendengar gambaran Ibu tentang busana pernikahan Kalila?” tanyaku hati-hati.
Ibu Kirana tersenyum menerawang.
“Untuk prosesi persiapan pernikahan, Ibu rasa menggunakan model-model kebaya terkini bagus juga, asalkan untuk kain jarik bawahannya harus sesuai pakem yang ada.”
Aku mengangguk setuju. “Iya Ibu. Kalila juga berencana menggunakan kebaya rancangan desainer-desainer muda sehingga karya mereka bisa lebih dikenal.”
“Untuk akad nikah, tidak ada yang lebih baik dari kebaya berwarna putih, Kal. Dan saat resepsi akan sangat bagus kalau memakai baju adat basahan solo dengan paesnya yang tampak agung. Baru ketika prosesi ngunduh mantu memakai kebaya beludru warna hitam.”
Ikut membayangkan gambaran busana yang dijelaskan secara singkat oleh Ibu Kirana membuatku ikut tersenyum. Selera Ibu Kirana tidak perlu diragukan lagi. Sebagai seorang menteri sekretariat negara yang sudah menjabat hampir selama 20 tahun, ia sangat tahu bagaimana harus berbusana di setiap situasi.
Tapi kalau menggunakan adat solo basahan berarti aku harus siap memamerkan tubuh atas Mas Satya di depan banyak tamu. Jujur saja aku kurang suka dengan ide memberikan tontonan gratis tubuh proporsional Mas Satya pada banyak pasang mata wanita nantinya.
“Rencananya kan sehabis akad akan langsung dilaksanakan resepsi, Bu. Dan resepsi akan diadakan dan selesai hari itu juga. Karena kebanyakan tamunya nanti akan diundang pada acara ngunduh mantu di Bawera. Kalau pakai basahan takutnya akan memperlambat waktu persiapan resepsi yang terbatas.”
Ibu Kirana merenung.
“Ahh iya, yang diundang ke resepsi kan hanya keluarga besar, bapak presiden dan jajaran menterinya serta beberapa gubernur terpilih ya.”
“Saat ngunduh mantu ada pesta arak-arakan ya, Kal? Sepertinya bagus itu kalau pakai dodot basahan. Ntar jadi keliatan kaya raja dan ratu jawa beneran. Biar sekalian masuk ke temanya royal wedding.”
“Kan ada beberapa sesi pas ngunduh mantu. Dari arak-arakan sampai sesi pertama pakai dodot basahan, baru waktu istirahat, ganti lagi.”
Aku meringis mendengar usul Ibu Kirana.
“Atau jangan-jangan Kalila yang ga rela Satya diliatin banyak cewek?” tembak Ibu Kirana yang menangkap ringisanku.
“Sudahlah, Mam. Jangan paksa-paksa Kalila ngikutin mau Mama. Ini kan pernikahan Kalila, biarkan dia memutuskan sendiri sesuai keinginannya.”
Alreno tiba-tiba ikut menimbrung pembicaraanku dengan Ibu Kirana. Entah datang dari mana, dia langsung duduk di sebelah kiriku. Membuat kami bertiga duduk berdempetan di sofa besar ini.
Ibu Kirana melirik anaknya sinis. “Kamu ini, Mas! Dateng-dateng ikut ngerusuh aja. Mbok ya duduk di sofa yang lain kan bisa, ini malah dempet-dempetan di sini.”
Alren merangkul bahuku. “Aku di sini mau ngelindungin Kalila dari Mama. Jangan sampai pernikahannya tidak sesuai keinginannya, tapi malah sesuai keinginan Mama.”
Ibu Kirana mendengus, ia mengalah untuk berpindah ke sofa tunggal agar tidak berdesak-desakkan.
“Daripada ngurusin Kalila terus, mending kamu segera urus pernikahanmu sendiri.” titah Ibu Kirana.
Aku membelalakkan mata terkejut. “Alren udah ada calonnya?”
Alren membuang muka, sengaja menghindar dari pertanyaanku.
“Mama itu tau, sulit bagi Mas Alreno untuk menentukan istri utamanya setelah berpisah dari Kalila. Makanya Mama sering menyarankan agar Mas Alren segera mengambil istri selir, untuk memenuhi kebutuhan biologisnya secara aman.” nasehat blak-blakan Ibu Kirana yang membuat pipiku dan Alreno memerah.
“Apaan sih, Mam! Ada anak kecil ini.” tegur Alreno.
“Siapa yang anak kecil? Mas Alren? Kalila?” cibir Ibu Kirana. “Orang Kalila beberapa bulan lagi udah mau nikah, bukan anak kecil lagi.”
Aku menggelengkan kepala melihat sifat Alreno dan Ibu Kirana yang tidak berubah sejak dulu. Suka debat kusir mereka. Biasanya Ayah Ravenno yang memisahkan mereka. Jika tidak dipisahkan bisa tetap ribut hingga besok pagi.
Belum sempat aku membuka mulut untuk memisahkan pertikaian Ibu dan anak tersebut, seorang pelayan kediaman ini datang mendekat untuk memberitahukan kedatangan 3 desainer terkenal yang telah ditunjuk untuk merancang kebaya utama yang akan kugunakan saat pernikahanku nanti.
Dan fokus kami pun langsung ke presentasi mereka yang menunjukkan progress kebaya sudah 75% jadi sehingga bisa langsung di coba di badanku. Beberapa kali Ibu Kirana dan Alreno menyumbangkan pendapat mereka terkait kekurangan kebaya ini yang harus diperbaiki.
“Tadi gimana fittingnya, Yang?” tanya Mas Satya yang malam ini mampir sebentar ke apartemenku.
Aku menyandarkan kepala ke bahunya. “Melelahkan.” keluhku.
Mas Satya membuka lengannya, mempersilahkanku bermanja di dadanya. Aku menyurukkan kepalaku ke lehernya, yang dibalas dengan tepukan di pelan di puncak kepalaku.
“Mas, jadinya acara kirab sampai ngunduh mantu sesi pertama pakainya baju dodot solo basahan yaa.” ujarku memberitahu.
“Hm?” gumam Mas Satya tidak begitu jelas di telingaku.
“Gimana, Mas?” kuangkat kepalaku menatapnya.
“Kenapa tiba-tiba jadi pakai basahan? Apa ga terlalu terbuka.” jelasnya.
“Iyaa sih. Ga rela aku tubuh Mas Satya dilihat cewek-cewek ntar.” gerutuku.
Mas Satya menarik kepalaku kembali ke dadanya, lantas di kecupnya sayang ubun-ubunku.
“Mas juga ga rela tubuhmu diliatin banyak cowok, Yang.” bisiknya. “Kalau emang ga mau, saran Tante Kirana tidak perlu diikuti, Yang.”
“Tapi saran Ibu Kirana ada benarnya… Kalau mau bener-bener ngangkat konsep royal wedding jawa, ya pas kirab itu pakai dodot basahan yang ngasih kesan agung gitu.” jelasku dilema.
“Lagian aku juga pingin pakai busana kaya gitu… Kapan lagi coba kalau ga pas wedding sekarang? Apa aku perlu nikah lagi biar bisa pakai baju adat itu?”
Mas Satya menarik hidungku gemas.
“Ish, sakit tau.” kutepis tangannya kesal.
“Lha kamu sembarangan aja ngomongnya, Yang!” tegur Mas Satya.
“Mas ga akan pernah biarin kamu nikah lagi. Misalpun harus ada pernikahan kedua, Mas pastikan kamu hanya akan menikah lagi dengan Mas.” katanya posesif.
Dalam rangkulannya, aku mengulas senyum lebar mendengar kepemilikan posesifnya atas diriku. Sampai saat ini progress persiapan pernikahanku berjalan lancar. Dan kuharap tidak ada halang melintang berarti yang akan menghambat kami hingga waktunya tiba.