Alika tidak pernah menyangka kehidupannya akan kembali dihadapkan pada dilema yang begitu menyakitkan. Dalam satu malam penuh emosi, Arlan, yang selama ini menjadi tempatnya bersandar, mabuk berat dan terlibat one night stand dengannya.
Terry yang sejak lama mengejar Arlan, memaksa Alika untuk menutup rapat kejadian itu. Terry menekankan, Alika berasal dari kalangan bawah, tak pantas bersanding dengan Arlan, apalagi sejak awal ibu Arlan tidak menyukai Alika.
Pengalaman pahit Alika menikah tanpa restu keluarga di masa lalu membuatnya memilih diam dan memendam rahasia itu sendirian. Ketika Arlan terbangun dari mabuknya, Terry dengan liciknya mengklaim bahwa ia yang tidur dengan Arlan, menciptakan kebohongan yang membuat Alika semakin terpojok.
Di tengah dilema itu, Alika dihadapkan pada dua pilihan sulit: tetap berada di sisi Adriel sebagai ibu asuhnya tanpa mengungkapkan kebenaran, atau mengungkapkan segalanya dengan risiko kehilangan semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Malam Mencekam
Arlan menelan ludah. Perasaan yang sulit ia definisikan memenuhi dadanya. Antara keterkejutan, kecemasan, dan sesuatu yang lebih dalam dari itu, sesuatu yang selama ini ia coba abaikan.
Tanpa sadar, kakinya melangkah mendekati ruangan itu, seolah tubuhnya bergerak lebih cepat daripada pikirannya. Ia harus tahu. Ia harus memastikan kebenarannya.
Arlan merasakan sesuatu mencengkeram hatinya. Ia mencoba berpikir jernih, tetapi perasaan tak nyaman mulai menyelimutinya.
"Kalau benar Alika hamil... siapa ayah dari bayi itu?" pikirannya.
Tangannya mengepal tanpa sadar. Ada dorongan kuat dalam dirinya untuk masuk dan mencari tahu langsung, tetapi ia menahan diri. Ia tidak ingin gegabah.
Namun, satu hal yang pasti, ia tidak akan tinggal diam. Ia harus tahu kebenarannya.
Arlan masih berdiri di depan poli kandungan dengan pikiran yang berputar cepat. Ia tidak bisa mengabaikan rasa penasaran yang terus menghantui pikirannya sejak melihat Alika masuk ke dalam ruangan itu.
Tanpa membuang waktu, Arlan berjalan ke arah meja perawat. Ia mengeluarkan kartu identitasnya dan berbicara dengan suara rendah, tetapi tegas.
"Saya ingin bertemu dengan dokter yang barusan menangani pasien bernama Alika."
Perawat di meja resepsionis tampak ragu sejenak, tetapi setelah melihat sorot mata Arlan yang penuh tekanan, ia akhirnya mengangguk dan memanggil dokter yang bersangkutan.
Tak lama kemudian, seorang dokter wanita keluar dari ruang pemeriksaan. Arlan mengenalinya sebagai salah satu dokter senior di rumah sakit itu.
"Dok, saya Arlan," katanya langsung. "Saya ingin bertanya tentang pasien bernama Alika."
Dokter itu menghela napas pelan. "Maaf, Tuan Arlan. Saya tidak bisa sembarangan memberikan informasi pasien tanpa izin."
Arlan mengusap wajahnya, berusaha menekan emosinya. "Saya hanya ingin tahu satu hal... Apakah dia sedang mengandung?"
Dokter itu terdiam beberapa saat, lalu berkata dengan hati-hati, "Tuan Arlan, jika Anda memiliki hubungan dekat dengan pasien, sebaiknya tanyakan langsung padanya."
Arlan menggertakkan giginya. Jawaban itu saja sudah cukup bagi dirinya.
"Usia kandungannya berapa minggu?" tanyanya lagi, suaranya lebih dalam, nyaris bergetar.
Dokter itu tidak langsung menjawab. Ada keraguan di wajahnya, tetapi akhirnya ia menghela napas dan berkata pelan, "Delapan minggu."
Arlan merasakan tubuhnya menegang seketika.
Delapan minggu?
Otaknya langsung menghitung mundur. Jika Alika hamil delapan minggu, itu berarti kehamilannya terjadi sekitar malam itu... malam yang sampai sekarang masih menjadi teka-teki besar baginya.
Jantung Arlan berdegup kencang. Ia tak bisa lagi menahan kecurigaannya. Jika benar bayi itu adalah hasil dari kejadian malam itu, maka…
Alika mengandung anaknya.
"Tapi kenapa Alika tidak mengatakan apa pun padaku? Apa mungkin ada sesuatu yang disembunyikan Alika? Atau… apakah ada orang lain yang menekannya agar diam?" batin Arlan berkecamuk dengan segala kemungkinan.
Arlan mengepalkan tangannya. Sekarang ia tahu satu hal pasti, ia harus berbicara dengan Alika, dan ia tidak akan membiarkan wanita itu menghindar darinya lagi.
Setelah menemui dokter kandungan Alika, Arlan berusaha mencari Alika. Kebetulan Alika mengantri obat cukup lama. Saat Alika berada di lorong sepi rumah sakit, Arlan yang melihatnya pun bergegas menghampirinya.
"Alika," panggilnya.
Alika terperanjat saat melihat Arlan berdiri di hadapannya dengan ekspresi penuh tekanan. Matanya menatap tajam, seakan ingin menembus kebohongan apa pun yang akan keluar dari mulutnya.
Mata mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya sejak lama, Alika terlihat panik di hadapannya.
"Alika, kau hamil, bukan?" suara Arlan rendah, tetapi nadanya tak bisa disangkal, ia ingin jawaban.
Alika terperanjat mendapatkan pertanyaan itu dari Arlan. Tak menyangka pria itu tahu tentang kehamilannya. Ia mengatur napas, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang. "Itu bukan urusanmu, Kak," katanya, mencoba menghindari topik ini.
"Bukan urusanku?" Arlan mendengus, melangkah lebih dekat. "Aku melihatmu masuk ke poli kandungan. Aku sudah tahu usia kandunganmu. Delapan minggu, Alika. Dan itu…" ia berhenti sejenak, mengamati ekspresi Alika, "itu bertepatan dengan malam itu."
Alika merasakan kakinya melemas, tetapi ia tidak boleh membiarkan Arlan mengetahui kebenarannya. Jika Arlan tahu, maka Terry dan Widi juga pasti akan mengetahuinya, dan ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Lebih dari itu, ketakutan terbesarnya adalah kemungkinan Arlan memintanya untuk menggugurkan kandungan ini. Ia tak sanggup membayangkan kehilangan bayi yang bahkan belum sempat melihat dunia, bayi yang tak berdosa, yang tak pernah meminta untuk dilahirkan, tetapi berhak untuk hidup. Jika kehadirannya memang tak diinginkan, maka biarlah ia yang menanggung segalanya, asalkan anaknya tetap selamat.
"Kau salah, Kak," Alika berkata dengan suara bergetar, tetapi ia memaksakan senyum samar. "Aku… aku melakukan kesalahan dengan seseorang."
Arlan menatapnya dengan sorot mata yang gelap. "Seseorang?" ucapnya tajam. "Kalau begitu, kenapa kau tidak menikah dengannya?"
Alika menggigit bibirnya. Ia tidak menyangka Arlan akan bertanya sejauh itu. Ia harus mencari alasan. Cepat.
"Orang itu sudah pergi," katanya akhirnya, suaranya terdengar lirih. "Dia… dia tidak ingin bertanggung jawab."
Arlan mengernyit, matanya meneliti wajah Alika dengan penuh skeptis. "Kau yakin? Atau kau hanya berusaha menutup-nutupi sesuatu?"
Alika berpaling, pura-pura sibuk membetulkan posisi Adriel dalam gendongannya. "Percaya atau tidak, itu urusan Kakak. Aku sudah memilih untuk menjalani ini sendiri."
Tapi Arlan bukan orang yang mudah dikelabui. Ia semakin yakin ada sesuatu yang disembunyikan Alika, dan ia tidak akan berhenti sampai menemukan jawabannya.
Sejak saat itu, pertanyaan demi pertanyaan yang mengganggu pikirannya selama ini mulai menemukan potongan-potongan jawaban. Jika dugaannya benar, maka kehamilan ini bukan sekadar kebetulan. Dan malam itu, malam yang selalu berusaha ia cari kebenarannya, mungkin menyimpan rahasia yang lebih besar dari yang ia duga.
***
Alika duduk di kamarnya di belakang rumah makan, menidurkan Adriel yang sudah terlelap dalam gendongannya. Seharian ini anak itu sedikit rewel, mungkin karena merasakan kegelisahan yang melanda hatinya. Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir segala pikiran buruk yang menghantui benaknya.
Namun, perasaan tak nyaman terus mengusiknya. Seperti ada sesuatu yang salah.
Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari pintu depan. Alika mengerutkan kening, menoleh ke arah pintu dengan waspada. "Siapa yang datang malam-malam begini?" batinnya. Dengan hati-hati, ia meletakkan Adriel di tempat tidur, lalu berjalan ke pintu.
Begitu pintu terbuka sedikit, angin malam langsung menerpa wajahnya, membawa serta perasaan aneh yang membuat bulu kuduknya meremang. Tak ada siapa pun di luar. Hanya kegelapan pekat dan bayangan pohon yang bergoyang tertiup angin.
Deg!
Alika menelan ludah, tangannya refleks hendak menutup pintu kembali.
Namun, sebelum sempat melakukannya, sebuah tangan kuat mendorong pintu dengan kasar!
"Ah!" Alika tersentak mundur, hampir terjatuh. Dua pria bertopeng dengan pakaian serba hitam menerobos masuk. Mata mereka dingin dan penuh niat jahat.
"Si... siapa kalian?" suara Alika bergetar, tubuhnya langsung melindungi Adriel yang masih tertidur pulas.
Salah satu pria itu terkekeh rendah.
"Diamlah, atau kau akan menyesal."
Alika tahu ini bukan sekadar perampokan biasa. Ada sesuatu yang lebih besar di balik ini. Dan saat matanya menangkap sekilas bayangan seseorang di luar, seseorang yang berdiri di kegelapan dengan senyum tipis-jantungnya terasa mencelos.
Terry.
Wanita itu berdiri di sudut halaman, cukup jauh untuk tidak terlihat jelas, tapi cukup dekat untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.
Alika tidak sempat berpikir lebih jauh ketika salah satu pria bertopeng itu mencengkeram lengannya, menariknya dengan kasar.
"Tolong! Lepaskan aku!" Alika meronta, tetapi cengkeraman mereka terlalu kuat.
Adriel terbangun dan mulai menangis keras, membuat Alika semakin panik. "Jangan sentuh anakku!" jeritnya, berusaha melawan.
Salah satu pria itu mengangkat tangan, seolah ingin menamparnya agar diam. Tapi sebelum pukulan itu mendarat-
BRRAKI
Suara pintu terbuka dengan keras, membuat semua orang di ruangan itu terkejut.
Sebuah suara berat dan dingin menggema di dalam ruangan.
"Apa yang kalian lakukan?"
...🌸❤️🌸...
.
To be continued