“Regina Meizura Carlton sebenarnya sudah mati. Namun, tuhan memberikannya kesempatan kedua untuk membalas dendam*
Bagaimana rasanya dikhianati oleh suami, adik, ibu tiri dan juga ayah yang selalu memihak pada mereka. Hingga kematian merenggut Regina dan kesempatan kedua kali ini dia tidak akan melewatkan kasih sayang dari Axel Witsel Witzelm.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aleena Marsainta Sunting, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kutub Magnet
“Axel … tunggu sih!!” Aku berlari dan ketika di depan pintu mobil Axel menghentikan langkahnya. Kemudian dia membukanya.
“Huh, kenapa jalan cepat banget sih. Kalau aku sampai di tarik mereka bagaimana?” ocehku saat pantatku mendarat di kursi.
Axel tidak menjawab apapun. Dia setenang air.
Kemudian dengan kode saat melihat kaca spion mobilnya melaju.
“Kau benar-benar sedang memanfaatkanmu? Hah?!” Katanya dengan nada dingin dan tatapannya tetap lurus ke depan.
Aku menoleh dan menatap wajahnya.
“Aku? Memanfaatkan kamu? Cih, mana berani. Sikapmu yang seperti ini saja sudah seperti orang yang mau membunuhku,” cetusku menjawab tanpa ragu.
“Mana berani gadis kecil, mungil dan imut ini melawan pangeran dingin sepertimu sih. Yang ada … belum apa-apa, aku sudah klepek klepek sama kamu duluan,” ucapku tambah tidak tahu malu.
Aku yang sekarang benar-benar tidak peduli apapun. Aku berubah 100 persen.
Kini aku sedang berkacak pinggang dan tersenyum manis padanya. Mungkin ini sudah seperti dugaan Axel, aku tidak marah sama sekali.
Tak ada jawaban, Axel hanya melirik.
“Apa hari ini aku akan diajak ke kantor? Hmm … aku ingin sekali bermain disana,” kataku sudah antusias. Kini saat menjelajah kembali sesuatu yang belum pernah aku lakukan bersama Axel.
Hitung-hitung ini adalah caraku pedekate dengannya. Dimana-mana laki-laki yang pedekate, tapi aku sekarang maunya yang tancap gas lebih dulu.
Aku gak ingin ada yang mengambil Axel dalam kehidupan keduaku kali ini.
Ini adalah perjuangan cintaku padanya.
“Memang kamu tidak kuliah?”
Aku terdiam sesaat. Aku ingat, tahun ini aku memang seharusnya masih berkuliah.
Tapi, ingat kehidupan dulu masa kuliahku, benar-benar tidak bisa aku bayangkan terjadi kembali. Setiap hari aku berangkat bersama dengan Minna dan di kampus Minna berlaku selayaknya dialah cucu asli keluarga Thomson.
Menggunakan segala fasilitas mengatasnamakan keluargaku. Juga berfoya-foya mentraktir teman di kampus menggunakan uangku.
Aahh … uangku, aku belum melakukan sesuatu dengan kartu-kartu mereka.
Aku segera menarik tas dan membukanya. Mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. Dia adalah Brush orang kepercayaan kakek di perusahaan, namun dulu aku selalu mengabaikan karena lebih mempercayai ucapan papa.
Mode Axel sekarang tidak lagi melipat tangan di dada, tapi mengekor tindakanku juga sedikit menajamkan telinganya. Axel menguping pembicaraanku.
Aku tahu ini pasti membuat Brush terkejut. Di kehidupan lalu, aku yang datang ke kantor dan ngotot untuk membiarkan mereka mendapatkan fasilitas kartu limited edition itu.
Tetapi, meski begitu aku bisa mendengar kalau suara Brush dalam ketidak percayaannya, dia mengakui aku sedikitnya sudah berubah.
Aku harus mengubah sedikit demi sedikit. Di kampus aku tidak punya teman sama sekali karena pengaruh Minna. Semua orang lebih percaya kalau Minna lah yang cucu asli keluarga Thomson.
“Sepertinya antarkan aku ke kampus saja. Aku gak jadi bersenang-senang dulu sama kamu hari ini,” kataku sambil memasukkan ponselku.
Saat aku berbalik mata kami saling bertatapan. Tampaknya Axel melihat kalau aku memang tidak sedang bersandiwara atau memanfaatkan dirinya.
Kini Axel menyadari kalau aku seperti sedang berjuang untuk mendapatkan sesuatu.
“Apa perlu bantuanku?”
Aku hampir tidak percaya, ini adalah tawaran Axel tanpa aku meminta, dia sigap lebih dulu yang menawarkan.
Aku menggeleng.
“Aku masih bisa mengatasinya. Aku janji kalau membutuhkan sesuatu, aku pasti mengatakannya,” kataku menjawab dengan mata berbinar.
Aku sungguh terharu. Dia bukan hanya selalu ada, tapi aku tidak pernah menyadari keberadaannya. Aku yang mengabaikannya.
Axel menghela nafasnya sesaat lalu menyentuh pipiku, “Apa masih lapar? Kamu belum makan dengan benar tadi kan?”
“Uhm, cuma aku takut kalau aku mampir lagi kamu jadi terlambat ke kantor,” kataku yang juga tidak ingin egois.
Aku juga harus bersikap tidak manja disaat yang diperlukan. Meskipun sekarang sebenarnya, aku ingin sekali berdekatan dengannya.
Aku ingin selalu berada disisinya.
Saat melihat reaksiku, aku terkejut ketika dia menarikku ke dalam pangkuan. Lalu dia menekan tombol untuk menutupi posisi kami saat ini.
Axel sempat melirik kalau Billy kepo dengan sikapnya.
“Kamu benar-benar membuatku khawatir!” Kata Axel yang sudah menarik tubuhku dalam dekapan dan dia meletakkan kepalanya di samping telinga.
Aku ingin mendorong dan menjawab, namun Axel malah semakin mendekapku.
“Sebentar saja, sebelum sampai di depan kampusmu. Biarkan aku seperti ini,” katanya dengan suara lirih dan tajam.
Aku pun bisa merasakan setiap kata yang terucap adalah kesedihan juga kebahagiaan.
Baginya, dulu aku sulit di jangkau. Aku pun bisa merasakan. Aku juga tidak ingin lagi berjauhan dengannya. Sepertinya tubuh kami saling terikat dan tarik-menarik.
Aku memberanikan diri mendorongnya perlahan, aku tahu dia menolehnya.
Aku ingin sekali menatap dan menghafal setiap sudut wajahnya. Hingga tanpa sadar tanganku sedang menelusurinya.
Dari kening, kedua alisnya yang secara bergantian, lalu hidung, tanpa sadar kedua tanganku sudah menyentuh pipinya. Dan jariku kini sedang menelusuri bibirnya.
Axel yang hampir kehilangan kontrol karena sikapku. Dia menelan air liurnya yang mengalir tanpa sadar di kerongkongannya.
Aku seperti oase dalam gurun pasir bagi Axel.
Aku berhenti di bibirnya sesaat dan berkata, “Maaf, karena aku sudah membuatmu melewati sarapan pagi,” kataku dan detik kemudian anggap saja aku memang ikut gila juga terpesona saat menatap wajahnya yang seperti pahatan dewa.
Aku memajukan kepalaku dan lepas landas tanpa bisa kucegah. Aku menyentuh bibirnya dengan bibirku sesaat, kemudian, “anggap saja ini sebagai permintaan maaf dariku, uhm!”
Bom! Jantung Axel seolah berhenti berdetak sebentar. Dan ketika tubuhku perlahan menjauh, Axel menariknya kembali lalu dua kutub yang saling menarik itu sudah tidak bisa terelakkan lagi.
Aku pasrah. Dengan semua apa yang sedang Axel lakukan. Dia sangat ganas dengan bibirku. Berkali-kali aku hampir kehabisan napas.
Kami saling melepaskan diri dan aku membiarkan Axel melakukan apapun pada bibirku.
“Kamu benar-benar nakal. Sepertinya selama ini aku memang salah menilaimu, kucing kecil!” seringai Axel penuh arti cinta sambil menarik hidungku.
“Siapa juga yang suruh kamu sangat menggemaskan, Aww!!” Aku menjerit saat aku membalas ejekan Axel. Dia tersenyum, tapi tangannya mencubit pinggangku.
“Baiklah satu sama. Aku gak keberatan melewatkan sarapan setiap hari. Asalkan kamu menggantinya double,” kata Axel penuh makna sepertinya dia sudah ketagihan dengan kutub magnet yang tarik menarik tadi.
“Ha-ha-ha-ha … kamu ini luarnya aja yang dingin ya, sekali coba, gak mau berhenti,” cetusku dan Axel memelukku sekali lagi.
“Aku akan menjemputmu saat makan siang. Jam pelajaran sudah berakhir kan?” Aku mengangguk pasti.
“Aku mau daging panggang dengan kentang goreng. Lalu salad buah juga ice cream,” kataku sambil tersenyum dan Axel juga tersenyum sambil mengacak rambutku.
Axel turun duluan dan tangannya terulur menarikku turun, “sampai siang nanti!” kataku sebelum aku benar-benar pergi dan mengecup pipinya.
***
Plak! Bruk!
“Dasar anak miskin, berani sekali kau menghalangi jalanku!” Teriak suara seseorang yang sangat aku ketahui.
Dia, Minna dengan kerumunan orang dan terdengar sedang meneriaki seseorang….