"Semua tergantung pada bagaimana nona memilih untuk menjalani hidup. Setiap langkah memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang," ucapan itu terdengar menyulut hati Lily sampai ia tak kuasa menahan gejolak di dada dan berteriak tanpa aba-aba.
"Ini benar-benar sakit." Lily mengeram kesakitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Lily terbangun dengan kepala yang terasa sangat berat, seperti dihantam benda keras semalam. Ia memegangi kepalanya, merasakan pusing yang begitu mendalam, seolah otaknya dipenuhi awan hitam yang menggulung.
Perlahan ia membuka matanya, tubuhnya terasa kaku dan lelah. Rasanya seperti terbangun dari mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.
Sinar matahari pagi mulai merayap masuk melalui celah tirai yang sedikit terbuka, menciptakan garis-garis cahaya yang menerangi ruangan yang asing ini.
Ruangan itu terasa sunyi, dan bau udara pagi yang sejuk menusuk hidungnya. Lily menatap sekeliling, mencoba menyusun potongan-potongan ingatannya.
Tubuhnya tertutup selimut putih yang terasa dingin, sementara matanya menangkap sosok seorang pria yang sangat tampan terbaring di sampingnya, tidur dengan tenang tanpa menunjukkan tanda-tanda terbangun.
Jantung Lily berdegup keras, berusaha memahami apa yang terjadi semalam. Perlahan, kenangan semalam mulai muncul kembali, seolah-olah kembali mengguncang jiwanya dengan keras.
Percakapan yang terputus, sentuhan yang begitu mendalam, dan rasa sakit yang datang begitu cepat. Apa yang telah ia lakukan? Mengapa ia merasa begitu bingung dan terperangkap? Semua itu terjadi begitu cepat, dan kini ia hanya bisa merasa cemas dan ketakutan.
Dengan gerakan hati-hati, Lily perlahan duduk, mencoba menenangkan dirinya. Tubuhnya terasa lemas, dan rasa sakit di bagian tubuhnya semakin jelas.
Ia berusaha mengingat, apa yang seharusnya ia lakukan setelah semua ini? Apakah ini yang ia inginkan? Namun, pikirannya dipenuhi dengan kekacauan. Ia tahu satu hal, ia harus pergi. Ia harus keluar dari sini, secepat mungkin.
Dengan tangan gemetar, ia mulai mengenakan pakaiannya yang berserakan di lantai. Setiap gerakan terasa lambat, tetapi ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak terhenti.
Di atas meja di samping tempat tidur, tasnya tergeletak, dan itu mengingatkan pada janji yang telah ia buat. Uang, uang yang harus ia berikan sebagai imbalan atas semuanya yang telah terjadi.
Lily membuka tasnya, dengan harapan menemukan sesuatu yang bisa mengatasi ketegangan hatinya. Tapi saat ia mengeluarkan dompet, matanya terbelalak.
Di dalam dompetnya hanya ada uang 4.500 yuan. Uang itu kini terasa begitu kecil, begitu tak berarti di tengah kebingungannya.
Ia baru ingat bahwa uangnya habis membayar bus yang membawanya berkeliling kota sampai ia harus membayar minuman di club malam. Untuk membayar hotel itu sepertinya ia akan membayar menggunakan kartu ATM-nya saja.
Tapi dalam situasi ini, uang itu bahkan terasa asing baginya. Mengapa hanya ada uang itu saja yang tertinggal? Apakah pria itu menerima uang yang hanya membeli kopi hangat di pagi hari?
Jantungnya berdegup lebih kencang. Ia tahu, ia harus melakukan sesuatu. Ia tak punya pilihan lain. Lily menatap uang itu dengan tatapan kosong, menghitungnya cepat dalam pikirannya. Ia tahu itu tidak cukup. Bahkan, untuk sekedar membayar perjalanan pulang, uang ini tak akan mencapainya.
Matanya melirik ke sekitar ruangan, merasa panik. Kemudian, dengan langkah tergesa-gesa, ia memutuskan untuk membagi uang itu. 2.250 ribu yuan untuk dirinya sendiri, 2.250 ribu yuan lagi untuk pria tampan yang tertidur itu.
Mungkin itu tidak cukup, tetapi itulah yang bisa ia lakukan. Dengan hati-hati, ia meletakkan uang itu di atas meja, tangan gemetar saat ia merapikan lembaran-lembaran uang itu, seolah berharap segalanya bisa kembali seperti semula.
Namun, saat ia hendak melangkah keluar, matanya terasa semakin kabur. Kepalanya berputar, dan ia merasa dunia di sekitarnya semakin gelap.
Pandangannya menjadi kabur, dan tubuhnya terasa lemah. Rasa panik semakin menguasai dirinya. Ia meraba-raba, mencoba mencari sesuatu, apapun yang bisa membuatnya merasa lebih tenang.
Tapi saat itu, ia baru menyadari, kacamatanya. Kacamata itu, yang selalu ia kenakan untuk melihat dengan jelas, entah kemana ia taruh semalam.
Dengan langkah cepat, Lily mencari-cari kacamata itu, kebingungannya semakin menjadi. Ia meraba-raba di sepanjang meja, di sekitar tempat tidur, berharap menemukan kacamata itu.
Matanya terasa begitu rabun, dunia semakin buram dan tak jelas. Langkahnya terasa terburu-buru. Tapi kemudian, matanya menangkap sesuatu. Sebuah kilauan di atas meja. Kacamata itu. Kacamata yang sempat hilang dari pandangannya.
Dengan gerakan tergesa, ia meraih kacamata itu dan mengenakannya dengan cepat. Sejenak, dunia terasa lebih jelas, meskipun rasanya seperti ada bayang-bayang yang tak bisa ia hindari.
Matanya terfokus pada kacamata itu, dan kemudian pikirannya kembali terbayang pada pria tampan itu. Apakah ia yang menaruh kacamata itu di sana? Mungkin pria itu memperhatikannya lebih dari yang ia kira. Mungkin saja.
Namun, Lily tidak ingin berpikir lebih lama lagi. Ia menoleh sekali lagi ke kamar itu, lalu melangkah keluar dengan langkah cepat.
Ia merasa perasaan tak terlukiskan menyelubungi dirinya. Sebuah perasaan yang memaksanya untuk bergerak tanpa menoleh ke belakang.
Rasa sakit yang mengalir di tubuhnya seolah menjadi pengingat akan apa yang telah terjadi. Tetapi ia tahu satu hal, hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah malam itu.
Di sisi lain setelah pintu kamar terdengar tertutup dengan cepat, suara itu seperti menandai berakhirnya sebuah babak. Langkah kaki Lily menghilang begitu saja, meninggalkan ruangan yang kini kembali sunyi. Namun, pria itu sudah bangun jauh sebelum Lily bangun.
Dengan perlahan, pria itu duduk di tepi tempat tidur, matanya masih terpejam seakan menahan segalanya. Tidak ada perubahan ekspresi di wajahnya.
Wajahnya datar, seolah perasaan sudah mati, seolah dunia di sekitarnya tak bisa lagi menyentuhnya. Ia membuka matanya dengan lambat, menatap langit-langit kamar yang dingin.
Tangannya meraba meja di samping tempat tidur, dan ia menemukan tumpukan uang yang Lily tinggalkan, 2.250 yuan.
Uang yang tampaknya begitu sedikit dibandingkan dengan apa yang telah terjadi malam itu. Pria itu memegang uang itu dengan jari-jarinya yang besar dan kuat, menatapnya tanpa ada ekspresi, seolah mengukur nilai dari apa yang baru saja terjadi.
Senyum tipis muncul di bibirnya, bukan senyum yang tulus, melainkan senyum yang penuh arti yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang telah menjalani hidup penuh dengan pengorbanan dan keraguan.
Senyum itu seperti cermin yang memantulkan kekosongan dalam dirinya. Sebuah tawa kecil yang hanya bisa ia nikmati sendiri, sebagai pengingat akan betapa tak bergunanya semua ini.
Namun, tatapannya tiba-tiba teralihkan. Di sampingnya, ada bercak darah yang mengotori selimut putih, sisa-sisa dari peristiwa semalam yang kini berubah menjadi kenangan yang menyesakkan.
Darah itu tidaklah banyak, tetapi cukup untuk menunjukkan sesuatu yang lebih dari sekedar kejadian biasa. Sesuatu yang membuat pria itu diam sejenak, merenung.
Wajahnya kembali datar, dan ekspresinya berubah. Seolah semua yang ada di sekitarnya tak lagi penting. Hanya darah itu yang kini menarik perhatiannya, menatapnya dengan tatapan yang dalam dan penuh pertanyaan yang tidak bisa dijawab.
Ia menyentuh bercak darah itu dengan jarinya, merasakannya seolah ingin memahami makna dari semua ini. Hanya ketenangan yang ada di dalam dirinya, ketenangan yang datang dari kebisuan yang sulit untuk diungkapkan.
Matanya memudar ke kejauhan, tanpa ekspresi, seolah mengabaikan segalanya. Entah apa yang dipikirkannya, tetapi ada sesuatu yang jelas, sesuatu yang lebih dari sekedar uang yang tertinggal. Ada kesendirian yang lebih dalam dari pada yang bisa dipahami orang biasa.
Pria itu berdiri perlahan, meraih handuk yang tergeletak di dekat meja. Ia berjalan menuju kamar mandi, tubuhnya tampak kuat dan penuh dominasi, tetapi di balik itu semua, ada ketegangan yang tak terungkapkan.
Ia tampak seperti seorang pria yang telah lama terbiasa dengan kesendirian, dengan perasaan hampa yang mengisi ruang dalam dirinya.
Saat air mengalir di kamar mandi, suara itu mengisi kesunyian ruangan. Pria itu berdiri di bawah pancuran, membiarkan air menyiram tubuhnya yang lelah.
Pikirannya kosong, namun wajahnya tetap datar, seperti sedang mencoba menenangkan sesuatu yang dalam, sesuatu yang gelap. Segala perasaan yang ia pendam, semuanya kini terkunci rapat di dalam hatinya.
Tidak ada yang tahu apa yang benar-benar ia pikirkan. Tidak ada yang bisa memahami mengapa pria itu bertindak begitu dingin dan terpisah dari dunia sekitar.
Tetapi satu hal yang pasti, ia tidak bisa melupakan apa yang terjadi malam itu. Semuanya terlalu nyata, dan ia tahu bahwa kejadian semalam akan terus membayangi langkahnya.
Dah itulah pesan dari author remahan ini🥰🥰🥰🥰