Menunggu selama empat tahun lebih tanpa kepastian, Anya bahkan menolak setiap pinangan yang datang hanya untuk menjaga hati seseorang yang belum tentu ditakdirkan untuknya. Ia tetap setia menunggu, hingga sebuah peristiwa membuat hidupnya dan seluruh impiannya hancur.
Sang lelaki yang ditunggu pun tak bisa memenuhi janji untuk melamarnya dikarenakan tak mendapat restu dari keluarga. Di tengah hidup yang semakin kacau dan gosip panas yang terus mengalir dari mulut para tetangga, Anya tetap masih berusaha bertahan hingga ia bisa tahu akan seperti apa akhir dari kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nyinyiran Tetangga
"Kenapa kamu nyinggung soal Anya?" tanya Rizki tak senang.
"Aku hanya berusaha mengeluarkan apa yang ada dalam pikiranmu, Mas."
Syifa duduk dengan begitu tenang di sisi suaminya. Ia sudah terbiasa dengan tatapan dingin Rizki, sejak menikah mereka memang tak banyak bicara, dan tidak pernah pergi jalan-jalan menghabiskan waktu berdua seperti kebanyakan pengantin baru yang lain.
Syifa sering berada di rumah, dia selalu setia menunggu suaminya pulang kerja.
Rizki tidak mau menetap dan mengajar di pondok, jadi dia memutuskan untuk membantu bisnis keluarganya. Itu semua juga sudah mendapat persetujuan dari papa dan abi Ilyas.
"Aku tidak memikirkan Anya lagi," jawabnya datar.
"Mas, jujur pada diri sendiri itu juga perlu. Aku tahu Mas belum bisa melupakan mbak Anya sepenuhnya." Syifa menatap gantungan kunci yang berada dalam genggaman Rizki.
Gantungan kunci itu adalah milik Anya, dia lupa memberikan barang itu kembali.
Malam saat mereka tak sengaja bertemu di masjid, karena kedatangan mama dan dua tetangganya, membuat ia lupa hingga Anya sudah pergi dia pun tidak ingat untuk memberikan barang itu kembali. Rizki tanpa sadar malah memasukkan benda itu ke dalam saku baju kokonya.
"Ini milik Anya, aku lupa memberikannya kembali." Rizki menjawab jujur seraya memperlihatkan benda tersebut.
"Cantik," puji Syifa, "mbak Anya tidak membuang benda ini, itu artinya dia juga masih cinta sama kamu." Syifa mengambil gantungan itu dan melihatnya lebih dekat.
"Kamu tidak marah?" tanya Rizki yang heran melihat sifat tenang istrinya.
"Marah? Kenapa aku harus marah, Mas? Tapi aku cemburu, karena kamu suami aku. Namun, aku tidak bisa memaksa perasaan kamu untukku sepenuhnya. Aku sadar kalau pernikahan kita terjadi karena kesepakatan dua keluarga, bukan keinginan masing-masing. Meskipun begitu, aku mencintaimu tulus dan tidak ada kata terpaksa di dalamnya."
Ucapan yang terdengar begitu ringan, tapi dapat membuat hati terenyuh kala mendengarnya.
Rizki sejenak tertegun, mencerna setiap untaian kata yang terucap. Dirinya sudah salah selama ini, ia sadar telah mengabaikan sang istri.
Pesan papanya tidak pernah ia lupa, Syifa adalah istrinya sekarang. Sudah sepantasnya jika Syifa yang bertahta di hatinya, bukan wanita lain yang sudah seharusnya ia lupakan.
Syifa memperhatikan kebisuan suaminya, dia tidak akan memaksa untuk dicintai.
"Mas, jangan kepikiran soal perkataan aku tadi. Aku tidak akan memaksa, Mas. Aku akan menunggu sampai Mas bisa merelakan semuanya dengan ikhlas, hidup itu bergerak maju bukan mundur. Jadi, kita harus berdiri dan menatap masa depan, bukan berfokus pada masa lalu."
Ucapan Syifa persis seperti omongan Anya saat mereka duduk berkumpul dengan Liana.
Rizki memutar pandangannya ke arah Syifa yang saat itu tersenyum melihat tingkahnya.
"Maafkan aku, Syifa. Berikan aku waktu, aku akan berusaha merelakan dia. Kamu jangan bicarakan tentang perasaan aku sama abi ya?" pinta Rizki. Sorot matanya terlihat sangat memohon, Syifa mengangguk dan menggenggam jemari suaminya.
Rizki merasa ada kehangatan yang mengalir di sana, apa ini yang dinamakan kenyamanan? Ia mulai merasa aneh dengan perasaannya sendiri.
Dia memang jarang ngobrol sama Syifa, tapi Syifa selalu mampu membuatnya tenang di saat hatinya sedang gelisah.
"Aku seolah menemukan diri Anya pada pribadi Syifa," ucap Rizki membatin, lagi-lagi yang ada di pikirannya adalah Anya.
Dia semakin bingung dengan perasaannya, Syifa atau Anya yang sekarang benar-benar mengisi relung hatinya?
"Kamu adalah suami aku, Mas. Ini tentang rumah tangga kita, aku tidak akan berbagi dengan yang lain. Kita selesaikan ini sama-sama, tapi jika kelak kamu masih tidak bisa melupakan mbak Anya, aku rela untuk dimadu."
Deg!
Netra Rizki membola, kata-kata Syifa membuatnya tegang.
Bagaimana bisa dia berpikir sejauh itu, rela dimadu? Yang benar saja, sulit mengambil keputusan seperti itu, tapi kenapa dia sangat mudah melontarkan kata-kata tersebut.
"Syifa!" sentak Rizki, "kamu bicara apa? Aku tidak berpikir sejauh itu, jangan mengatakan hal seperti ini lain kali. Kamu bisa membuat aku tidak tenang, bagaimana kalau abi dan umi dengar?"
"Umi dan Abi tidak di sini, Mas. Apa aku salah memberikanmu kesempatan untuk bersatu dengan mbak Anya?"
Rizki langsung beranjak bangun dari duduknya, ia bermaksud masuk ke dalam kamarnya dan ingin tidur, dia sudah tidak mau mendengar omongan Syifa yang terus saja membahas tentang Anya.
Rizki merasa menjadi orang yang sangat jahat karena masih mencintai perempuan lain, padahal dia sudah punya istri sendiri.
"Jangan pergi, Mas. Aku minta maaf jika membuatmu tersinggung, aku cuma tidak ingin kamu menahan sakit menanggung perasaan itu sendiri. Aku tahu bagaimana rasanya menikah dengan orang yang tidak kita cintai, tapi apa kamu tahu bagaimana sakitnya mencintai orang yang tidak mencintai kita, Mas? Itu sakit sekali."
Syifa menggenggam erat tangan suaminya yang hendak pergi, Rizki menatap sepasang mata Syifa yang berubah sendu dan mulai berkaca-kaca.
Rizki mematung, dia juga sudah membuat Syifa terluka. Perempuan sebaik Syifa tak pantas disakiti, selama ini Syifa sudah sabar dengan sikapnya yang dingin itu.
Kenapa tidak akhiri saja semuanya dan memulai dari awal? Anya adalah masa lalu, dan Syifa masa depannya sekarang.
Rizki menarik Syifa untuk bangun, lalu ia memeluk tubuh istrinya.
Ini yang seharusnya dia lakukan, begitu mendapat pelukan hangat dari suaminya, Syifa merasa sangat senang dan air matanya luruh begitu saja.
Mungkinkah Rizki sudah mulai melupakan Anya, dan perlahan rasa cinta itu beralih pada pendamping hidupnya sekarang?
"Maafkan mas, Syifa," ucapnya lembut.
Malam dan bintang menjadi saksi bisu akan awal dari kedekatan mereka berdua. Semoga Rizki bisa melupakan Anya, dan Anya bisa mendapatkan yang lebih baik dari dia.
.
.
Pak Faisal sedang sibuk di luar memeriksa mesin mobilnya, sedangkan Anya dan bu Aila, mereka tengah sibuk mempersiapkan barang-barang yang diperlukan untuk dibawa ke rumah sakit.
Sasha akan segera melahirkan, keningnya mulai dipenuhi oleh keringat dingin.
"Bu, aku takut!" Sasha terus saja mengatakan hal yang sama sejak tadi.
Anya sudah berkali-kali memperingatkan adiknya untuk tetap tenang, karena mereka akan selalu berada di sisinya.
"Sasha, kamu tenang aja! Enggak akan terjadi apa-apa kok. Kamu jangan panik gini, semua yang diperlukan udah aku siapkan sama ibu, saatnya kita ke rumah sakit." Anya membantu Sasha untuk berjalan keluar, di usia sembilan bulan kandungannya dia sudah semakin susah untuk bergerak.
"Kak, aku takut," lirihnya.
Bu Aila datang dan ikut menenangkan, beliau menggenggam tangan anaknya. "Sayang, dulu ibu juga seperti kamu saat melahirkan bang Tino, macam-macam pikiran buruk melintas di benak ibu. Alhamdulillah berkat dukungan dari ayah kalian, ibu bisa melewati itu semua. Ayah kalian terus berada di samping ibu sampai proses persalinan selesai," ucap bu Aila menceritakan tentang kenangannya dulu ketika melahirkan Tino.
"Tapi sekarang aku sendiri, Bu. Sasha enggak punya su_"
"Ibu, udah siap belum!?" teriak pak Faisal, Sasha tidak sempat menyelesaikan omongannya, meskipun begitu Anya dan bu Aila tetap tahu apa yang hendak dikatakan Sasha.
"Tuh, ayah kalian sudah manggil. Ayo cepat! Anya, kamu bantu Sasha masuk ke mobil, biar ibu yang bawa tasnya," kata ibunya sembari mengangkat tas jinjing yang tidak terlalu berat itu.
Isinya adalah perlengkapan bayi dan baju ganti untuk Sasha.
Melihat istrinya yang keluar sambil membawa tas, pak Faisal dengan sigap langsung mengambil alih tas itu dan memasukkannya dalam mobil.
Anya masih berada di belakang ibunya, ia membantu memapah Sasha yang sudah semakin susah untuk berjalan.
Di depan gerbang kediaman mereka, ada beberapa tetangga yang datang untuk mengeluarkan sumpah serapahnya.
"Nah, setelah sembilan bulan akhirnya keluar juga tuh si tukang Zina!" sindir bu Etty, beliau tidak habis-habisnya menghina keluarga pak Faisal.
Bu Etty dan bu Ella tidak cuma tukang gosip, tapi mereka juga bisa jadi cctv berjalan setiap saat.
Mereka siap mengontrol setiap warga di kawasan itu. Tak ada satu pun orang yang berhasil lolos dari nyinyiran mereka.
Yang berbuat baik saja bisa digosipin, apalagi seperti keluarga Anya yang sudah jelas melakukan kesalahan besar.
"Benar-benar satu keluarga enggak punya malu, bukannya pergi dari kampung kita. Eh, masih aja mau melihara anak haram di sini, jangan sampai gara-gara dia kampung kita kena azab!" ucap bu Etty.
Kehebohan yang mereka buat membuat beberapa ibu-ibu yang lain keluar dari pekarangan rumahnya dan melihat apa yang terjadi.
Ada beberapa di antara mereka yang menyuruh bu Etty dan Ella untuk diam dan pergi dari sana, dan ada juga yang malah mendukung supaya mereka terus mengatai keluarga pak Faisal.
"Bu, mending diam aja loh. Selama ini mereka enggak pernah balas hinaan ibu-ibu, itu bisa bahaya juga."
"Awas, Bu. Doa orang terdzalimi cepat dikabulkan sama Allah," sambung yang lain.
"Oalah, Bu. Apa ibu-ibu sudah buta? Siapa yang terdzalimi, mereka? Mereka terdzalimi? Hahaha ...." Bu Etty dan bu Ella tertawa keras, mereka menertawakan ucapan bu Zena.
Mereka tidak peduli jika pak Faisal akan merah nantinya. Namun, kenyataannya beliau malah tidak menggubris sama sekali, dan hal itu semakin membuat mereka kesal.
"Bu, enggak usah diladeni, mending kita segera bawa Sasha ke rumah sakit!" kata pak Faisal begitu melihat istrinya menahan amarah dengan mata melotot ke arah bu Etty.
"Kak, perut Sasha rasanya semakin sakit. Pinggang aku juga," keluh Sasha.
Pak Faisal segera masuk dan duduk di belakang kemudi, Anya membantu Sasha untuk masuk lebih dulu.
Semua sudah siap mereka tinggal berangkat, mobil yang dikendarai pak Faisal mulai berjalan meninggalkan kediaman.
"Sebentar lagi mau ngelahirin anak haram, saya doakan anaknya enggak selamat! Biar kampung kita enggak dipenuhi sama anak haram mereka!" ucap bu Etty menyumpahi.
"Astaghfirullah! Buruknya doa bu Etty, Bu." Anya menatap ibunya yang duduk di depan.
Bu Aila hanya bisa bersabar dan menghembuskan napas panjang. "Anggap aja suara anjing bergonggong, Anya."
"Mulutnya biadab benar, Kak." Sasha yang sudah tidak tahan pun membuka jendela mobil, sebelum ayahnya menancap gas, ia segera membuka tutup botol Aqua di depannya, lalu menyiram wajah bu Etty dan Bu Ella secara bergantian.
Pak Faisal seolah sengaja memelankan laju mobilnya begitu lewat di depan mereka.
"Ah! Dasar j*l*ng kurang ajar!" pekik bu Ella.
"Saya doakan anaknya benar-benar enggak selamat!" sambung bu Etty. Yang lainnya menahan tawa melihat mereka yang jadi basah karena disiram Sasha.
"Sha, apa yang kamu lakukan?" wajah Anya terlihat panik.
"Itu balasan buat mereka, Kak. Aku lihat dari tadi ibu dan ayah juga diam aja."
Anya melihat ayahnya dari spion depan, ada senyum kecil yang muncul di bibir sang ayah.
"Sepertinya ayah sengaja berjalan pelan tadi, supaya Sasha dapat memberi mereka pelajaran," pikir Anya membatin.