Seira, 25 tahun, istri dari seorang saudagar beras harus menerima kenyataan pahit. Dikhianati suami disaat ia membawa kabar baik tentang kehamilannya. Zafran, sang suami berselingkuh dengan temannya yang ia beri pekerjaan sebagai sekretaris di gudang beras milik mereka.
Bagaimana Seira mampu menghadapi semua ujian itu? Akankah dia bertahan, ataukah memilih pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Sei
Zafran melenguh tepat disaat Lita membawakan kopi dan susu jahe yang diminta dokter Hendra. Dahi sempit Lita mengernyit ketika menemukan dokter muda itu sedang berdiri di dekat jendela. Tirai kamar dibiarkannya terbuka, pemandangan kota malam yang diguyur hujan menjadi view yang indah untuk dinikmati. Sekaligus romantis.
Dokter Hendra berbalik disaat mendengar pintu berderit yang disertai rintihan Zafran. Ia berjalan mendekat ke ranjang seraya duduk di tepinya. Memeriksa denyut nadi dan detak jantung, memastikan keadaan Zafran sudah lebih baik. Ia sempat memberikan obat lewat suntikan tadi.
"Dokter, ini kopi sama susu jahenya," ucap Lita yang sengaja berdiri di samping dokter Hendra.
Dua kancing atas kemeja yang ia kenakan, sengaja tak dikaitkan demi menarik perhatian sang dokter. Bahkan dia sempat bercermin dan membenahi penampilannya sebelum membawa dua minuman itu ke kamar Zafran.
"Letakkan saja di sana? Kamu udah bikin sup? Zafran udah bangun, dan dia harus cepet makan," sahut dokter Hendra tanpa menoleh ataupun melirik ke arahnya.
Lita gelagapan, ia lupa pada satu perintah itu. Buru-buru meletakkan nampan tersebut di atas nakas dan bersegera menarik diri dari kamar Zafran. Oh, sial! Ada nenek sihir di dapur. Lidahnya berdecak kesal, tapi tak urung jua melanjutkan langkah.
Benar saja, Ibu masih di sana menatap pada pintu dapur dengan tajam. Bagai seekor pemangsa yang bersiap melahap mangsanya. Lita menggulung rambut tinggi-tinggi sambil memasuki dapur. Tak perlu banyak bicara, yang pasti kerjakan saja apa yang diperintahkan.
Dengan tangan gemetaran, Lita mulai meracik bumbu.
"Zafran nggak suka masakan yang lain selain masakan istrinya. Dia nggak biasa makan masakan orang lain," ujar Ibu semakin menambah ketegangan.
Lita mendengus sebal, tidak menanggapi celotehan tak mengenakan dari wanita tua yang banyak bicara itu.
"Ugh!" Ia menjauh disaat menumbuk bawang, rasa perih terus dirasakannya menyerang kedua mata.
Seperti hatinya yang teriris berulang-ulang, air mata pun rembes tanpa dia inginkan.
Sialan, mata aku jadi perih kayak gini. Seumur-umur nggak pernah masak bikin bumbu kayak gini. Orang kaya satu ini emang nyebelin.
Dia mengumpat, tapi hanya dalam hati. Tak mampu lisannya berucap walau hanya sebatas lirih semata. Lita melanjutkan menumbuk bumbu, tanpa peduli pandangan aneh wanita itu.
"Seira nggak pernah kayak kamu, lho. Dia biasa aja tuh numbuk bumbunya. Kamu nggak pernah masak, ya?" celoteh Ibu yang lagi-lagi menyebut nama wanita yang enggan didengarnya.
Lita membanting ulekan, menghela napas lelah, pandangannya menengadah sebelum kembali melanjutkan pekerjaan yang menurutnya menyebalkan itu.
Ibu mendengus, lelah sendiri melihat tingkah sang calon menantu yang terlihat tak becus apa-apa itu.
"Tante mau lihat Zafran dulu, kasih tahu kalo kamu udah selesai," pintanya seraya beranjak meninggalkan dapur sambil melirik dan mencibir.
Lita mendesah lega, akhirnya terbebas dari mandor yang selalu berbicara tak enak itu. Ia dapat dengan tenang menuntaskan pekerjaan. Pandangannya melirik pada jendela yang tirainya tersingkap.
Langit masih menurunkan airnya meski hanya berupa gerimis, kilatan petir yang menyambar pun tak lagi terlihat. Semoga saja dia tidak diusir setelah ditawari menginap. Lagipula tubuhnya terasa lengket dan lelah, ingin rasanya berendam air hangat yang tak pernah bisa ia lakukan di kontrakan.
Asap yang mengepul dari masakan mengeluarkan bau, Lita melongo ke dalam panci melihat sup ayam yang dibuatnya. Diambilnya kuah sedikit untuk ia cicipi rasanya.
"Mmm ... nggak buruk. Ini juga enak, walaupun nggak sama kalo dibanding masakan Sei, tapi tetap enak." Ia bermonolog bangga.
Sementara itu, di kamarnya Zafran mulai sadarkan diri. Dahinya mengernyit disaat pening melanda, dokter Hendra menunggu sembari bersedekap dada. Bersikap seolah-olah seorang hakim yang akan mendakwa tertuduh.
"Udah bangun?"
Nada ketus dari suara yang tak asing di telinganya mengusik kenyamanan Zafran yang masih ingin terpekur dalam buaian. Ia menoleh ke samping, menatap sayu dokter muda itu.
"He-hendra?" panggilnya dengan suara parau.
Dokter Hendra lekas membantu disaat Zafran hendak merubah posisinya menjadi duduk. Tak lagi berminat duduk di sofa, dokter berkacamata itu duduk di tepian ranjang. Mengambil segelas susu jahe dan membukanya.
Asap mengepul mengeluarkan bau yang khas. Zafran tersenyum mencium bau itu.
Sei pulang, terima kasih, ya Allah. Ternyata dia masih peduli sama aku, tapi di mana? Kenapa dia nggak ada di kamar?
Zafran bergumam dalam hati, teramat senang saat pikirannya mengatakan Seira berada di rumah itu. Ia menerima suapan demi suapan susu jahe yang diberikan oleh Hendra. Dahinya mengernyit bingung, rasa yang dicecap lidahnya tak sama meskipun memiliki bau yang serupa.
Namun, ia tetap meminumnya, demi menghangatkan tubuh yang sejak sore menggigil kedinginan.
"Nggak usah disimpan, aku mau habiskan," sergah Zafran disaat Hendra hendak meletakkan gelasnya di tempat semula.
Zafran merebut gelas tersebut, mulai menyuapi diri sendiri. Bahagia yang terlihat di wajah pucatnya membuat kening Hendra mengkerut. Tak ingin larut dalam pikiran yang macam-macam, ia melirik gelas lainnya.
Kopi yang dibuatkan Lita belum disentuhnya sama sekali. Rasanya enggan untuk mencicipi cairan hitam kesukaannya dari dalam cangkir tersebut. Namun, penasaran dengan rasanya, berharap semoga akan sama seperti yang Seira buatkan.
Ia mengambilnya, menyesap sedikit, dan wajah tampan itu berubah aneh. Berkali-kali lidahnya berdecak memastikan rasa kopi tersebut. Dahinya mengernyit, rasa aneh itu membuat perut mual. Ia meletakkan kembali di tempatnya. Hal itu mengundang rasa penasaran Zafran.
"Kenapa nggak diminum? Biasanya kamu habiskan, terus memuji kopi buatan Sei emang nggak ada duanya," protes Zafran yang tak senang melihat sikap Hendra.
"Iya, tapi ini rasanya beda. Nggak nikmat kayak buatan Sei, malah bikin perut enek terus mual," ucapnya jujur.
Zafran semakin bingung terlihat, diliriknya gelas yang ia genggam, susu tersebut hampir tandas sepenuhnya. Lalu, membuang pandangannya lagi pada Hendra yang beralih tempat duduk.
"Beda gimana? Masa rasanya bisa beda? Kan, yang bikin masih sama," tanya Zafran seraya menenggak susu jahe di tangannya.
"Kamu yakin rasanya masih sama?"
Zafran tercenung.
"Sedikit beda emang, tapi mungkin itu karena hatinya lagi nggak senang. Kami bertengkar, dan dia pergi dari rumah. Aku mencari dia sampai menorobos hujan, tapi nggak ketemu. Nggak nyangka aja dia bisa balik lagi ke rumah," ungkapnya sedikit berbohong soal bertengkar.
Dokter Hendra tak langsung percaya, bertekad dalam hati setelah dari rumah itu ia ingin mencari keberadaan Seira dan memastikan kejadian yang sebenarnya. Pasalnya, ia juga tak melihat Bi Sari di rumah tersebut juga Mang Udin yang biasanya berjaga di pos gerbang.
"Kamu yakin, kalian bertengkar? Asal kamu tahu aja, susu itu bukan buatan Sei, tapi perempuan di dapur sana," beritahu dokter Hendra membuat Zafran kembali merenung.