Jo Wira, pemuda yang dikenal karena perburuan darahnya terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kematian orang tuanya, kini hidup terisolasi di hutan ini, jauh dari dunia yang mengenalnya sebagai buronan internasional. Namun, kedamaian yang ia cari di tempat terpencil ini mulai goyah ketika ancaman baru datang dari kegelapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orpmy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berkembang dalam Pertarungan
Golem Badak, yang kini bertransformasi menjadi bola batu berduri kristal, mulai berputar dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Suara gesekan tajam dan getaran tanah menandakan ancaman yang tidak bisa diremehkan.
Namun Wira masih berdiri dengan penuh percaya diri di antara golem dan macan kumbang yang masih menjalani evolusi. Ia tak akan membiarkan makhluk itu celaka di hadapannya.
Dengan cepat, Wira menarik napas dalam-dalam dan memfokuskan energinya. Teknik Wesi Yo Wesi ia perkuat hingga maksimal. Lapisan energi Ki yang melindungi kulitnya kini berubah menjadi hitam legam seperti baja yang sangat kokoh, memancarkan kilau seakan tak dapat dihancurkan.
“Bring it on!” serunya, seraya kuda-kuda.
***
Golem Badak yang telah berubah menjadi bola batu berduri, melesat layaknya bola besi yang ditembakkan dari meriam. Wira tak gentar. Ia menyambut serangan itu dengan pukulan keras. Benturan pertama menggema bak palu besar menghantam gong raksasa.
Ledakan energi tercipta dari bentrokan itu, menimbulkan percikan listrik menyambar di sekitar mereka.
BRAAK! BRAAK! BRAAK!
Mereka saling serang tanpa henti. Golem Badak terus berputar dan menekan dengan intensitas yang semakin brutal. Wira membalas dengan pukulan beruntun, layaknya senapan gatling yang ditembakkan tanpa henti.
Namun, setiap pukulan yang Wira layangkan meninggalkan luka dan retakan di tangannya. Rasa perih mulai menjalar dari buku-buku jarinya ke seluruh lengan. ‘Sial, kristal ini terlalu keras!’ pikirnya, tetapi tekadnya tak tergoyahkan. Ia menggertakkan gigi, matanya penuh amarah.
Serangan Golem Badak semakin cepat dan ganas. Setiap kali duri kristal menyentuh tubuh Wira, lapisan energi Ki yang menyelimuti tubuhnya mulai retak sedikit demi sedikit. Lututnya mulai goyah, napasnya berat, namun ia tidak akan mundur. Sekali ia bergerak, macan kumbang di belakangnya akan menjadi daging giling.
Di tengah tekanan itu, pandangannya mulai kabur. Rasa sakit menyelimuti kesadarannya. Energi Ki yang ia kerahkan semakin tipis. 'Ini berbahaya, aku tidak ingin Sumba marah padaku.' Wira membayangkan Sumba yang kecewa karena ia tidak kembali membawa kristal monster.
Namun, tepat saat itu, sesuatu yang aneh terjadi.
Tiba-tiba, Wira merasa dunia di sekitarnya terasa melambat. Di balik debu dan kilatan cahaya pertempuran, Wira melihat titik-titik cahaya samar pada bola berduri yang berputar di depannya. Titik-titik itu tampak berkedip, seperti bintang yang terperangkap di dalam kristal.
‘Apa ini?’ pikirnya bingung. Nalurinya mendesaknya untuk mencoba sesuatu. Dengan tenaga tersisa, Wira melayangkan pukulan tepat ke salah satu titik cahaya tersebut.
“HAAAA!” Teriakannya membelah udara.
Tinjunya menghantam titik cahaya itu dengan tepat. Seketika, terdengar jeritan kesakitan dari Golem Badak. Putarannya melambat drastis, dan tubuh batu itu bergetar tak terkendali. Dengan cepat Wira memberikan tendangan pada titik cahaya yang lain, membuat bola berduri itu terpental ke belakang.
Mata Wira membelalak Setelah berhasil menendang mundur serangan Golem Badak. ‘Apa mungkin cahaya yang aku lihat sebenarnya adalah kelemahannya!’ ia sama sekali tidak mengira dapat melakukan sesuatu yang menakjubkan seperti itu.
Wira berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Dengan cepat dia pun menyadari bahwa lapisan energi Ki yang tanpa sadar telah melapisi otaknya memungkinkan dia untuk melihat titik-titik lemah pada struktur lawan. Teknik ini muncul secara spontan, hasil dari dorongan batas kemampuannya.
“Gila, keren banget gweh coy!” ia berteriak keras, merasa bangga karena bisa menciptakan dua teknik dalam satu pertarungan. Wira pun menamai teknik barunya dengan mana.
"Rosasinsin!." Serunya lantang.
Merasakan rasa sakit luar biasa dari pukulan Wira yang tepat mengenai titik vitalnya, Golem Badak mengerti bahwa pertarungan ini tak bisa dimenangkannya. Dengan cepat, tubuhnya kembali bertransformasi menjadi bola batu berduri, namun kali ini bukan untuk menyerang, melainkan untuk melarikan diri.
“Hei! Kau pikir mau lari ke mana?! Kembalilah dan serahkan kristalmu!” teriak Wira sembari berlari mengejar.
Golem Badak mulai bergulir cepat, melaju di antara pepohonan. Namun, Wira tak membiarkannya lolos begitu saja. Dengan mengerahkan energi Ki pada jantungnya, adrenalin membanjiri aliran darahnya, membuat kecepatannya melonjak tajam. Tubuhnya bergerak lincah seperti kilatan bayangan, menyusul Golem Badak dalam sekejap.
Tubuh Wira terasa berdenyut panas, asap mulai keluar dari pori-pori kulit, darahnya hampir mendidih, tapi ia tak peduli. Fokusnya hanya saat satu yakni menghentikan Golem Badak yang akan kabur. Ia kembali mengaktifkan teknik Rosasinsin, yang membuatnya dapat melihat titik lemah yang ditandai dengan cahaya di permukaan bola batu.
“Sekarang atau tidak sama sekali!” seru Wira.
Dengan secepat kilat, ia melontarkan pukulan bertubi-tubi ke titik-titik cahaya tersebut.
BAM! BAM! BAM!
Setiap pukulannya menghasilkan suara dentuman keras, menghentakkan Golem Badak ke berbagai arah. Bola batu berduri itu terpental liar, tapi Wira tak memberi jeda. Ia terus mengejarnya, menghantam berulang kali, membelokkan jalur Golem seperti sedang bermain bola raksasa.
Golem Badak semakin lemah, retakan mulai menjalar di seluruh tubuhnya. Setiap serangan Wira terasa seperti palu godam yang menghancurkan lapis demi lapis pertahanannya, akibat titik lemah Golem Badak semakin melebar.
"Samber Gledek!" Dengan satu teriakan penuh tenaga, Wira melancarkan pukulan pamungkas ke titik paling terang.
DUARR!
Golem Badak meledak dalam kilatan cahaya dan serpihan kristal beterbangan di udara. Debu dan pecahan batu jatuh berserakan di sekelilingnya. Wira berdiri di tengah kekacauan, napas memburu, asap mengepul dari tubuhnya, matanya terpejam mencoba menenangkan tubuhnya yang masih terpengaruh oleh adrenalin.
"Akhirnya aku mendapatkan hadiah untuk Sumba." Wira mengambil kristal Golem Badak dari pecahan tubuh monster tersebut.
***
Sumba masih menunggu dengan sabar meskipun Wira belum juga kembali. Di dekatnya, Kinta yang baru saja menyelesaikan evolusi berdiri dengan penampilan baru yang mengintimidasi.
Meski masih terlihat seperti anjing zombie, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Selain ukuran tubuh Kinta yang membesar, sinar kebiruan berpendar samar dari dalam tubuhnya, menciptakan aura misterius yang menegaskan kekuatannya telah meningkat.
Kinta menyalak keras, matanya berkilat penuh tanya, seakan berkata, “Di mana Tuan?”. Sumba hanya mendengus pelan, seolah enggan menjawab. Matanya yang tajam tetap fokus ke kejauhan.
Terdengar suara ledakan beberapa kali dari atas bukit, Sumba sadar jika saat ini tuannya pasti sedang bertarung. Kinta yang tidak sabar menunjukkan hasil evolusinya, berpikir untuk menyusul Wira.
Namun tiba-tiba, suara dentuman keras memecah kesunyian. Kedua hewan itu serempak menoleh ke arah sumber suara. Dari balik kabut tipis, muncul sosok yang mereka kenali. Wira berjalan perlahan, bajunya compang-camping, beberapa bagian bahkan robek hingga memperlihatkan luka memar yang belum sempat sembuh. Namun sorot matanya penuh kehangatan seperti biasanya.
Melihat Kinta, wajah Wira langsung berseri. “Oh, Kinta! Kau sudah sadar!” katanya dengan senyum riang. Kinta menggonggong riang, ekornya berkibas penuh semangat.
Sumba menyipitkan matanya, ekspresi datarnya mulai mencair. Meski ia tak menunjukkan banyak emosi, jelas ada kelegaan di sana. Namun, perhatian keduanya segera teralih ke sesuatu di pundak Wira.
Seekor macan kumbang tergolek lemah, bulunya yang mengilap tampak kontras dengan kondisi Wira. Tatapan Kinta dan Sumba serempak berubah tajam. Sorot mata mereka penuh tanya — dan sedikit harap.
Seakan-akan keduanya bertanya serempak, “Makanan?”
Wira terkekeh pelan dan menggeleng. “Bukan, dia bukan makanan,” katanya tegas.
mohon berikan dukungannya