Judul: Bunga yang Layu di Hati Sahabat
Sasa dan Caca adalah sahabat karib sejak SMA. Mereka selalu bersama, berbagi impian, tawa, dan bahkan tangis. Sasa, yang dikenal lembut dan penuh kasih, melanjutkan hidupnya dengan menikahi Arman setelah menyelesaikan kuliah nya, pria yang selama ini menjadi cinta sejatinya. Sementara itu, Caca, yang masih berjuang menemukan cinta sejati, sering merasa kesepian di tengah gemerlap kehidupannya yang tampak sempurna dari luar.
Namun, retakan mulai muncul dalam hubungan persahabatan mereka ketika Caca diam-diam menjalin hubungan terlarang dengan Arman. Perselingkuhan ini dimulai dari pertemuan yang tak disengaja dan berkembang menjadi ikatan penuh godaan yang sulit dipadamkan. Di sisi lain, Sasa merasa ada sesuatu yang berubah, tetapi ia tak pernah membayangkan bahwa sahabat yang paling dipercayainya adalah duri dalam rumah tangganya.
Ketika rahasia itu terungkap, Sasa harus menghadapi penghianatan...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon icha14, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kehawatiran Sasa
Setelah Fitri berpamitan, Sasa kembali tenggelam dalam pikirannya. Ia menatap tamu-tamu yang masih menikmati suasana syukuran di halaman belakang rumah kecilnya. Senyum kecil tersungging di wajahnya. Meskipun tubuhnya terasa lelah, ada kepuasan luar biasa yang tak bisa ia gambarkan. Kebahagiaan yang tidak hanya berasal dari dirinya sendiri, tetapi juga dari perhatian keluarga dan tema hadir hari ini.
Sementara itu, Arman terlihat tengah berbincang akrab dengan Agus dan beberapa temannya di sudut halaman. Sesekali terdengar tawa renyah dari kelompok kecil itu. Pandangannya sesekali melirik ke arah Sasa, memastikan istrinya baik-baik saja.
"Masih kuat, Sayang?" Arman akhirnya menghampiri Sasa, membawa segelas air putih dingin.
Sasa mengangguk pelan. "Alhamdulillah, masih. Tapi mungkin sebentar lagi aku mau istirahat di kamar."
Arman duduk di sampingnya, meletakkan gelas di tangan istrinya. "Minum dulu, biar seger. Kamu udah kerja keras banget hari ini."
Sasa mengambil gelas itu dan meminumnya perlahan. "Kamu juga, Mas. Dari pagi nggak berhenti bantuin ini itu."
Mereka berdua berbagi senyum hangat, tanpa banyak kata. Kadang, kehadiran saja sudah cukup untuk saling menguatkan.
Kehadiran Dua Sahabat Lama
Di tengah suasana yang mulai mereda, dua tamu yang baru datang menarik perhatian Sasa dan Arman. Mereka adalah Shinta dan Farhan, dua sahabat lama Sasa yang tinggal di luar kota. Shinta dan Sasa pernah satu kampus saat kuliah, sementara Farhan adalah teman satu kelompok kerja mereka dulu.
"Eh, Shinta! Farhan! Kok nggak bilang kalau mau datang?" Sasa langsung berdiri meski tubuhnya terasa sedikit berat.
Shinta memeluk Sasa erat. "Kejutan, dong! Masa nggak kangen sama kita?"
Farhan hanya tertawa kecil. "Iya, Sas. Kami sempat ragu, takut merepotkan. Tapi akhirnya nekat datang."
Arman menyambut mereka dengan hangat. "Wah, teman-teman Sasa ya? Silakan duduk dulu. Tadi kami pikir nggak ada yang bisa bikin Sasa berdiri secepat itu."
Mereka semua tertawa, mencairkan suasana. Sasa dan Shinta langsung larut dalam obrolan panjang, saling bertukar cerita tentang kehidupan setelah menikah. Shinta baru saja dikaruniai anak pertamanya, sementara Farhan sibuk mengelola bisnis kulinernya di luar kota.
Diskusi tentang Anak dan Masa Depan
Sambil menikmati kudapan, Shinta berbagi pengalamannya menghadapi kehamilan dan menjadi ibu baru. "Sas, kalau nanti anakmu lahir, kamu harus siap begadang. Apalagi ini kembar, pasti lebih seru."
Sasa tertawa kecil, meski ada sedikit kekhawatiran di matanya. "Iya, Sin. Aku sih masih belajar dari pengalaman orang lain. Tapi jujur, kadang aku takut nggak bisa jadi ibu yang baik."
Shinta menepuk tangan Sasa dengan lembut. "Nggak usah khawatir. Insting itu muncul sendiri, kok. Yang penting, jangan lupa istirahat dan jaga kesehatan. Kalau capek, jangan sungkan minta tolong Arman."Setelah membersihkan sebagian rumah dan menunaikan sholat Isya, mereka berkumpul di meja makan untuk makan malam. Suasana hangat dan akrab terasa di antara mereka. Salwa dan Rahayu telah menyiapkan hidangan sederhana namun lezat, sementara Arfan dan Sofyan membantu menata meja.
"Alhamdulillah, akhirnya bisa duduk bareng lagi," ujar Arfan sambil tersenyum.
Sofyan menimpali, "Iya, setelah seharian sibuk, rasanya nikmat banget bisa makan bareng keluarga."
Mereka mulai menyantap hidangan dengan penuh syukur. Obrolan ringan mengalir, membahas kejadian-kejadian lucu selama acara syukuran tadi. Sasa, meski terlihat lelah, ikut tertawa mendengar cerita-cerita yang dibagikan.
"Mas Arman, tadi ada tamu yang nanya resep kue yang kita sajikan. Katanya enak banget," kata Rahayu sambil tersenyum.
Arman tertawa kecil. "Wah, itu sih rahasianya Sasa. Dia yang jago bikin kue."
Sasa tersipu. "Ah, biasa aja kok. Yang penting semua tamu puas dan senang."
Setelah makan malam usai, mereka bersama-sama membereskan meja. Meskipun lelah, kebersamaan dan canda tawa membuat pekerjaan terasa ringan. Sasa merasa bersyukur memiliki keluarga dan teman-teman yang selalu mendukungnya.
Malam itu, sebelum beristirahat, Sasa dan Arman duduk berdua di teras rumah. Angin malam yang sejuk menemani mereka.
"Mas, terima kasih ya, udah selalu ada buat aku," ucap Sasa pelan.
Arman merangkul Sasa dengan lembut. "Aku juga bersyukur punya kamu, Sas. Kita jalani semua ini bersama, ya."
Dengan hati yang tenang dan penuh harapan, mereka menatap langit malam, siap menyongsong hari esok dengan semangat baru.
Farhan yang mendengar pembicaraan itu ikut menimpali. "Betul tuh, Sas. Anak itu anugerah, tapi tanggung jawabnya besar. Kalau kalian saling mendukung, semuanya pasti lancar."
Arman mengangguk setuju. "Makanya, aku selalu bilang ke Sasa, dia nggak perlu ngerasa harus sempurna. Yang penting kami jalanin semuanya bareng-bareng."
Pembicaraan mereka terus mengalir, dari cerita lucu hingga obrolan serius tentang rencana masa depan. Shinta bahkan menawarkan bantuan jika Sasa membutuhkan saran soal perawatan bayi, sementara Farhan sesekali menyisipkan humor untuk mencairkan suasana.
Akhir Acara yang Penuh Kenangan
Menjelang senja, para tamu mulai berpamitan. Rumah kecil itu kembali sepi, menyisakan kelelahan yang bercampur dengan rasa syukur. Salwa dan Rahayu membereskan dapur, sementara Arfan dan Sofyan Setelah membersihkan sebagian rumah dan menunaikan sholat Isya, mereka berkumpul di meja makan untuk makan malam. Suasana hangat dan akrab terasa di antara mereka. Salwa dan Rahayu telah menyiapkan hidangan sederhana namun lezat, sementara Arfan dan Sofyan membantu menata meja.
"Alhamdulillah, akhirnya bisa duduk bareng lagi," ujar Arfan sambil tersenyum.
Sofyan menimpali, "Iya, setelah seharian sibuk, rasanya nikmat banget bisa makan bareng keluarga."
Mereka mulai menyantap hidangan dengan penuh syukur. Obrolan ringan mengalir, membahas kejadian-kejadian lucu selama acara syukuran tadi. Sasa, meski terlihat lelah, ikut tertawa mendengar cerita-cerita yang dibagikan.
"Mas Arman, tadi ada tamu yang nanya resep kue yang kita sajikan. Katanya enak banget," kata Rahayu sambil tersenyum.
Arman tertawa kecil. "Wah, itu sih rahasianya Sasa. Dia yang jago bikin kue."
Sasa tersipu. "Ah, biasa aja kok. Yang penting semua tamu puas dan senang."
Setelah makan malam usai, mereka Wajah Baru dalam Kehidupan Sasa dan Arman
Setelah Fitri berpamitan, Sasa kembali tenggelam dalam pikirannya. Ia menatap tamu-tamu yang masih menikmati suasana syukuran di halaman belakang rumah kecilnya. Senyum kecil tersungging di wajahnya. Meskipun tubuhnya terasa lelah, ada kepuasan luar biasa yang tak bisa ia gambarkan. Kebahagiaan yang tidak hanya berasal dari dirinya sendiri, tetapi juga dari perhatian keluarga dan teman-teman dekat yang hadir hari ini.
Sementara itu, Arman terlihat tengah berbincang akrab dengan Agus dan beberapa temannya di sudut halaman. Sesekali terdengar tawa renyah dari kelompok kecil itu. Pandangannya sesekali melirik ke arah Sasa, memastikan istrinya baik-baik saja.
"Masih kuat, Sayang?" Arman akhirnya menghampiri Sasa, membawa segelas air putih dingin.
Sasa mengangguk pelan. "Alhamdulillah, masih. Tapi mungkin sebentar lagi aku mau istirahat di kamar."
Arman duduk di sampingnya, meletakkan gelas di tangan istrinya. "Minum dulu, biar seger. Kamu udah kerja keras banget hari ini."
Sasa mengambil gelas itu dan meminumnya perlahan. "Kamu juga, Mas. Dari pagi nggak berhenti bantuin ini itu."
Mereka berdua berbagi senyum hangat, tanpa banyak kata. Kadang, kehadiran saja sudah cukup untuk saling menguatkan.
Kehadiran Dua Sahabat Lama
Di tengah suasana yang mulai mereda, dua tamu yang baru datang menarik perhatian Sasa dan Arman. Mereka adalah Shinta dan Farhan, dua sahabat lama Sasa yang tinggal di luar kota. Shinta dan Sasa pernah satu kampus saat kuliah, sementara Farhan adalah teman satu kelompok kerja mereka dulu.
"Eh, Shinta! Farhan! Kok nggak bilang kalau mau datang?" Sasa langsung berdiri meski tubuhnya terasa sedikit berat.
Shinta memeluk Sasa erat. "Kejutan, dong! Masa nggak kangen sama kita?"
Farhan hanya tertawa kecil. "Iya, Sas. Kami sempat ragu, takut merepotkan. Tapi akhirnya nekat datang."
Arman menyambut mereka dengan hangat. "Wah, teman-teman Sasa ya? Silakan duduk dulu. Tadi kami pikir nggak ada yang bisa bikin Sasa berdiri secepat itu."
Mereka semua tertawa, mencairkan suasana. Sasa dan Shinta langsung larut dalam obrolan panjang, saling bertukar cerita tentang kehidupan setelah menikah. Shinta baru saja dikaruniai anak pertamanya, sementara Farhan sibuk mengelola bisnis kulinernya di luar kota.
Diskusi tentang Anak dan Masa Depan
Sambil menikmati kudapan, Shinta berbagi pengalamannya menghadapi kehamilan dan menjadi ibu baru. "Sas, kalau nanti anakmu lahir, kamu harus siap begadang. Apalagi ini kembar, pasti lebih seru."
Sasa tertawa kecil, meski ada sedikit kekhawatiran di matanya. "Iya, Sin. Aku sih masih belajar dari pengalaman orang lain. Tapi jujur, kadang aku takut nggak bisa jadi ibu yang baik."
Shinta menepuk tangan Sasa dengan lembut. "Nggak usah khawatir. Insting itu muncul sendiri, kok. Yang penting, jangan lupa istirahat dan jaga kesehatan. Kalau capek, jangan sungkan minta tolong Arman."Setelah membersihkan sebagian rumah dan menunaikan sholat Isya, mereka berkumpul di meja makan untuk makan malam. Suasana hangat dan akrab terasa di antara mereka. Salwa dan Rahayu telah menyiapkan hidangan sederhana namun lezat, sementara Arfan dan Sofyan membantu menata meja.
"Alhamdulillah, akhirnya bisa duduk bareng lagi," ujar Arfan sambil tersenyum.
Sofyan menimpali, "Iya, setelah seharian sibuk, rasanya nikmat banget bisa makan bareng keluarga."
Mereka mulai menyantap hidangan dengan penuh syukur. Obrolan ringan mengalir, membahas kejadian-kejadian lucu selama acara syukuran tadi. Sasa, meski terlihat lelah, ikut tertawa mendengar cerita-cerita yang dibagikan.
"Mas Arman, tadi ada tamu yang nanya resep kue yang kita sajikan. Katanya enak banget," kata Rahayu sambil tersenyum.
Arman tertawa kecil. "Wah, itu sih rahasianya Sasa. Dia yang jago bikin kue."
Sasa tersipu. "Ah, biasa aja kok. Yang penting semua tamu puas dan senang."
Setelah makan malam usai, mereka bersama-sama membereskan meja. Meskipun lelah, kebersamaan dan canda tawa membuat pekerjaan terasa ringan. Sasa merasa bersyukur memiliki keluarga dan teman-teman yang selalu mendukungnya.
Malam itu, sebelum beristirahat, Sasa dan Arman duduk berdua di teras rumah. Angin malam yang sejuk menemani mereka.
"Mas, terima kasih ya, udah selalu ada buat aku," ucap Sasa pelan.
Arman merangkul Sasa dengan lembut. "Aku juga bersyukur punya kamu, Sas. Kita jalani semua ini bersama, ya."
Dengan hati yang tenang dan penuh harapan, mereka menatap langit malam, siap menyongsong hari esok dengan semangat baru.
Farhan yang mendengar pembicaraan itu ikut menimpali. "Betul tuh, Sas. Anak itu anugerah, tapi tanggung jawabnya besar. Kalau kalian saling mendukung, semuanya pasti lancar."
Arman mengangguk setuju. "Makanya, aku selalu bilang ke Sasa, dia nggak perlu ngerasa harus sempurna. Yang penting kami jalanin semuanya bareng-bareng."
Pembicaraan mereka terus mengalir, dari cerita lucu hingga obrolan serius tentang rencana masa depan. Shinta bahkan menawarkan bantuan jika Sasa membutuhkan saran soal perawatan bayi, sementara Farhan sesekali menyisipkan humor untuk mencairkan suasana.
Akhir Acara yang Penuh Kenangan
Menjelang senja, para tamu mulai berpamitan. Rumah kecil itu kembali sepi, menyisakan kelelahan yang bercampur dengan rasa syukur. Salwa dan Rahayu membereskan dapur, sementara Arfan dan Sofyan Setelah membersihkan sebagian rumah dan menunaikan sholat Isya, mereka berkumpul di meja makan untuk makan malam. Suasana hangat dan akrab terasa di antara mereka. Salwa dan Rahayu telah menyiapkan hidangan sederhana namun lezat, sementara Arfan dan Sofyan membantu menata meja.
"Alhamdulillah, akhirnya bisa duduk bareng lagi," ujar Arfan sambil tersenyum.
Sofyan menimpali, "Iya, setelah seharian sibuk, rasanya nikmat banget bisa makan bareng keluarga."
Mereka mulai menyantap hidangan dengan penuh syukur. Obrolan ringan mengalir, membahas kejadian-kejadian lucu selama acara syukuran tadi. Sasa, meski terlihat lelah, ikut tertawa mendengar cerita-cerita yang dibagikan.
"Mas Arman, tadi ada tamu yang nanya resep kue yang kita sajikan. Katanya enak banget," kata Rahayu sambil tersenyum.
Arman tertawa kecil. "Wah, itu sih rahasianya Sasa. Dia yang jago bikin kue."
Sasa tersipu. "Ah, biasa aja kok. Yang penting semua tamu puas dan senang."
Setelah makan malam usai, mereka bersama-sama membereskan meja. Meskipun lelah, kebersamaan dan canda tawa membuat pekerjaan terasa ringan. Sasa merasa bersyukur memiliki keluarga dan teman-teman yang selalu mendukungnya.
bersama-sama membereskan meja. Meskipun lelah, kebersamaan dan canda tawa membuat pekerjaan terasa ringan. Sasa merasa bersyukur memiliki keluarga dan suami yang selalu mendukungnya.
setelah mereka makan malam baik orang tua Sasa mau pun orang tua Arman serta Akbar adik laki laki Sasa memilih masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat.dan suasana rumah kembali sunyi, Sasa duduk sendirian di ruang tengah. Matanya menerawang jauh, pikirannya melayang ke berbagai kenangan dan rencana masa depan. Arman yang baru selesai membereskan halaman belakang masuk ke dalam rumah, membawa dua cangkir teh hangat.
"Tehnya masih hangat, Sayang," katanya sambil meletakkan satu cangkir di depan Sasa.
Sasa tersenyum tipis. "Makasih, Mas. Hari ini rasanya campur aduk. Seneng banget, tapi capek juga. Kamu nggak capek?"
Arman duduk di sampingnya, menyesap teh sambil menggeleng pelan. "Capek sih, tapi puas. Acara tadi lancar, tamu-tamu juga kelihatan senang. Aku cuma khawatir sama kamu. Kamu terlihat banyak pikiran. Ada yang kamu pikirin, Sas?"
Sasa terdiam sesaat, lalu menghela napas panjang. "Aku seneng semua berjalan lancar, Mas. Tapi... aku nggak bisa berhenti mikirin soal anak-anak kita nanti. Mereka kembar, Mas. Dua anak sekaligus. Aku takut nggak cukup kuat buat ngurus semuanya."
Arman tersenyum lembut, lalu menggenggam tangan Sasa. "Kamu nggak perlu kuat sendirian, Sayang. Aku ada buat kamu. Kita bagi tugas, saling bantu, saling jaga. Anak-anak itu tanggung jawab kita berdua. Kamu nggak sendiri, oke?"
Sasa mengangguk pelan, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku cuma nggak mau ngecewain kamu, Mas. Kamu selalu jadi suami yang baik. Aku takut nggak cukup baik jadi istri dan ibu."
Arman menggeleng sambil menatap Sasa dalam-dalam. "Kamu sudah lebih dari cukup, Sayang. Aku bangga punya istri seperti kamu. Jangan terlalu keras sama diri sendiri, ya?"