Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.
Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.
Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.
Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 12 Buaya Buntung
Hacim!!
Sejak tadi Argha terus bersin. Tangannya terus mengucek hidungnya yang memerah. Dengan malas, ia menarik kursi dan mendudukinya.
“Sialan, kamu tidak membangunkan aku dan nyuruh pindah di kamar tamu, kek minimal,” ucap Alden yang baru saja terbangun. Pria tampan dengan pemilik smile killer itu membuka kulkas, mengambil air dingin untuk di minum.
“Kamar tamu ada yang nempatin.”
“Siapa? Artha?” tanya Alden ringan, ia mulai menenggak air minumnya.
“Calon istri.”
Uhuk uhuk!
Alden menepuk dadanya sendiri, matanya sudah merah karena tersendak. Ia meletakkan kembali botol kaca itu di kulkas. Masih tak percaya dengan apa yang dia dengar baru saja. Lantas, menarik kursi untuk ia duduki.
“Bercandanya gak lucu, Gha!”
Argha tersenyum miring, ia mulai mencentong nasi goreng masakan Inara. “Serah.”
Tatapan Alden beralih pada nasi goreng yang tersaji di meja, sedikit menggiurkan. “Bentar, sejak kapan kamu sarapan nasi?”
“Sudah dibilang, ini bukan kerjaan aku. Tapi—“
“Pak, saya masak nasi goreng, saya harap, Bapak akan menyu ….” Ucapan Inara terputus saat melihat keberadaan Alden, pria yang semalam menangis dalam pelukan Argha, ah, sial, meski melongo Alden terlihat menawan. Namun, buat apa jika pria tampan seperti itu menyukai sesama jenis. Bukan tipenya. Ia mengangguk, sopan saat tatapannya bertemu dengan iri mata cokelat Alden.
“Dia ….”
“Dia Inara. Calon istri aku. Jadi, aku harap, kamu jangan godain dia. Kalau enggak, aku pastikan, lehermu bakalan putus,” ancam Argha.
Inara membelakanan mata. Tak menyangka dengan kalimat yang baru saja Argha ucapkan. ‘Sebentar … kenapa Pak Argha belagak posesif. Ini pasti trik. Supaya aku percaya, kalau dia bukan pisang makan pisang. Atau jangan-jangan, takut jika pria ini menyelingkuhinya?’
“Boleh juga pilihanmu, tapi … sepertinya aku pernah lihat di mana ya?” Alden menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa dejavu dengan wajah Inara, mencoba mengingat-ingat lagi.
“Mantanya Artha.”
“Sialan! Abang macam apa kamu! Gha … kamu ….” Alden menuding Artha, merasa kalau sepupunya itu sudah sangat keterlaluan, lalu meremas rambutnya sendiri. setelah itu, menoleh pada Inara yang tampak bingung menatapnya. “Kamu kenapa mau sama Argha? Dia … dia harusnya jadi kakak ipar kamu, kan?”
“Mas Artha selingkuh dan—“
“Kepo! Sekarang ceritain kenapa semalam tiba-tiba datang, nangis-nangis kaya orang gila? Sampai aku dituduh penyuka sesama jenis,” sindir Argha pada Inara, membuat gadis bertubuh mungil itu menelan ludah dengan cepat,
Alden tertawa seraya memegangi perutnya. Nasib Argha memang sial kalau dalam urusan percintaan. Pun dengannya untuk kali ini. Wajah semringahnya mendadak kecut saat mengingat hal yang telah terjadi. “Intan selingkuh sama Joy Kampret. Gila, aku sibuk kerja, gak tahunya mereka malah sering check in.”
Argha tertawa lirih. Hal itu menarik perhatian Inara. Tak menyangka, Argha bisa tertawa, selama ini ia pikir bosnya itu tak tahu bagaimana cara tertawa datau tersenyum. “Playboy cap kadal kaya kamu kenapa galau hanya karena satu perempuan? Biasanya juga gonta-ganti perempuan kaya gonta-ganti celana dalam.”
“Sialan!”
“Jadi, kalian ini bukan ….” Inara buru-buru membungkam mulutnya sendiri, merasa sudah keceplosan. Ah, ia tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Mungkin Argha akan menghukumnya. Tidak. Ia tidak mau terus terjebak oleh permainan Argha.
“Dia masih ngira kamu belok, Gha. Ah, aku yakin, hubungan kalian adalah sebuah konspirasi. Kalian berdua sama-sama gila! Oh, ya. Cantik, siapa namamu tadi? Jika kamu mengira Argha belok, silakan, tapi tidak sama aku, ya. Aku ini pria tulen yang suka sama cewek cantik.” Alden mengedipkan sebelah matanya, yang kemudian mendapatkan lemparan sosis goreng di wajahnya. “Astaga, dendam amat sama aku, Gha!”
Inara meringis. Sepertinya Argha memang tidak berbohong mengenai hubungannya (Argha) dengan Alden soal mereka sepupuan. Ya, terlihat dari interaksi keduanya yang terasa alami. Hanya saja, untuk kepribadian Argha sendiri, ia masih belum yakin, mengingat pesona cewek seksi saja ditolak, kan? Pun dengan hubungannya dengan Argha, semuanya adalah bentuk dari simbiosis mutualisme.
“Nama saya Inara, Pak.”
“Oh, jangan panggil Pak, dong. Aa, atau Mas, gitu.”
“Den, tutup mulutmu!” sahut Argha yang mulai kesal karena sepupunya itu sudah mulai beraksi.
Alden tertawa terbahak-bahak, membuat Inara bingung, semalam saja Alden menangis dan tampak kacau, sekarang bisa sebahagia ini. Predikat seorang play boy memang terlihat begitu jelas.
“Inara, sepertinya Argha cemburu. Ya, seenggaknya aku senang, ada gadis yang mampu membuat dia luluh.”
“Diam, Alden!”
Alden manggut-manggut. Ia mulai mencentong nasi goreng dan mencoba tak mempermasalahkan gertakan Argha. “Aku akan diam. Dan aku harap, kamu bisa mencoba membuka diri, menerima semua kenyataan dan fokus pada diri sendiri.”
“Sepertinya aku memang harus buat mulut kamu diam untuk selamanya,” desis Argha mengancam Alden dan sepupunya itu mengangkat kedua tangannya, tanda jika ia menyerah.
‘Maksud omongannya Pak Alden apa ya? Hal apa yang membuat Pak Argha jadi seperti ini. Katanya menerima kenyataan dan fokus pada diri sendiri? memangnya selama ini ia fokus pada apa?’ batin Inara penasaran.
“Inara, lekas makan. Setelah ini, kita harus ke rumah sakit untuk periksakan kaki kamu itu,” titah Argha.
“Ba-baik, Pak.”
Alden cekikikan. Inara dan Argha kompak menoleh ke arahnya.
“Panggilnya, Pak. Aduh, berasa menikahi bocil gak, tuh,” cibir Alden yang kini mulai menikmati nasi goreng buatan Inara. “Btw, nasi gorengnya enak.”
Usai makan, Alden mengedarkan pandangannya pada ruangan. “Aku numpang mandi dan ganti baju. Pake bajumu ya, Gha.”
“Next, kamu gak boleh nginep di sini. Gak sopan,” kata Argha dengan dingin. Inara sendiri fokus untuk membereskan bekas makan mereka.
“Lah, malah kalau aku gak di sini, bahaya. Kalian berdua bisa—“
“Aku peringatkan sekali lagi buat kamu, Alden. Kalau enggak dengar, akan kupastikan kamu akan—“
“Oke.” Alden mengangkat kedua tangannya. “Sekarang aku numpang mandi. Pagi ini ada meeting.”
“Meeting apaan di hari Minggu?”
Alden tersenyum penuh dengan kemenangan. “Meeting ama cewek,” jawabnya sambil mengedipkan mata.
“Dasar Buaya Buntung!”
Alden tertawa, ia tak menggubris ucapan Argha dan memilih untuk pergi ke kamar sepupunya itu.
Inara menggelengkan kepala. Dari Alden, Argha dan Artha, mereka memiliki ciri khas sendiri-sendiri. Ketiganya juga memiliki sisi unik yang tersendiri. Hanya saja, ia masih sakit hati dengan penghianatan Artha. Ternyata, semua pria sama saja. Buaya. Hanya saja, Argha sangat berbeda. Sejak mendengar ucapan Alden tadi, ia sedikit merasa ada yang tidak beres dengan atasannya itu. Ia yakin, Argha orang normal. Lantas, apa yang membuat Argha tak tertarik dengan wanita? Maksudnya, kenapa Argha menutup diri.
“Hey, nyuci piring jangan sambil bengong!” tegur Argha membuat Inara berjengit.
“Eh, i-iya, Pak.”
Argha bangkit dari duduknya, menuju ke Inara, membuat gadis yang mengkuncir kuda rambutnya itu menelan ludah secara perlahan. Ia mengambil alih piring yang Inara bawa.
“Duduk saja, biar saya yang nyuci piring, kamu kebanyakkan berdiri, nanti kakinya gak sembuh-sembuh.”
Mata Inara mengerjab beberapa kali. ‘Gue enggak salah dengar, kan?’
“Kenapa bengong?”
“Ah .. ti-tidak, Pak. Tidak perlu. Biar saya saja. Saya enggak kenapa-kenapa, kok. Kakinya sudah mendingan.”
“Udah, jangan bawel. Duduk di sana,” titah Argha. Kalimatnya selalu mendominasi, membuat Inara menurut dan mengangguk. “Jangan panggil Pak kalau kita sedang berdua atau di tempat umum. Panggil Pak-nya kalau di kantor saja.”
“Terus, saya manggilnya apa?”
Argha menghela napas. Ia memfokuskan diri pada piring yang ia cuci. “Mas juga gak papa.”
Pipi Inara langsung merona, seakan ada rasa panas yang memenuhi. Ia memalingkan wajahnya, lantas mengangguk. “I-iya, Mas.”
Pun dengan Argha. Telinganya langsung memerah. Pipinya juga terasa panas. Ia berdeham untuk mencoba menghilangkan barang buktinya. “Duduk.”
“Iya, Mas.”