Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengungkapkan perasaan dengan cara Filsafat!
Pagi itu, Bayu merasa tidak bisa lagi menunda-nunda perasaan yang telah lama terpendam. Ia sudah membicarakan hal ini dengan teman-temannya, berpikir tentang filsafat, dan memahami konsep kebebasan serta tanggung jawab. Tetapi satu hal yang selalu ada dalam benaknya—apa yang harus dia lakukan setelah semua pemikiran itu?
Bayu menyandarkan diri di meja belajarnya, menatap langit yang cerah di luar jendela, berpikir sejenak. Saat itu, dia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang mungkin terasa aneh bagi kebanyakan orang. Seperti halnya filsuf-filsuf besar yang sering kali menjelaskan kehidupan dengan kata-kata yang rumit dan filosofis, Bayu ingin mengungkapkan perasaannya terhadap Rara dengan cara yang sama.
"Socrates pernah bilang, 'Kenalilah dirimu sendiri.' Tapi... kenalakah aku, Rara?" gumam Bayu pada dirinya sendiri.
Sudah beberapa hari sejak pertemuan di kantin dengan teman-temannya, dan semakin Bayu mencoba untuk mengerti dirinya, semakin jelas bagi Bayu bahwa perasaan terhadap Rara bukanlah sesuatu yang bisa dia hindari. Namun, kebingungannya masih ada. Mungkin, ini adalah jalan yang harus dia tempuh. Begitu banyak pertanyaan yang menghinggapi kepalanya, tetapi satu hal yang pasti: dia tidak bisa melanjutkan hidup dengan ketidakpastian ini.
Bayu sudah memutuskan. Hari ini, dia akan memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya, meskipun dengan cara yang mungkin terdengar agak... aneh.
Rara sedang duduk di taman kampus, menatap ponselnya dengan wajah sedikit bingung. Tiba-tiba, Bayu datang dan duduk di sebelahnya, tampak lebih serius dari biasanya.
"Rara, gue... ada yang mau gue omongin," kata Bayu dengan suara yang sedikit ragu. Meskipun dalam hati dia merasa sudah cukup siap, kata-kata itu tetap saja terasa berat di lidahnya.
Rara menoleh, tampaknya sedikit terkejut. "Oh, iya? Ada apa, Bayu?" tanyanya, mencoba tersenyum.
Bayu menghela napas panjang. "Gue tau, mungkin ini aneh banget, tapi gue udah memikirkan ini beberapa hari ini. Gue rasa... gue harus ngomong." Dia mencoba merapikan kata-katanya, namun malah semakin bingung.
Rara menatapnya dengan penuh perhatian, mencoba menunggu lebih sabar.
Bayu merasa seperti sebuah beban yang berat di dadanya, tetapi ia sudah siap. "Rara, gue merasa seperti... dalam kehidupan ini, kita sering kali terjebak dalam ilusi kebebasan, seperti yang dikatakan oleh Sartre. Kita diberi kebebasan untuk memilih, tapi sering kali kita terjebak dalam ketakutan yang membuat kita tidak bisa bergerak maju."
Rara hanya bisa melongo, tidak mengerti sepenuhnya apa yang Bayu maksudkan. Wajahnya menunjukkan kebingungan yang jelas. "Hah?" jawabnya, sedikit terkejut.
Bayu merasa sedikit canggung, tapi tetap melanjutkan, meskipun kata-katanya terdengar lebih rumit daripada yang ia inginkan. "Lo tau, dalam hidup ini, kita sering kali merasa terjebak oleh ekspektasi orang lain atau oleh diri kita sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Plato, kita sering kali hidup dalam bayangan dunia nyata, dunia ide. Kita melihat dunia ini dengan cara yang terbatas, dan kadang kita tidak bisa keluar dari bayangan itu."
Rara mengerutkan keningnya. “Bayu, lo ngomong apa sih? Maksud lo, lo ngerasa... terjebak dalam dunia bayangan atau gimana?”
Bayu merenung sejenak, berpikir seolah-olah ia sedang menyusun kalimat filsafat berikutnya. “Iya, itu dia. Gue merasa seperti... gue hidup dalam bayangan perasaan gue sendiri. Dan saat lo ada di depan gue sekarang, gue sadar kalau... mungkin gue nggak perlu lagi terjebak dalam bayangan itu. Gue harus menghadapinya, meskipun... meskipun itu menakutkan. Seperti kata Stoikisme, ‘Kita tidak bisa mengontrol apa yang terjadi, tapi kita bisa mengontrol reaksi kita.’”
Rara menatap Bayu, semakin bingung. "Bayu... maksud lo, lo suka sama gue?" tanyanya, kali ini dengan suara yang lebih pelan, seolah-olah takut salah dengar.
Bayu menatap matanya, mencari-cari kata-kata yang tepat. “Iya, Rara... Gue nggak bisa menjelaskan kenapa, tapi gue sadar kalau... perasaan gue lebih dari sekadar kebetulan. Itu bukan hanya reaksi impulsif. Gue rasa, ini bagian dari kebebasan yang gue cari. Tapi, gue tahu bahwa gue juga harus siap menerima konsekuensi dari perasaan ini.”
Rara menatapnya dengan mulut sedikit terbuka. “Bayu... lo beneran ngomong itu sekarang? Lo suka sama gue?”
Bayu mengangguk pelan. “Iya. Gue nggak bisa lagi menahan diri, Rara. Gue sadar kalau perasaan ini bukan ilusi atau sekadar penipuan diri sendiri. Gue memang suka sama lo, dan gue siap menghadapi segala konsekuensinya, seperti yang dikatakan oleh Epictetus, ‘Kita hanya memiliki kontrol atas diri kita sendiri, dan itulah yang harus kita lakukan.’ Gue nggak bisa hidup dengan ketakutan, Rara. Gue harus memilih untuk jujur dengan perasaan ini, meskipun itu sulit.”
Rara masih terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Bayu, yang merasa kata-katanya seperti datang begitu saja, hanya menunggu reaksi Rara. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa dirinya benar-benar mengungkapkan apa yang ia rasakan, meskipun dengan cara yang sangat... tidak biasa.
“Jadi... lo suka sama gue, ya?” Rara akhirnya bertanya lagi, memastikan dirinya.
Bayu mengangguk dengan tegas. “Iya, Rara. Gue suka sama lo. Gue nggak bisa ngelawan perasaan itu lagi.”
Rara terdiam beberapa detik, tampaknya mencerna semua kata-kata Bayu. Kemudian, dia mulai tersenyum lebar. “Wow, Bayu... Gue nggak nyangka lo bakal ngomong kayak gitu. Tapi, kalau lo ngomong pake kata-kata filsafat gitu, gue malah bingung. Tapi ya, gue juga suka sama lo, Bayu.”
Bayu terkejut. “Lo suka sama gue?”
Rara mengangguk, kini dengan senyum yang lebar. “Iya, gue suka sama lo, Bayu. Gue cuma... nggak tahu lo bakal ngomong apa, dan lo malah bikin gue bingung dengan filsafat lo yang berat banget itu.”
Bayu menghela napas lega. “Gue... nggak tahu harus bilang apa. Gue cuma tahu gue harus jujur dengan perasaan gue. Gue nggak bisa terus-terusan hidup dengan kebingungan ini.”
Rara tertawa ringan. “Ya udah, nggak apa-apa. Gue ngerti kok, Bayu. Tapi lo harus lebih gampang ngomongnya, ya. Lo nggak perlu pakai semua kata-kata filsafat itu.”
Bayu tersenyum kaku. “Ya, gue akan berusaha.”
Di bawah langit kampus yang cerah itu, Bayu merasa sebuah beban yang sangat berat di hatinya mulai terangkat. Meskipun cara yang digunakannya untuk mengungkapkan perasaan sangat berbeda, setidaknya ia sudah melakukannya. Kini, ia bisa melihat dunia ini dengan lebih jelas, tanpa bayangan yang menghalangi. Dan yang lebih penting lagi, ia tahu bahwa Rara pun memiliki perasaan yang sama.
Tapi, entah mengapa, meskipun ia merasa lega, perasaan itu tetap membelenggunya dalam cara yang baru.