Shin adalah siswa jenius di Akademi Sihir, tapi ada satu masalah besar: dia nggak bisa pakai sihir! Sejak lahir, energi sihirnya tersegel akibat orang tuanya yang iseng belajar sihir terlarang waktu dia masih di dalam kandungan. Alhasil, Shin jadi satu-satunya siswa di Akademi yang malah sering dijadikan bahan ejekan.
Tapi, apakah Shin akan menyerah? Tentu tidak! Dengan tekad kuat (dan sedikit kekonyolan), dia mencoba segala cara untuk membuka segel sihirnya. Mulai dari tarian aneh yang katanya bisa membuka segel, sampai mantra yang nggak pernah benar. Bahkan, dia pernah mencoba minum ramuan yang ternyata cuma bikin dia bersin tanpa henti. Gagal? Sudah pasti!
Tapi siapa sangka, dalam kemarahannya yang memuncak, Shin malah menemukan sesuatu yang sangat "berharga". Sihir memang brengsek, tapi ternyata dunia ini jauh lebih kacau dari yang dia bayangkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ujian tak terduga
Matahari pagi menyinari halaman utama Akademi Sihir. Para siswa berkumpul dengan berbagai ekspresi—ada yang tegang, ada yang bersemangat, dan tentu saja, ada Shin, yang berdiri di sudut dengan tangan terlipat sambil menguap lebar.
"Gue nggak ngerti," gumamnya, "kenapa setiap kali ujian, mereka selalu bikin kayak kita bakal mati beneran. Nggak bisa gitu, bikin ujian yang damai? Kayak lomba masak sihir, misalnya."
Leo yang berdiri di sebelahnya menghela napas. "Shin, ujian ini penting untuk menunjukkan kemampuan kita bertahan hidup. Jangan bercanda terus."
"Gue nggak bercanda," jawab Shin sambil menoleh. "Kalau masak, gue pasti menang. Nasi gosong gue tuh legendaris."
Sebelum Leo bisa merespons, suara bel nyaring menggelegar di seluruh halaman. Miss Belina, dengan aura yang penuh wibawa seperti biasanya, melangkah ke depan. Wajahnya serius, matanya memindai setiap siswa dengan tajam.
"Selamat pagi, siswa-siswa terhormat. Hari ini kalian akan menghadapi ujian yang menentukan kemampuan kalian bertahan dalam situasi darurat. Ujian kali ini tidak hanya menguji kekuatan fisik, tetapi juga kecerdasan, keberanian, dan kerja sama tim."
Shin menyandarkan punggungnya ke tembok dan mendengus. "Blah blah blah, kayaknya ini cuma alasan buat bikin kita sengsara."
Leo memandangnya dengan tajam. "Shin, tolong serius sedikit."
Miss Belina melanjutkan, "Untuk ujian kali ini, kalian akan dikirim ke Labirin Mimpi, sebuah ruang sihir di mana setiap kelompok akan menghadapi tantangan berbeda. Tujuan kalian sederhana: keluar dari labirin dalam waktu satu jam. Ingat, segala sesuatu di dalam labirin bersifat ilusi, tapi rasa sakit dan ketakutannya nyata. Jadi, berhati-hatilah."
Shin terdiam sejenak, lalu mengangkat alis. "Labirin? Jadi kita kayak tikus percobaan, gitu?"
Leo menahan diri untuk tidak memukul kepala Shin. "Shin, lo bener-bener nggak punya rasa takut, ya?"
"Ada sih," jawab Shin santai. "Gue takut ujian ini ngabisin waktu makan siang gue."
Murid-murid kemudian diminta membentuk kelompok. Shin dan Leo, yang sudah otomatis menjadi pasangan sejak awal, dipanggil pertama kali. Sebuah portal besar muncul di depan mereka, memancarkan cahaya biru yang berputar-putar.
"Silakan masuk," perintah Miss Belina.
"Yah, masuk aja deh. Kalau gue mati di dalam, lo tanggung jawab ya, Leo," ujar Shin sambil melangkah santai ke dalam portal.
Begitu masuk, suasana berubah drastis. Mereka berada di tengah-tengah labirin dengan dinding tinggi berwarna emas, penuh dengan simbol-simbol sihir yang bergerak seperti hidup. Udara di sekitar mereka dingin, dan suara gemuruh samar terdengar dari kejauhan.
"Wow, tempat ini keren juga," ujar Shin sambil menyentuh salah satu dinding. "Kayak kamar mandi raja."
Leo menghela napas panjang. "Kita harus fokus. Cari jalan keluar sebelum waktunya habis."
Mereka mulai berjalan menyusuri lorong-lorong labirin. Awalnya, semuanya terlihat normal, hingga tiba-tiba mereka sampai di persimpangan dengan tiga jalan. Di depan setiap jalan, ada patung yang berbicara.
"Untuk melewati jalan ini," kata patung pertama, "kalian harus memecahkan teka-teki."
Patung kedua berkata, "Di jalan ini, kalian akan menghadapi rintangan fisik yang menantang."
Dan patung ketiga berkata, "Jalan ini penuh dengan ilusi yang bisa membuat kalian gila."
Shin menggaruk kepala. "Pilihan yang bagus banget, ya. Apa nggak ada jalan yang isinya cuma piknik?"
Leo berpikir sejenak. "Kita pilih teka-teki saja. Itu lebih logis dan... relatif aman."
"Teka-teki?" Shin mengerutkan dahi. "Lo yakin? Gue ini jenius, tapi kalau soal teka-teki, otak gue suka loading."
Meskipun ragu, mereka memutuskan masuk ke jalan teka-teki. Begitu masuk, mereka dihadapkan pada papan besar dengan tulisan yang bersinar:
"Aku ada di pagi, sore, dan malam. Tapi aku tidak pernah terlihat. Apa aku?"
Shin membaca teka-teki itu dengan alis berkerut. "Hah? Ini pertanyaan macam apa? Apa ini semacam jebakan filosofis?"
Leo berpikir keras. "Ini pasti sesuatu yang abstrak... sesuatu yang selalu ada tapi tidak terlihat..."
Shin tiba-tiba menunjuk ke papan itu dengan penuh keyakinan. "Gue tahu jawabannya!"
Leo menoleh dengan harapan. "Apa itu?"
"Udara. Karena lo nggak bisa lihat udara, kan?"
Tiba-tiba dinding mulai bergemuruh, dan papan itu mengeluarkan suara keras. "Salah!"
"Shin!" Leo memarahi. "Lo nggak pikir dulu sebelum jawab?"
"Eh, gue cuma coba-coba, siapa tahu bener!" Shin mengangkat bahu, tampak tidak terlalu peduli.
Dinding di sekitar mereka mulai bergerak, mempersempit ruang. Leo segera berteriak, "Waktu kita hampir habis! Jawaban yang bener pasti 'bayangan'!"
Papan itu kembali bersinar, dan dinding berhenti bergerak. Jalan di depan mereka terbuka.
Leo menatap Shin dengan tajam. "Lain kali, tolong jangan asal jawab!"
Shin hanya tertawa. "Hei, hidup ini tentang mencoba, Bro. Gue cuma eksperimen."
Mereka melanjutkan perjalanan, menghadapi lebih banyak tantangan absurd, seperti harus menari di atas lingkaran sihir untuk membuka pintu, atau menghindari jebakan berupa bola raksasa yang berguling di lorong. Sepanjang waktu, Shin terus bertingkah konyol, tetapi secara tidak sengaja, dia justru membantu mereka lolos dari berbagai bahaya.
Ketika akhirnya mereka keluar dari labirin, Miss Belina menyambut mereka dengan ekspresi datar. "Selamat, kalian berhasil. Meskipun... entah bagaimana caranya."
Shin tersenyum lebar. "Gampang, kok, Miss. Otak jenius kayak gue nggak bisa dikalahin."
Leo memutar matanya. "Dia cuma beruntung, Miss."
Miss Belina hanya menggelengkan kepala. "Kalian lulus ujian, tapi ingat, ini baru awal. Tantangan ke depan akan jauh lebih sulit."
Shin mengangkat bahu sambil tertawa. "Santai aja, gue udah biasa hidup susah. Tantangan kecil mah nggak ngaruh."
Leo menepuk dahinya. "Kadang gue nggak ngerti kenapa gue mau jadi partner dia."