Delvia tak pernah menyangka, semua kebaikan Dikta Diwangkara akan menjadi belenggu baginya. Pria yang telah menjadi adik iparnya itu justru menyimpan perasaan terlarang padanya. Delvia mencoba abai, namun Dikta semakin berani menunjukkan rasa cintanya. Suatu hari, Wira Diwangkara yang merupakan suami Delvia mengetahui perasaan adiknya pada sang istri. Perselisihan kakak beradik itupun tak terhindarkan. Namun karena suatu alasan, Dikta berpura-pura telah melupakan Delvia dan membayar seorang wanita untuk menjadi kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Astuty Nuraeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memohon untuk hal yang mustahil
Bagi Tofa dan Sari, hari ini adalah hari yang penuh dengan kejutan. Belum hilang kekagetan mereka setelah mengetahui fakta jika Delvia telah menikah dan bukan dengan Dikta, kini mereka kembali di buat terkejut setelah Dikta memberi tahu mereka jika pria yang Delvia nikahi adalah kakak kandung Dikta sendiri.
Sari memegangi kepalanya dengan kedua tangan, otak mungilnya terlalu lemah untuk mencerna kisah rumit yang di alami oleh kedua temannya. "Jadi maksudmu, Delvia sekarang adalah kakak iparmu mas?" Sari bertanya dengan suara bergetar, gadis itu benar-benar syok.
"Hem," Dikta hanya bergumam pelan.
"Astaga, rumit sekali hubungan kalian," sambung Sari yang ikut merasa frustrasi.
"Berarti dia memang bukan jodohmu. Percayalah, seseorang pasti sedang menunggumu di luar sana," ucap Tofa memberi nasihat, dia ikut prihatin atas apa yang terjadi pada hubungan Dikta.
Dikta mengulas senyum, menerima nasihat Tofa dan merasa bersyukur karena memiliki teman-teman yang peduli padanya. Sayangnya kali ini Dikta akan mengecewakan teman-temannya karena Dikta berniat untuk tidak menerima kenyataan pahit, pria itu masih sangat yakin jika Delvia adalah takdirnya.
Segala cara Dikta lakukan agar bisa dekat dengan Delvia. Seperti kejadian ban kempes, semua itu adalah bagian dari rencananya. Setelah bertemu dengan teman-temannya, Dikta kembali melakukan aksinya. Kali ini Dikta beralasan sakit dan tidak sanggup mengendarai sepeda motor sehingga dia meminta bantuan Delvia untuk menjemputnya.
Mendengar Dikta sakit, tanpa pikir panjang Delvia segera menjemput Dikta di rumah sakit. Dari kejauhan Delvia melihat Dikta duduk di lobby, gadis itu segera memarkirkan mobilnya dan berlari menghampiri Dikta. "Kamu baik-baik saja mas?" tanya Delvia cemas. Tanpa sadar dia melupakan niatnya untuk menghindari Dikta. Akal sehatnya tak bekerja dengan baik saat Dikta menelfonnya dengan suara parau, seperti orang yang sedang menahan sakit.
Dalam keadaan tertunduk, Dikta mengulas senyum. Lalu saat kepalanya mendongak, senyum itu hilang dan berganti ekspresi menyedihkan. "Maaf merepotkanmu," ucapnya lemas.
"Mana yang sakit? Apa sudah berobat?" Delvia semakin panik saat melihat bibir Dikta memucat.
"Dadaku terasa sesak, aku hampir tidak bisa bernafas," tanpa izin, Dikta meraih tangan Delvia dan membawanya ke dada, seolah ingin memberi tahu Delvia jika ada sesuatu yang tidak beres dengan hatinya.
Anehnya Delvia justru merasakan detak jantung Dikta yang berpacu dengan cepat. Hal tersebut semakin membuat Delvia panik. "Sebaiknya kita ke UGD mas, jantungmu berdetak terlalu cepat!"
"Aku hanya ingin istirahat di rumah. Tolong bawa aku pulang," jawab Dikta dengan sorot memelas, pria itu juga masih mempertahankan tangan Delvia di dadanya.
"Kamu yakin baik-baik saja?" Delvia kembali memastikan.
"Hem!"
Dengan perbedaan tinggi badan yang cukup jauh, Delvia kewalahan saat memapah Dikta menuju mobil, untung saja mobilnya terparkir tak terlalu jauh sehingga dia tidak terlalu mengeluarkan tenaga. Setelah memastikan Dikta duduk dengan nyaman, Delvia segera menyusul masuk ke dalam mobil, dia harus cepat-cepat membawa Dikta pulang. Delvia menatap Dikta sejenak, ingin memastikan sekali lagi jika Dikta tidak perlu menemui dokter. "Kamu yakin tidak ingin di periksa oleh dokter?"
Dikta menoleh dengan sorot yang begitu bahagia karena Delvia begitu perhatian padanya. "Hem, aku hanya ingin pulang bersamamu!"
Delvia memacu kendaraannya dengan kecepatan sedang, meski ingin segera tiba di rumah, namun dia tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk. Sesekali Delvia melirik Dikta yang duduk di sampingnya, memastikan jika pria itu baik-baik saja.
"Aku baik-baik saja, fokus saja pada jalan!" pesan Dikta menahan senyum, sangat menyenangkan melihat Delvia cemas karenanya.
Perjalanan rumah sakit menuju rumah tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu sekitar 30 menit saja. Begitu sampai di rumah, Delvia kembali membantu Dikta turun dari mobil dan memapah pria itu masuk ke dalam rumah. Beruntung sore itu kedua orang tua Dikta tidak berada di dalam rumah sehingga Delvia tidak perlu menjelaskan apa yang terjadi.
Di depan kamar, Delvia sempat ragu, dia merasa kurang pantas masuk ke dalam kamar adik iparnya. Namun suara rintihan lirih yang keluar dari mulut Dikta membuat Delvia mengabaikan antara pantas dan tidak.
Kamar bernuansa putih menyambut mereka, menjadi saksi bagaimana Dikta berhasil membawa Delvia masuk ke dalam kamarnya. Bahkan tanpa Delvia sadari, Dikta telah mendorong pintu dengan kakinya sehingga pintu kembali tertutup, kini mereka berada di tempat yang tak seharusnya mereka masuki bersama.
Dikta memainkan perannya dengan apik, dia kembali memasang wajah lesu agar menarik simpati Delvia. "Terima kasih," ucap Dikta setelah Delvia membantunya berbaring di ranjang.
"Apa kamu butuh sesuatu?" tanya Delvia menunjukkan perhatiannya.
"Ya!" Dikta mengangguk.
"Apa yang kamu butuhkan?"
"Kamu!"
"Istirahatlah, panggil aku kalau kamu butuh sesuatu," Delvia hendak pergi saat tiba-tiba Dikta menarik tangannya. Tarikan Dikta yang begitu kuat membuat tubuh mungil Delvia jatuh tepat di atas tubuh Dikta. Untuk seperkian detik keduanya membeku, menatap satu sama lain tanpa berkedip. Jarak yang begitu dekat membuat mereka merasakan detak jantung masing-masing.
"Aku sangat mencintaimu, tidak bisakan kamu memberikan kesempatan lain padaku," ucap Dikta memohon. Tatapan elangnya tampak kelam, namun terlihat jelas keputusasaan di dalamnya.
"Aku..." entah apa yang terjadi, tiba-tiba Delvia gagap, kepalanya di penuhi pernyataan cinta dari adik iparnya. Terkesan gila memang, namun ada saatnya manusi tidak bisa menyingkronkan hati dan otak meraka.
"Aku akan menunggumu!"
Jantung Delvia semakin memacu hingga dadanya terasa akan jebol. Bersusah payah Delvia mengendalikan diri, jika apa yang terjadi sekarang sangatlah tidak benar. "Aku harus pergi," lirih Delvia, dia mencoba bangkit, namun dia tak bisa beranjak, entah sejak kapan Dikta mendekapnya tubuhnya. "Mas, aku mohon!" Delvia begitu putus asa, dia memohon dengan mata berkaca-kaca.
"Jangan menangis," Dikta akhirnya menemukan kelemahannya, melihat genangan air di pelupuk mata Delvia membuat hatinya tersayat, rasanya lebih menyakitkan dari pada melihat Delvia menikah dengan pria lain. Perlahan Dikta melepaskan pelukannya, membiarkan Delvia melepaskan diri darinya. Kali ini Dikta memang berhasil membawa Delvia masuk ke dalam kamarnya, namun pada akhirnya Dikta harus membiarkan Delvia pergi meninggalkannya. "Maaf!"
Ry dukung Dikta tunggu jandanya Delvi
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Dikta yg sll ada buat Dy
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Dikta yg sll ada bersamanya bkn suaminya
Lagian suaminya sibuk selingkuh sesama jenis
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Suami mana peduli
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Devi di datangi pelakor yg merebut ayah nya lagi
Om ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
jangan sampai Dikta terjerat oleh Hera
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Om ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan