NovelToon NovelToon
Sisa Rasa Rosa

Sisa Rasa Rosa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:522
Nilai: 5
Nama Author: Noey Ismii

Rosa kembali ke Bandung setelah enam tahun menghindari Papa dan Rama, Kakaknya. Selain kembali beradaptasi dengan sekolah baru dan menguatkan hatinya untuk bertemu Rama, Rosa juga dikejutkan dengan kedatangan Angkasa. Kakak kelasnya yang adalah anggota geng motor
Perasaannya dibuat campur aduk. Cinta pertamanya, kebenciannya pada Rama dan Papa, juga rasa kehilangan yang harus kembali dia rasakan.
Apakah Rosa bisa melaluinya? Apakah Rosa bisa mengembalikan perasaan damainya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noey Ismii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

UKS

Hari ini mereka belajar passing. Masing-masing berhadapan berpasangan. Rosa menatap cewek di depannya. Dia segera mencelos. Di depannya ada Zihan yang tersenyum sangat manis. Tapi Rosa melihatnya seperti ajakan perang.

Seminggu ini, Rosa terlalu fokus mengerjakan soal dan kuis-kuis. Jadi Zihan lebih sering telat sedetik untuk menjawab pertanyaan. Tapi gadis itu sudah tahu kekurangan Rosa. Olahraga.

Dan Zihan, sejak Rosa masuk, jadi sangat suka pelajaran olahraga.

Sudut mata Rosa menangkap pergerakan Angkasa. Membuatnya tidak fokus dengan kedatangan bola yang sengaja dilempar dengan tenaga yang lebih besar itu. Dengan keras bola itu tepat mengenai kening Rosa. Dia berteriak dan langsung terduduk.

Zihan juga berteriak, dia tidak menyangka lemparannya akan langsung mendarat di wajah Rosa. “Rosa ya ampun, maaf,” dia belari mendekati Rosa.

Semua murid sekelas langsung menghentikan lemparan mereka. Pak Dadi menghampiri Rosa.

Gadis itu sedang menunduk dengan tangan memegangi hidungnya. Bella dan Najwa langsung pucat.

“Rosa mimisan, Pak,” lapor Bella.

Pak Dadi baru akan mengajak Rosa ke UKS saat Angkasa tiba-tiba menyeruak diantara murid kelas X-3. Tatapannya langsung tertuju pada

Rosa yang masih menunduk, tidak sempat mencerna apa yang terjadi saat suara Angkasa terdengar dari sampingnya.

“Ayo ke UKS, Rosa,” ajaknya.

“Angkasa!” Suara Pak Dadi menggelegar.

Menghentikan setiap suara.

Angkasa berdiri, “Darurat ini, Pak, biar saya yang bawa Rosa ke UKS,” katanya bernegosiasi.

“Najwa dan Danish, antar Rosa ke UKS. Yang lainnya lanjutkan pelajaran. Dan kamu, kalau bukan bagian kelas ini keluar dari lapangan!” perintah Pak Dadi tegas.

Tidak ada yang bersuara lagi setelah mendengar gelegar suara Pak Dadi. Angkasa memamerkan senyumnya kemudian berbalik. Mengikuti Rosa yang dipapah Najwa. Danish mengikuti sambil menjaga.

Rosa tidak bisa bereaksi lagi. Dia mengikuti langkah Najwa masuk ke UKS. Kemudian duduk di salah satu dari tiga ranjang besi yang berjajar di ruangan dingin itu. Ada Bu Riska yang berjaga.

Beliau langsung memberikan kasa untuk menyumbat hidungnya yang masih berdarah.

Hidungnya langsung mencium bau obat saat kain kasa itu masuk ke lubang hidung kirinya.

“Kalian masuk lagi lapangan. Ada Bu Riska yang nemenin Rosa di sini,” kata Pak Dadi yang juga mengikuti mereka ke UKS.

Mau tak mau Najwa mengangguk. Dia memandang Rosa meminta persetujuan, Rosa mengangguk.

Najwa dan Danish kembali mengikuti Pak Dodi yang berjalan keluar setelah menitipkan Rosa pada Bu Riska.

“Kena bolanya di hidung banget?” tanya Bu Riska.

Rosa menggeleng, “Kena kepala, Bu, terus tiba-tiba hidung jadi panas,” jawabnya.

Bu Riska segera memeriksa kening Rosa. Melihat keningnya yang juga memerah. “Kenceng banget ini lemparnya,” komen Bu Riska.

Dalam hati Rosa mengiyakan, karena rasanya sakit sekali, kalau bukan karena kaget hidungnya mimisan. Dia pasti sudah menangis.

Tangan Bu Riska dengan cekatan mengambil handuk kecil, menuangkan air panas dari dispenser ke dalam wadah kecil, menambahkan air dingin kemudian mencelupkan handuk itu kedalamnya. Bu Riska kembali ke dekat Rosa kemudian memberikan handuk hangat itu padanya.

Rosa menerimanya kemudian mengompreskan pada keningnya yang berdenyut.

“Buka aja sepatunya, kamu istirahat dulu sebentar,” kata Bu Riska sambil memberikan selimut.

Rosa hanya mengangguk. Tangannya sekarang membuka sepatu, mengambil selimut, dan memposisikan dirinya agar bisa nyaman duduk disana. Hidungnya tidak panas lagi sekarang. Dia coba mengeluarkan kasa tadi. Sudah tidak ada darah lagi. Rosa bernapas lega.

Sambil masih memegangi kompresan di keningnya, Rosa mengingat lagi kejadian tadi.

Zihan mungkin kesal karena seminggu ini dia kalah cepat, tapi dia tidak akan dengan sengaja melemparnya dengan keras. Dialah yang tidak fokus. Rosa tadi sedang melirik pada Angkasa.

Lagian ngapain sih diem liatin orang kayak gitu? Ngapain juga ngomong gitu ke Pak Dadi? Ish!

Rosa merasa kesal dalam hati.

“Lo gak apa-apa?” tanya suara Angkasa mengagetkan Rosa.

Dia terhenyak dari lamunannya. Kepalanya berputar mencari Bu Riska, tapi wanita berkerudung itu tidak terlihat di manapun.

“Bu Riska bilang mau ke ruang guru dulu. Lo gak denger tadi?”

Rosa menggeleng. Dia bangun untuk duduk.

Angkasa mengambil kursi kemudian duduk di pinggir tempat tidur besi. “Lo gak apa-apa?” tanyanya sekali lagi.

Kepala Rosa menggeleng pelan, “Mimisannya udah berhenti. Kepala aku kayaknya gak benjol juga,” katanya. Tangannya meraba kening.

Tangan Angkasa terulur, menyibakkan poni tipis yang menutupi keningnya, kemudian mengusap bekas kemerahan disana. “Pasti sakit,” katanya pelan.

Seketika Rosa kehilangan napasnya, dia mundur sedikit. Wajahnya terasa memanas.

Angkasa segera menyadari apa yang sudah dilakukannya tanpa sadar itu. Tadi saat melihat Rosa yang terkena bola, dia tidak bisa berpikir jernih. Rosa bisa saja cedera. Jadi untuk memastikan Rosa aman dia segera menghampirinya. Dia bahkan lupa kalau Pak Dadi itu guru yang tidak pernah mentolerirnya.

Jadi dia mengikuti Pak Dadi dan menunggu di luar UKS sambil memikirkan apa yang sedang dilakukannya sekarang. Seminggu ini Rosa tidak terlihat. Dia sadar itu karena apa yang terjadi di pagi hari itu. Tapi yang tidak dia mengerti adalah dirinya yang uring-uringan tak jelas. Dia juga belum meminta nomor gadis itu, sesalnya.

“Kenapa lo terus menghindari gue semingguan ini?” tanyanya kemudian. Matanya menatap lurus pada mata cokelat Rosa, cokelat terang. Cantik banget, puji Angkasa dalam hati.

Tanpa sadar Rosa menggigit bibir dalamnya. Dia tahu Angkasa akan bertanya tentang ini. Jadi, pikir Rosa, dia tidak bisa mengarang alasan.

“Karena pagi itu bikin malu banget, Kak. Kalian gak sadar jadi tontonan gitu?”

Angkasa mengangguk, “Sorry, ya,” katanya tulus. “Lo pasti jadi gak nyaman. Apalagi Sabila datang tiba-tiba gitu. Lo gak diapa-apain, kan? Dia baik, kok,” katanya lagi. Suaranya lembut membuat Rosa mengangguk.

“Aku kira bakal dimarahin Kak Sabila kayak di novel-novel. Dari yang aku baca kakak kelas pasti galak-galak,” Rosa membeberkan perasaannya saat melihat Sabila.

Tawa kecil Angkasa terdengar, “Kebanyakan baca novel sih. Kenyataan gak gitu juga, Sa.”

“Kak Angkasa tau banyak tentang Kak Sabila?” tanya Rosa penasaran. Lalu segera disesalinya pertanyaan itu.

Angkasa kembali tersenyum melihat Rosa yang menutup mata setelah bertanya. “Gimana gak tau banyak. Dia akan duduk di sebelah gue terus cerita tentang harinya kemarin. Mau gak mau kan gue dengerin juga,” jelasnya.

Senyum Angkasa menular, jadi Rosa juga ikut tersenyum sambil mengangguk mengerti.

“Jangan menghindari gue lagi, Sa,” kata Angkasa kemudian. Suaranya dalam.

Rosa sedikit kaget dengan perubahan nada suara itu. Kali ini terdengar seperti memohon.

“Lo masih utang es krim,” Angkasa kemudian tertawa.

Rosa langsung tertawa, “Iya deh iya, aku masih belum bayar,” katanya setuju. “Tapi gak kayak tadi juga, Kak. Pak Dadi marah kayaknya, Kak Angkasa gak takut?”

Bahu Angkasa terangkat tak acuh, “Pak Dadi bukan guru kelas XII kok, jadi gak akan ngaruh nilai juga. Gue lebih takut lo kenapa-kenapa tadi,” jawabnya ringan.

Pipi Rosa langsung bersemu merah jambu. Dia berkedip untuk mengembalikan kesadarannya.

“Gue juga belum punya nomor lo. Boleh minta, kan?” tanya Angkasa. Tangannya menyerahkan

ponselnya.

Menatap ponsel ditangan Angkasa, Rosa kemudian mengangguk. Dia menerima benda kotak itu dan menuliskan nomornya.

“Minggu ya, gue jemput jam sepuluh,” Angkasa berkata sambil menerima kembali ponselnya. Dia bangun dari duduknya, mengembalikan kursi ke tempatnya lagi. Bersamaan dengan masuknya Bu Riska.

“Angkasa, lagi apa kamu? Jangan gangguin adik kelas. Sana masuk kelas, udah kelas XII masih suka keluyuran,” Bu Riska dengan tegas mengusir Angkasa keluar dari UKS.

“Maaf, bu,” katanya sopan sambil bejalan keluar. Angkasa berbalik sekejap setelah melewati pintu, tersenyum pada Rosa, kemudian berjalan menjauh.

Rosa hanya tersenyum sekilas. Pertemuannya dengan Angkasa selalu diawali dengan tragedi.

-o0o-

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!