Jo Wira, pemuda yang dikenal karena perburuan darahnya terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kematian orang tuanya, kini hidup terisolasi di hutan ini, jauh dari dunia yang mengenalnya sebagai buronan internasional. Namun, kedamaian yang ia cari di tempat terpencil ini mulai goyah ketika ancaman baru datang dari kegelapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orpmy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dungeon
Setelah berevolusi, macan kumbang itu terlihat gagah dengan tanduk panjang di kepalanya. Setengah kulit belakangnya kini berwarna cokelat, hasil penggabungan dengan kristal kambing gunung.
Wira menatapnya sambil berpikir, ‘Sejujurnya aku agak menyayangkan kulitnya yang tak lagi sepenuhnya hitam...’ ia pun kembali menyeruput kopinya.
Melihat perubahan pada macan kumbang, rasa penasaran pun memenuhi pikiran Wira. ‘Kenapa Sumba menginginkan kristal kambing gunung untuk berevolusi? Apakah tanduk seperti ini yang dia inginkan?.’ Wira membayangkan Sumba memiliki tanduk.
Wira tersenyum kecil. “Baiklah, bagaimana kalau mulai sekarang aku memanggilmu Malika?” tanyanya dengan lembut. Sepasang mata macan kumbang itu membuka lebar sejenak, namun hanya menguap malas seolah tak peduli.
Wira tertawa kecil. “Aku anggap itu sebagai persetujuan!” Namun tiba-tiba, tubuhnya terasa aneh. Energinya seperti tersedot, meskipun dalam jumlah sedikit namun cukup untuk membuatnya terkejut.
Tapi karena tidak ada ancaman yang dia rasakan, Wira akhirnya memilih untuk melupakannya.
Meninggalkan Malika dan Kinta yang bermalas-malasan dekat api unggun, Wira mulai mempersiapkan peralatan penambangan, diantarnya adalah masker gas, helm, cangkul, beliung, dan berbagai alat pahat. Tepat ketika dia menyelesaikan persiapannya, Sumba terbangun dari evolusinya.
Kulit Sumba kini lebih gelap, dada kuda itu dihiasi kristal kecil, dan di keningnya tumbuh tanduk kristal yang menyerupai tanduk Golem Badak. Wira memandang kagum.
“Sumba, kau semakin gagah! Lihat otot-otot itu. Sekarang kau pasti bisa membawa beban lima ton dengan mudah, bukan?”
Sumba mendengus kesal, merasa hanya dianggap sebagai kuda pengangkut barang. Tanpa ragu, dia menggigit kepala Wira dengan penuh emosi.
“Aww! Maaf! Maaf!” Wira berteriak sambil mencoba membebaskan kepalanya dari gigitan Sumba. Kegaduhan itu membuat tawa kecil bergema di dalam goa.
***
Setelah situasi tenang, Wira berdiri di depan ketiga temannya. Dengan masker gas terpasang, ia memberi pengarahan.
“Dengar, teman-teman. Goa ini penuh bahaya. Ada gas beracun yang dapat membunuh kalian dalam beberapa detik, gempa kecil yang bisa membuat dinding runtuh, dan para penghuni ilegal yang mungkin tidak ramah. Kita harus ekstra hati-hati.”
Ketiga hewan itu mengangguk atau menggeram kecil, tanda mereka mengerti. Wira tersenyum. “Bagus! Ayo kita mulai.”
Mereka memasuki tambang dengan hati-hati. Biasanya, hanya Sumba yang menemaninya, sementara Kinta berjaga di luar. Namun, kali ini, ancaman dari penghuni ilegal membuat Wira membawa semua temannya untuk keamanan.
Saat mereka berjalan menyusuri lorong gelap, tiba-tiba terdengar suara lonceng halus di kepala Wira. Ia langsung mengangkat tangan, memberi isyarat untuk berhenti.
“Ada sesuatu...” bisiknya.
Dengan cepat, ia mengaktifkan sensor seismik menggunakan energi Ki. Getaran halus menyebar melalui lantai, memberi Wira gambaran jelas tentang struktur goa dan jebakan yang tersembunyi. Lima langkah di depannya, sebuah mekanisme jebakan tampak jelas.
“Ah, jebakan,” gumamnya, lega bisa mendeteksinya tepat waktu. Namun, suara lonceng tadi masih menggema di pikirannya. ‘Aku kenal suara itu... tapi dari mana?’
Ia melucuti jebakan dengan cekatan, sementara Sumba, Kinta, dan Malika memperhatikannya dengan seksama. Mereka terus bergerak, menghadapi jebakan demi jebakan sepanjang lorong.
"Semua jebakan ini seperti sebuah sambutan untuk para pengunjung." Wira membawa beberapa jebakan yang mungkin akan berguna nantinya.
Hingga akhirnya, mereka tiba di persimpangan tiga jalan. Wira memandangi lorong-lorong itu dengan perasaan Dejavu. Struktur ini... bentuknya... menyerupai sesuatu yang ia kenal.
“Tempat ini seperti... Dungeon?” bisiknya penuh keraguan. Lalu kesadarannya menyentak bagai petir. “Tunggu, Dungeon?!”
***
Paradox Realm adalah game online yang menjadi fenomena sejak dirilis dua tahun lalu. Wira pertama kali mengenal permainan ini melalui teman-teman onlinenya. Mereka tidak percaya bahwa dia adalah seorang penempa senjata di dunia nyata.
Demi membuktikan keahlian tersebut, Wira nekat. Ia hampir mengungkapkan persembunyiannya hanya untuk memesan peralatan gaming secara anonim. Bahkan, ia mempertaruhkan nyawa ketika turun gunung untuk mengambil paket tersebut. Semua itu dilakukan demi satu tujuan yaitu membuktikan bahwa ia benar-benar seorang penempa handal.
Usaha Wira tidak sia-sia. Setelah melihat hasil karyanya dalam game, teman-temannya akhirnya mengakui keahliannya. Namun, cerita itu tidak berhenti di sana.
Wira malah jadi ketagihan bermain Paradox Realm. Ia sering begadang hingga pagi, bahkan ketika teman-temannya sudah logout. Ia terus bermain, bukan sekadar untuk kesenangan pribadi, melainkan ada tujuan mulia dibaliknya. Ia ingin mengikuti event kejuaraan penempa terbaik demi meningkatkan eksposur Guild teman-temannya.
Meskipun tidak ada kewajiban untuk ikut, Wira merasa ini adalah bentuk balas budi bagi teman-teman yang selalu mendukungnya. Dengan dedikasi penuh, ia mengasah keterampilan menempa di dalam game. Berhari-hari ia habiskan untuk menyempurnakan setiap detail senjata yang ia buat.
Kerja keras itu membuahkan hasil. Wira memenangkan kejuaraan dan menyabet gelar Penempa Terbaik. Prestasinya mengejutkan para pemain veteran yang sudah lama berkecimpung di dunia Paradox Realm. Berkat kemenangan itu, Guild temannya mendapatkan sorotan dan pengakuan yang selama ini mereka dambakan.
Setelah misi itu selesai, Wira memutuskan untuk berhenti bermain. Bukan karena bosan, tetapi karena kesadarannya. Selama bermain, ia sering menelantarkan dua sahabatnya di dunia nyata, Kinta dan Sumba. Mereka selalu setia menemaninya, bahkan ketika ia sibuk menatap layar komputer.
Kini sudah dua hari berlalu sejak terakhir kali ia menyentuh Paradox Realm.
***
Revisi Teks Agar Lebih Menarik dan Mudah Dipahami
Berdiri di persimpangan lorong, Wira mengamati struktur tambang yang telah berubah drastis. Dinding-dinding kasar yang menjulang dan atmosfer lembab menyerupai Dungeon dalam game yang pernah ia mainkan. Jebakan-jebakan di pintu masuk berfungsi ganda: menghalangi penjelajah sekaligus menjadi alarm bagi penghuni di dalamnya.
"Kalau tambang ini benar-benar sudah berevolusi menjadi Dungeon," gumamnya sambil berpikir, "mungkinkah aku bisa menemukan material fantasi seperti dalam game?" Wira membayangkan logam-logam ajaib yang dulu sering ia tempa menjadi senjata berkekuatan sihir. Membayangkan kemampuannya membuat senjata sehebat itu di dunia nyata membuatnya terkekeh kecil.
"Kalau aku bisa menempa senjata sihir, Harimau Titan bukan lagi masalah," ujarnya penuh keyakinan.
Mengandalkan sensor seismiknya, Wira memutuskan mengambil jalur kiri. Jalur lurus di depannya hanya menuju jurang, dan jalur kanan dipenuhi jebakan. Namun, di jalur kiri, ada sesuatu yang menanti.
Kinta mendengus pelan, menunjukkan bahwa indra penciumannya menangkap keberadaan makhluk di depan. Suara dentingan logam mulai terdengar semakin jelas seiring langkah mereka mendekat.
Di ujung lorong, mereka melihat sesosok makhluk kecil dengan tinggi badan setinggi goblin, kulitnya bersisik menyerupai kadal. Makhluk itu menggenggam beliung usang, sibuk menggali dinding tambang.
"Apa yang sedang kau gali di sana, Kobold?" tanya Wira sambil menyebut nama ras makhluk tersebut.
Kobold itu tersentak kaget. Matanya membelalak saat melihat Wira, dan tubuhnya langsung gemetar ketika pandangannya beralih ke Kinta dan Malika, dua predator yang berdiri angkuh di belakang tuannya. Panik, Kobold itu melempar beliungnya ke arah Wira.
Dengan mudah, Wira menangkap beliung tersebut di udara. Ia memeriksa alat itu dan mencibir pelan. "Kualitasnya buruk, tapi masih bisa dipakai," gumamnya sambil memutar-mutar beliung di tangannya.
Melihat peluang untuk melarikan diri, Kobold berbalik dan berlari secepat mungkin. Namun, dengan satu jentikan jari dari Wira, Kinta melesat bagaikan bayangan dan memblokir jalan keluar. Kobold itu membeku di tempat, wajahnya memucat ketakutan.
"Kenapa kau begitu ketakutan?" Wira mendekat perlahan, suaranya lebih lembut. "Aku hanya ingin bicara. Bagaimanapun, aku adalah pemilik tambang ini."
Alih-alih menenangkan, nada lembut Wira justru membuat Kobold itu semakin gemetar. Mata makhluk kecil itu berkedip panik, Kobold itu pada akhirnya pasrah, menerima nasibnya yang seakan sudah ditentukan.
mohon berikan dukungannya