Novel ini diilhami dari kisah hidup Nofiya Hayati dan dibalut dengan imajinasi penulis.
🍁🍁🍁
Semestinya seorang wanita adalah tulang rusuk, bukan tulang punggung.
Namun terkadang, ujian hidup memaksa seorang wanita menjadi tangguh dan harus terjun menjadi tulang punggung. Seperti yang dialami oleh Nofiya.
Kisah cinta yang berawal manis, ternyata menyeretnya ke palung duka karena coba dan uji yang datang silih berganti.
Nofiya terpaksa memilih jalan yang tak terbayangkan selama ini. Meninggalkan dua insan yang teramat berarti.
"Mama yang semangat ya. Adek wes mbeneh. Adek nggak bakal nakal. Tapi, Mama nggak oleh sui-sui lungone. Adek susah ngko." Kenzie--putra Nofiya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwidia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 14 Nada
Happy reading 😘
Roda mobil yang dikendarai oleh Zaenal terus menggelinding, membelah kepadatan kota Malang.
Dari kota Malang, Zaenal melajukan kuda besinya menuju desa yang berada di Blitar. Tepatnya di rumah Nofiya.
Meski terbentang jarak yang cukup jauh, nyatanya Zaenal tidak pernah mengeluh setiap ingin menjemput atau mengantar sang kekasih pulang ke rumah.
Cinta membuat nya mampu memangkas jarak. Cinta membuat nya tidak mengenal kata letih. Cinta membuat nya bersemangat dan menghempas kata menyerah. Cinta menguatkan nya untuk terus berjuang, meski aral dan rintangan membentang.
Setibanya di halaman rumah Nofiya, jantung Zaenal berdentum-dentum tak karuan, hingga nafasnya serasa sesak.
Terbayang olehnya wajah Ridwan yang sukses membuat nyali menciut.
Terngiang di telinga kata-kata yang sempat membuatnya putus asa dan hampir menyerah.
"Pulanglah! Jangan temui Fiya lagi!"
Zaenal berusaha menenangkan diri dengan menghela nafas dalam dan sejenak memejamkan mata.
Ia tepis rasa takut yang kini tengah menguasai diri dan mulai mengumpulkan pundi-pundi keberanian demi memperjuangkan cinta dan meluluhkan hati calon papa mertua yang keras seperti bebatuan gunung berapi.
"Bismillah. Jangan takut, Zen. Kamu harus bisa memperjuangkan cinta dan meluluhkan hati calon papa mertua," ujarnya--berusaha menyemangati diri.
Setelah merasa siap, Zaenal keluar dari dalam mobil, lalu berjalan menuju teras rumah.
Ia memberanikan diri mengetuk pintu rumah Nofiya yang tertutup rapat.
"Assalamu'alaikum." Zaenal mengucap salam dan kembali mengetuk pintu.
Namun tidak ada satu orang pun yang menyahut.
Menyerah? Tentu saja tidak.
Ia mengambil gawai yang tersimpan di dalam saku kemeja, lalu bersiap mendial nomor Nofiya.
"Mas, dipencet aja bel nya! Penghuni rumahnya ada di dalem kok."
Teriakan seseorang mengalihkan atensi Zaenal yang tengah bersiap menghubungi sang kekasih via telepon.
Ia lantas menoleh ke arah kanan dan kiri, mencari asal suara. Namun objek yang dicari tidak juga ditemui.
Halaman rumah yang biasanya ramai, saat ini terlihat sepi. Tidak ada satu orang pun yang berada di sekeliling rumah Nofiya.
"Kok nggak ada orang ya? Tadi, siapa yang teriak? Jangan-jangan --" Zaenal bergidik ngeri. Ia berpikir suara teriakan yang didengarnya tadi berasal dari makhluk penghuni pohon mangga.
Tapi mana mungkin, sekarang 'kan masih pagi, bisik batin menepis pikirannya sendiri.
"Woeee, Mas. Buruan dipencet bel nya!"
Zaenal kembali mencari asal suara dengan rasa ngeri yang menyertai. Terbayang olehnya jika makhluk penunggu pohon mangga tiba-tiba muncul di hadapan.
"Jangan cuma teriak! Buruan lu muncul!" Zaenal memberanikan diri bersuara lantang dan menyapu halaman rumah Nofiya dengan sepasang netra yang dibukanya lebar-lebar.
"Mas, kamu mencari aku ya? Aku di sini! Di atas kamu! Hi ... Hi ... Hi ...."
Waduh, dia di atasku. Bagaimana ini?
Zaenal menutup satu mata dengan telapak tangan, lalu memberanikan diri mendongak ke atas. Mencari si pemilik suara yang dikiranya penunggu pohon mangga.
Ia berdecak kesal saat seorang gadis kecil memperlihatkan dirinya dari balik jendela.
Buset, kirain makhluk tak kasat mata. Ternyata monyet, umpatnya yang hanya terlontar di dalam hati.
Gadis kecil itu adalah Nada. Adik tiri Nofiya.
Nada tertawa terpingkal-pingkal. Ia merasa puas karena berhasil mengerjai Zaenal dan membuat pemuda berparas rupawan itu kesal.
"Sorry, Mas," ucap Nada sambil mengangkat dua jarinya ke atas.
"Mas handsome mau cari siapa? Papa, mama, aku, atau Mbak Fiya?" imbuhnya tanpa jeda.
"Fiya." Zaenal menjawab singkat dengan rasa kesal yang ingin terluapkan.
"Ogeh. Sebentar ya aku panggilin Mbak Fiya. Dia lagi bo-ker."
Nada lantas berteriak memanggil Nofiya yang tengah fokus melakukan ritual di kamar kecil sambil memainkan gawai di tangan.
Rupanya Nofiya tengah asik bermain game mobile legend disela usahanya mengeluarkan sisa-sisa makanan yang disantap tadi sewaktu sarapan.
"Mbak Fiya, buruan bo-ker nya! Ada temenmu datang!"
"Siapa?" Nofiya menyahut dari dalam kamar kecil, tanpa mengalihkan tatap dari layar gawai.
"Duh, lupa nanya nama. Bentar aku tanya!"
"Oke --"
"Mas, siapa nama kamu?" Nada melontarkan tanya sambil melongok ke bawah.
"Zaenal." Lagi-lagi Zaenal menjawab singkat.
"Apa? Donal atau Conal?"
"Zaenal. Za-e-nal!" Zaenal mengeraskan suara, sehingga terdengar jelas di telinga Nada.
"Ogeh." Nada mengangguk, lalu kembali berteriak.
"Zaenal, Mbuakkkk. Orangnya handsome kaya' artis dari desa seberang."
Nofiya buru-buru menyelesaikan ritualnya ketika Nada menyebut nama Zaenal.
"Tolong bukain pintu buat Zen, Dek. Suruh Zen masuk ke dalam!" pinta Nofiya dan diindahkan oleh Nada.
Meski Nada bukan adik kandungnya, Nofiya sangat menyayangi gadis kecil itu. Pun sebaliknya.
Nada sangat menyayangi Nofiya selayaknya saudara yang terlahir dari rahim ibu yang sama.
Begitu pintu terbuka, Nada mempersilahkan Zaenal masuk ke dalam rumah dan membawanya ke ruang tamu.
"Silahkan duduk, Mas." Nada berucap sopan.
"Terima kasih," balas Zaenal.
Ia lantas mendaratkan bobot tubuh di sofa dan meletakkan semua bungkusan yang dibawanya di atas meja kaca.
"Mas mau minum apa?"
"Nggak usah. Ni aku udah bawa minum."
"Ogeh. Bentar ya, aku panggilin Mbak Fiya."
Zaenal mengangguk dan menyertai dengan lengkungan bibir yang membentuk seutas senyum manis.
Manis. Seperti permen kaki kesukaan Nada dan membuat Nada sejenak terpana menatap wajah rupawan yang saat ini memenuhi ruang pandang.
"Eng, tunggu!" Zaenal mencegah saat Nada bersiap memutar tumit.
"Ada apa, Mas?"
"Papa ada?"
"Papa lagi di toko. Mau aku panggilin?"
"Nggak usah."
"Baiklah. Mas masih kesel ya sama aku?"
"Dikit. Nggak banyak."
"Jangan mudah kesel, Mas. Nanti cepet tua lho. Hidup itu dibuat santuy. Anggap aja keusilan ku tadi sebagai hiburan," tutur Nada dalam mode bijak.
"Hmmm, iya."
"Oya, Mas Zen mau dibikinin minum apa?"
"Nggak usah. Aku udah bawa. Tadi kamu udah nanya 'kan?"
Nada tertawa nyengir, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang tampak putih dan rapi. "Eh iyaya. Aku lupa. Kalau boleh tau, Mas Zen bawa minum apa?"
"Kopi pahit," celetuk Zaenal seraya bercanda.
"Owh, Mas Zen suka kopi pahit. Kaya' makhluk tak kasat mata dong."
"Ya enggak lah."
"Terus kaya' apa?"
"Kaya' dukun." Zaenal menjawab asal dan masih dalam mode bercanda.
"Buruan gih panggilin Fiya! Mas Zen udah nggak kuat," ucapnya kemudian. Kali ini suara Zaenal terdengar lirih.
"Nggak kuat? Nggak kuat apa, Mas?"
"Nggak kuat nahan --" Zaenal tak kuasa melanjutkan kata.
Tiba-tiba kepalanya terasa sangat pening dan raganya semakin melemah.
"Mas Zen sakit ya?" Nada menatap lekat wajah Zaenal yang terlihat pucat disertai keringat dingin yang mulai bercucuran.
"Iya, Dek."
"Yaudah, aku panggilin Mbak Fiya. Mas Zen tunggu di sini. Jangan pingsan dulu, oke!"
Zaenal mengangguk pelan, lalu menyandarkan punggung pada sandaran sofa. Ia merasa tubuhnya semakin lemah dan serasa ingin limbung.
"Ya Allah, aku udah nggak kuat," ucapnya lirih seiring mata yang perlahan terpejam.
🍁🍁🍁
Bersambung ....
Jangan lupa like dan subscribe. Terima kasih 😊🙏🏻
Belajar sama² ya Zen udah ada lampu hijau dari Papa Ridwan.
semoga
eh Authornya duluan.
Terus siapa yg bisa jawab nih
konidin mana...
mana konidin