Bintang, CEO muda dan sukses, mengajukan kontrak nikah, pada gadis yang dijodohkan padanya. Gadis yang masih berstatus mahasiswa dengan sifat penurut, lembut dan anggun, dimata kedua orang tuanya.
Namun, siapa sangka, kelinci penurut yang selalu menggunakan pakaian feminim, ternyata seorang pemberontak kecil, yang membuat Bintang pusing tujuh keliling.
Bagaimana Bintang menanganinya? Dengan pernikahan, yang ternyata jauh dari ekspektasi yang ia bayangan.
Penuh komedi dan keromantisan, ikuti kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15.
Bintang tiba di perusahaan lebih cepat dari biasanya. Hal ini membuat para karyawannya, kelabakan. Apalagi, wajahnya yang terlihat suram dan menakutkan.
"Kau sudah menyuruh anak buahmu mengikuti Hania?"
"Sudah, Pak. Katanya, dia masih dalam hotel."
"Cih, benar-benar merepotkan. Siapa yang sangka dia akan kembali secepat ini dan aku baru saja menikahi anak kecil, yang bahkan tidak tahu caranya berbohong."
"Mungkin, orang tuanya mendidiknya seperti itu."
"Kau benar dan itu membosankan."
"Anda tidak ingin menempatkan anak buah kita padanya?"
"Untuk apa? Dia punya asisten dan supir pribadi. Lagi pula, gadis seperti Sera tidak akan mencari masalah. Hidupnya terlalu lurus."
"Anda benar."
Sementara, Sera yang berada dikampus siap-siap melakukan unjuk rasa, disalah satu kantor pemerintah. Menggunakan jeans hitam yang sudah pudar dan sobek bagian lutut. Kemeja kotak-kotak kebesaran, rambut diikat asal. Ia memegang pengeras suara dan berdiri diatas mobil pick up, yang parkir dihalaman.
Sera merasa bebas dan bahagia. Ia terus tertawa, bersama beberapa pria yang menjadi rekannya. Meninggalkan kehidupannya yang mewah dan membosankan. Sera memiliki banyak teman pria, karena penampilannya yang tomboy.
Tujuan mereka sudah dekat. Sera segera menutup wajahnya dengan topeng hitam, karena banyak wartawan. Ia tidak mau wajahnya menjadi berita utama di saluran TV. Bisa-bisa orang tua dan suaminya shock.
Begitu mobil yang ia tumpangi berhenti, Sera langsung mengambil posisi. Ia memperhatikan sejenak keadaan, yang ternyata sudah banyak di penuhi seragam coklat. Mereka memblokade jalan masuk dengan peralatan lengkap.
"Mulai deh," ujar Rio.
Pengeras suara dinyalakan, Sera mulai berorasi dibantu Rio dan teman lainnya yang berada diatas mobil pick up. Terdengar sahutan dari peserta unjuk rasa yang membawa spanduk dan peserta lainnya yang mulai saling mendorong dengan petugas keamanan.
Dari kejauhan, Wita dan pak Herman duduk dalam. mobil dengan cemas. Ini bukan kali pertama, mereka melihat Sera seperti ini. Namun, mereka takut jika terjadi hal yang tidak diinginkan. Apalagi, situasi seperti ini, tidak pernah berakhir dengan baik.
"Oh, Tuhan. Bagaimana ini?" panik Wita.
"Kenapa?"
"Ibu telepon."
Wajah pak Herman seketika memucat. Ia segera menutup kaca mobil dengan rapat. Ia juga memberitahu Wita, agar mengangkat telepon dan menyetel dalam mode speaker. Dengan begitu, ia bisa membantunya mencari alasan.
"Iya, bu."
"Kalian dimana?"
"Diparkiran, bu. Nunggu, Non Sera." Wita menatap Pak Herman.
"Jam berapa selesai?"
"Tidak tahu, bu. Non Sera tidak bilang."
"Ya sudah. Beritahu Sera, cepat pulang. Malam ini, ada acara makan malam dan dia mulai tinggal di rumah suaminya."
"Iya, bu."
"Ah, tidak. Bilang saja, agar menelponku."
"Baik, bu."
"Kenapa ponselnya tidak aktif?"
"Mungkin lagi belajar."
Sambungan terputus. Wita dan pak Herman menghela napas lega. Keduanya kembali memperhatikan keadaan diluar. Sera masih berorasi dan aksi saling dorong masih terjadi.
"Pak, bagaimana jika sore belum selesai? Saya harus bilang apa, sama ibu?"
"Tunggu, Non Sera, aja. Biar dia yang kasih instruksi. Saya jadi bingung, kenapa Non Sera harus hidup seperti ini."
"Iya, Pak. Saya kasihan, sama Non Sera. Ternyata, jadi anak orang kaya, tidak seindah pikiran kita."
"Benar, dia harus nurut sana sini."
Percakapan mereka terhenti, saat ponsel Wita kembali berdering. Dan saat itu, Wita langsung shock melihat nama dilayar ponselnya.
"Gawat, gawat. Pak Bintang yang menelpon."
"Angkat, cepat."
Wita segera menggeser layar hijau.
"Iya, pak."
"Mana istriku? Kenapa ponselnya tidak aktif?"
"Masih dalam kelas, pak. Non Sera, memang sering menonaktifkan ponselnya, jika sedang belajar."
"Kalian masih dikampus?"
"Iya, pak. Saya masih menunggu di parkiran. Ada apa, pak?"
”Kalian pulang saja, saya yang akan menjemputnya?"
"Hah? Ap... apa, pak?" Wita menatap pak Herman. Keduanya menjadi panik.
"Kamu kenapa berteriak?"
"Maaf, pak. Bukan begitu, masalahnya saya tidak tahu, jam berapa Non Sera pulang. Nanti Anda kelamaan menunggu."
"Tidak apa. Saya sudah mengirim pesan. Kalian pulang saja."
Sambungan telepon dimatikan sepihak, oleh Bintang. Wita dan pak Herman kelabakan, bukan main. Sementara, yang menjadi sumber masalah, masih berorasi didepan sana.
"Mati aku! Bagaimana ini, Pak? Bisa digantung kita sama ibu."
Wita terus menerus menelpon Sera, meski tahu ponselnya tidak aktif.
"Aduh, Non. Kenapa ponselnya dimatikan?" Wita semakin frustasi. Lalu, kembali bertanya kepada Pak Herman. "Bagaimana ini, Pak?"
Pak Herman tidak langsung menjawab. Ia mengamati situasi diluar, yang tampak kondusif. Para mahasiswa hanya berorasi, sembari mengangkat spanduk.
"Tunggu disini! Biar saya kesana, ketemu non Sera."
"Oke, Pak. Hati-hati!"
Pak Herman keluar mobil. Ia bergabung dengan pendemo, mencari celah agar bisa menjangkau Sera. Namun, tampaknya ini tidak semudah, saat ia hanya menatap dari dalam mobil. Nyatanya, pak Herman terjebak di antara kerumunan pendemo.
Kepanasan, sesak dan terjepit. Pak Herman, mencoba berteriak, memanggil Sera. Namun, apalah daya suaranya kalah, dengan suara ratusan pendemo. Merasa sia-sia, pak Herman memilih kembali.
"Bagaimana, Pak?" tanya Wita.
Pak Herman tidak langsung menjawab, napasnya ngos-ngosan dan merasa gerah. Ia mendinginkan tubuhnya dengan AC mobil yang menyala. Bukan hanya itu, ia bahkan meneguk hampir setengah botol air mineral.
"Pasrah aja, Wit. Non Sera kejauhan."
"Pasrah gimana, Pak? Kita juga bisa kena getahnya."
"Ya, mau gimana. Padat gitu, nggak bisa lewat."
Wita kembali mencoba menghubungi Sera lewat ponsel, namun hasilnya tetap sama. Wita semakin frustasi, apalagi waktu terus berputar. Bagaimana jika saat ini Bintang sudah menunggu?
"Bagaimana kalau kita kembali ke kampus Pak?"
"Untuk apa?"
"Jika pak Bintang disana, kita bisa ulur waktu."
"Kita tidak bisa kembali, Wit. Jalanan udah diblokir. Kita cuma bisa menunggu disini."
"Ya, Tuhan."
Terpaksa, Wita duduk diam menunggu dengan cemas. Kedua matanya, tak luput dari pemandangan diluar. Berharap, Sera segera membaca pesannya.
Di perusahaan, Bintang sudah bersiap untuk menjemput sang istri, meski belum ada kabar pasti. Ia sebenarnya malas, tapi berhubung sang ibu yang meminta, dengan berat hati ia menerima.
"Pak, Hania ada di lobby."
Bintang menghela napas kesal. Kenapa wanita ini keras kepala dan tidak menyerah?
"Biarkan saja!"
Bintang melangkah masuk dalam lift. Kembali meraih ponselnya untuk memeriksa pesan yang ia kirim kepada Sera. Namun, sayangnya pesan tersebut belum terkirim.
"Kemana dia? Apa belajar bisa selama itu?"
Untuk menghindari Hania, Reza mengarahkan Bintang menuju pintu lain, khusus para eksekutif. Pintu yang digunakan, jika ada hal mendesak.
Tiba dikampus, Bintang kembali memeriksa ponselnya. Namun, masih sama. Ia memperhatikan sekeliling dan tidak tahu, harus kemana.
"Telpon aja Pak, asistennya."
Bintang akhirnya, menelpon Wita.
"Saya sudah di kampus. Kenapa ponsel istriku belum aktif?"
"...."
"Apa??"
🍓🍓🍓
ceritanya bagus, jadi ga sabar nunggu up