Alden adalah seorang anak yang sering diintimidasi oleh teman-teman nakalnya di sekolah dan diabaikan oleh orang tua serta kedua kakaknya. Dia dibuang oleh keluarganya ke sebuah kota yang terkenal sebagai sarang kejahatan.
Kota tersebut sangat kacau dan di luar jangkauan hukum. Di sana, Alden berusaha mencari makna hidup, menemukan keluarga baru, dan menghadapi berbagai geng kriminal dengan bantuan sebuah sistem yang membuatnya semakin kuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20 Kehidupan sekolah
Di kota Nirve yang popularitas buruknya sudah tidak diragukan lagi, berdiri sebuah sekolah yang telah lama kehilangan reputasi baiknya.
Dinding-dinding sekolah itu penuh dengan grafiti; coretan warna-warni yang lebih menyerupai simbol pemberontakan daripada ekspresi seni. Lingkungan sekolah tampak kurang terawat, seolah-olah mengesampingkan esensi pendidikan yang seharusnya ditanamkan.
Murid-murid di sekolah ini dikenal dengan tingkah lakunya yang liar. Dari hari ke hari, pemandangan perkelahian di lorong sekolah, cemoohan, dan perundungan adalah hal yang nyaris biasa terjadi.
Saling cela dan persaingan tidak sehat merajalela tanpa ada upaya nyata untuk mengatasinya. Rasa hormat dan solidaritas di antara para siswa seakan menjadi konsep yang asing.
Di sisi lain, tenaga pendidik di sekolah ini tampak sudah menyerah pada keadaan. Banyak guru memandang diri mereka hanya sekadar memenuhi tugas semata.
Kurangnya motivasi dan perhatian terhadap perkembangan siswa semakin menambah parah situasi. Kehadiran dan ketekunan sudah jarang dihargai. Dampaknya, pembelajaran di kelas sering kali terabaikan.
Namun, di tengah ketidakberdayaan sekolah tersebut, sebuah kabar hangat menarik perhatian seluruh siswa dan siswi, yaitu kedatangan seorang murid baru.
Entah mengapa, berita tentang murid baru ini dengan cepat menyebar. Banyak yang penasaran dan memperbincangkan sosoknya, bukan karena prestasi akademik ataupun bakat olahraga, melainkan karena penampilannya yang tampan.
Kehadirannya seolah memberi warna berbeda dalam rutinitas sekolah yang monoton dan suram.
Beberapa siswa melihat kehadirannya sebagai tantangan baru, sebuah sosok yang mungkin bisa dijadikan subjek perundungan baru sementara yang lain menganggapnya sebagai kesempatan untuk menambah anggota kelompok mereka.
"Semuanya duduklah, kita kedatangan murid baru!" teriak sang guru, namun hanya sedikit yang menanggapinya.
Ketika pintu kelas terbuka, suasana berubah hening sejenak, sebuah momen langka dalam lingkungan yang biasanya riuh. Murid baru itu melangkah masuk dengan tenang, memperlihatkan wajah dingin namun penuh percaya diri.
"Perkenalkan dirimu kepada teman-teman baru, Nak," kata guru itu dengan nada lembut yang coba menyembunyikan keletihan selama mengajar.
Murid baru itu mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas sebelum akhirnya mulai berbicara. "Namaku Alden Weys," katanya dengan suara yang terdengar lantang namun tenang.
Untuk sesaat, para siswa tetap diam, beberapa tampak terkejut dengan suara Alden yang mendominasi. Beberapa saat kemudian, bisik-bisik kembali memenuhi ruangan.
Beberapa siswa menyipitkan mata, menilai apakah Alden akan menjadi ancaman bagi status yang sudah ada di sekolah itu, sementara beberapa gadis terlihat lebih terbuka, mungkin tertarik dengan karisma Alden yang berbeda dari kebanyakan orang.
Setelah memperkenalkan diri, Alden diarahkan menuju bangku kosong di dekat jendela, memberinya pandangan sekilas ke halaman sekolah yang lusuh.
"Dia pikir dirinya siapa, coba kita lihat apa yang bisa murid brengsek ini lakukan."
Revan berbisik kecil kepada teman sebangkunya, Rio. Ia menunjukkan ketidaksukaannya kepada murid baru yang dia anggap telah mencuri popularitasnya sebagai siswa tertampan.
Ketika Alden berjalan di sampingnya, ia diam-diam membentangkan kakinya, berniat membuat Alden terjatuh dan malu.
Namun Alden dapat mengetahui niat buruk Revan dengan cepat, ia menatap mata pria pemarah itu yang kini menyeringai, mencoba untuk mengancam dirinya.
Namun tindakan Alden di luar dugaan, ia sedikit menginjak kaki Revan sebelum melanjutkan langkahnya dengan santai seolah tidak terjadi apa-apa.
Revan terkejut, dan rasa sakit yang mendadak muncul membuatnya menggertakkan gigi, menahan rasa malu karena niat jahatnya terbongkar dan berbalik menyakiti dirinya.
Kejadian kecil itu segera menjadi pembicaraan hangat di kalangan teman-teman sekelasnya. Banyak yang takjub dengan keberanian Alden yang tampak tak terintimidasi, sementara lainnya menertawakan kekonyolan Revan.
Sementara itu, Revan duduk dengan wajah merah padam, menahan amarah yang membara. Dia terbiasa menjadi pusat perhatian dan tidak suka bagaimana Alden mengalihkan perhatian semua orang darinya hanya dalam beberapa menit setelah kedatangannya.
Rio mencoba menenangkannya, berbisik, "Tenang, kita bisa menunjukkan padanya nanti siapa yang sebenarnya berkuasa di sini."
Kelas pun dimulai, namun seperti rumor yang beredar di kalangan masyarakat, sekolah di kota itu tidak lebih dari tempat anak-anak nakal melakukan apa pun seenaknya. Bahkan di jam pelajaran, beberapa terlihat tertidur pulas sementara yang lainnya hanya mengobrol dan bercanda.
Tidak ada yang memperhatikan guru mengajar kecuali Alden seorang. Alden merasa nostalgia dengan suasana yang tidak jauh berbeda dengan kehidupan sekolah sebelumnya. Namun sekarang ia punya kekuatan untuk melawan balik perundung seperti Daniel.
Setelah jam pelajaran, Alden segera dikerumuni oleh para siswi yang penasaran tentang dirinya.
"Hei Alden, kau tinggal di mana? Apa pekerjaan orang tuamu?"
"Kenapa kau sangat giat belajar, apa cita-citamu?"
"Aku lihat tadi kau diganggu oleh Revan, apa tidak jadi masalah?"
Alden merasa sedikit aneh dengan para gadis yang mengelilinginya dan melontarkan berbagai macam pertanyaan, namun ia mencoba untuk tetap tenang dan menjawabnya satu per satu. Tentu saja jawaban yang ia berikan semuanya palsu.
Melihat kepopuleran Alden membuat Revan menjadi semakin geram, ia berdiri dengan cepat hingga membuat kursi bergeser dan berdenyit, menarik semua perhatian yang dimiliki Alden.
Revan, yang sudah terbiasa menjadi pusat perhatian, merasa bahwa kehadiran Alden adalah ancaman nyata bagi statusnya. Amarah yang membara di dalam dirinya tampak siap meletus kapan saja.
"Ada apa dengan semua ini?" serunya dengan suara yang tidak bisa lagi ia sembunyikan kemarahannya. Pandangannya yang tajam menyapu seluruh ruangan, mencoba mengambil alih kembali situasi.
Beberapa siswa terdiam, tapi beberapa lainnya mulai berbisik, melihat perpecahan yang mungkin akan terjadi. Alden tetap berdiri di tempat, berpura-pura tidak terganggu dengan ancaman tidak langsung itu.
"Apa kalian lupa siapa yang berkuasa di sini?" lanjut Revan, mencoba memperingatkan semua orang untuk tidak mengabaikannya.
Namun, Alden, dengan ketenangannya, hanya mengangkat bahu. "Aku di sini bukan untuk merebut tempat siapa pun," katanya, dengan suara yang cukup keras sehingga bisa didengar semua orang di ruangan itu. "Tapi aku akan meladenimu jika kau mau."
Suasana ruangan menjadi semakin tegang. Semua siswa merasakan ketegangan yang semakin memuncak antara Alden dan Revan.
Rio, yang sebelumnya mencoba menenangkan Revan, kini berdiri di sampingnya, siap mendukung temannya jika situasinya memburuk. Namun, Alden tetap tenang, menunjukkan keberanian yang membuat banyak siswa lain terkesan.
"Revan, sudah cukup," sebuah suara perempuan memecah suasana. Itulah suara Elara, ketua kelas yang jarang ikut campur dalam hal sepele seperti ini, tetapi kali ini dia merasa perlu untuk campur tangan. "Apa kau tidak punya malu, mengganggu siswa baru di hari pertamanya pindah?"
Revan yang tadinya penuh amarah terpaksa menekan emosinya, dia tidak ingin membuat masalah apa pun dengan wanita yang menjadi ketua kelasnya itu.
"Aku hanya mengingatkan siapa yang berkuasa di sini," ujarnya dengan suara lebih pelan, sebelum pergi sambil menunjukkan ketidakpuasan.
Semua orang tahu bahwa Elara baru saja menyelamatkan situasi yang mungkin berpotensi menyebabkan konflik besar.
Melihat Elara membela Alden, para siswa mulai mempertimbangkan ulang pandangan mereka. Ia jarang salah dalam menilai orang.
Alden menatap Elara, gadis berambut putih seperti putri salju dan kecantikan yang luar biasa itu mampu membuat nyali Revan seketika menciut, ia penasaran kekuatan macam apa yang mendukung gadis itu.
Elara menatap Alden kemudian berkata, "Lain kali cobalah untuk tidak terpancing oleh provokasinya."
"Terima kasih," ucap Alden merasakan ketulusan Elara.