Calon suaminya direbut oleh sang kakak kandung. Ayahnya berselingkuh hingga menyebabkan ibunya lumpuh. Kejadian menyakitkan itu membuat Zara tidak lagi percaya pada cinta. Semua pria adalah brengsek di mata gadis itu.
Zara bertekad tidak ingin menjalin hubungan dengan pria mana pun, tetapi sang oma malah meminta gadis itu untuk menikah dengan dosen killernya di kampus.
Awalnya, Zara berpikir cinta tak akan hadir dalam rumah tangga tersebut. Ia seakan membuat pembatas antara dirinya dan sang suami yang mencintainya, bahkan sejak ia remaja. Namun, ketika Alif pergi jauh, barulah Zara sadar bahwa dia tidak sanggup hidup tanpa cinta pria itu.
Akan tetapi, cinta yang baru mekar tersebut kembali dihempas oleh bayang-bayang ketakutan. Ya, ketakutan akan sebuah pengkhianatan ketika sang kakak kembali hadir di tengah rumah tangganya.
Di antara cinta dan trauma, kesetiaan dan perselingkuhan, Zara berjuang untuk bahagia. Bisakah ia menemui akhir cerita seperti harapannya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon UQies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE #19
Langit mulai menggelap ketika mobil yang dikendarai Alif tiba di depan Rumah Sakit Platinum Medisentra. Pria itu tak langsung keluar, ia menoleh ke arah Zara yang terlelap sambil menggenggam tangannya.
Keputusan wanita itu untuk tak melepaskan tangannya pagi tadi rupanya telah membuat bunga-bunga di hati pria itu kembali bermekaran. Tatapan penuh cinta Alif kini tertuju pada sang istri yang belum menyadari jika mereka telah sampai. Dengan begitu hati-hati, Alif membuka sabuk pengaman Zara, lalu membangunkannya perlahan.
"Jasmine, kita sudah sampai," ucap pria itu lembut.
Mendengar suara sang suami, Zara membuka matanya hingga wajah Alif terlihat dengan jelas. Sejenak ia mengamati wajah tampan sang suami sambil tersenyum tanpa sadar, hingga suara dering ponselnya menyadarkan wanita itu.
Wajah Zara seketika merona merah menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Tak ingin semakin salah tingkah, ia langsung meraih ponsel miliknya dan menerima panggilan itu.
"Assalamu 'alaikum, Oma, Zara sudah sampai ini."
"...."
"Apa? I-iya, Oma. Zara langsung ke sana."
"Ada apa?" tanya Alif penasaran ketika Zara mengakhiri teleponnya, tetapi tak dijawab. Wanita itu kini memperlihatkan wajah gelisah dan bergegas turun dari mobil.
Alif tak banyak bicara lagi. Ia hanya mengikuti ke mana sang istri berlari terburu-buru. Pria itu menyamai langkah kaki sang istri, lalu kembali menggenggam tangannya.
"Hati-hati saat berlari," ucap Alif.
Beberapa pegawai rumah sakit yang melihat keberadaan Alif langsung menunduk memberi hormat. Bahkan ada yang hendak memanggilnya, tetapi dengan cepat pria itu memberi kode untuk diam.
Tak menunggu lama, mereka kini tiba di sebuah ruangan di mana Oma Ratna tengah berdiri sambil menangis di depannya.
"Oma, bagaimana keadaan Ibu?" tanya Zara menghampiri sang nenek.
Oma Ratna langsung memeluk Zara dan kembali menangis tersedu-sedu. Alif mengamati ruangan yang menjadi tempat sang ibu mertua dirawat dari kaca pintu. Di sana terdapat beberapa dokter yang melepaskan beberapa alat dari tubuh ibu mertuanya itu, lalu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut hingga kepala.
"Ibumu telah pergi, Sayang," ucap Oma Ratna dengan suara serak.
"Ibu? Mana Ibu?" Raut wajah Zara kini tampak panik. Kedua matanya pun mulai berkaca-kaca. Tangannya bergetar membuka pintu ruangan di hadapannya dan langsung berlari mendekati sang ibu yang kini telah terbujur kaku.
Zara membuka selimut yang menutupi wajah sang ibu dan langsung memeluknya sambil menangis. Sementara Alif hanya bisa merangkul Oma Ratna untuk memberinya rasa tenang karena kepergian anaknya.
.
.
Satu per satu para pelayat pergi meninggalkan makam tempat peristirahatan terakhir ibu Zara. Namun, tidak dengan Zara yang masih diam memeluk batu nisan yang masih baru, ditemani oleh Alif dan Oma Ratna. Wanita itu tak lagi menangis, tetapi tatapannya seolah kosong.
Alif mendekati Zara, lalu ikut bertekuk lutut di samping sang istri dan menepuk lembut pundaknya. "Ikhlaskan Ibu, yah. Insya Allah beliau husnul khotimah," ucap pria itu singkat.
Zara menoleh ke arah sang suami, lalu memeluk pria itu dan kembali menangis. Wanita itu tak mengatakan apa pun, tetapi dari tangisannya, Alif tahu sang istri kembali hancur karena dunianya pergi.
Alif membalas pelukan Zara dengan begitu hangat, berharap pelukannya itu bisa sedikit memberinya ketenangan.
"Zara!" panggil seorang pria dari belakang, membuat Zara melepaskan pelukannya dan menoleh ke belakang. Tatapan mata yang tadi begitu sendu kini berubah menjadi tatapan kebencian.
"Mau apa kalian datang ke sini?" tanya Zara begitu dingin ketika melihat ayah dan ketiga kakaknya beserta pasangan mereka masing-masing datang dengan pakaian serba hitam dan kacamata hitam.
"Zara! Pertanyaan apa itu? Kami datang ke sini untuk melihat ibu," ujar Arya dengan suarabyang sedikit tinggi.
Zara tersenyum kecut, lalu berdiri. "Apa kalian lupa? Karena kalian, Ibu sakit, Ibu menderita. Jadi, kalian tidak punya hak untuk sekadar mengunjungi makam Ibu. Pergi kalian!" kata Zara mengusir.
"Zara, jangan keterlaluan kamu! Aku ayahmu, bagaimana pun ibumu adalah mantan istri ayah. Kakak-kakakmu ini adalah kakakmu, anak Ibu juga," kata Setyo tegas.
"Tidak! Bagi Zara, kalian bukan siapa-siapaku lagi. Kalian hanya pengkhianat, gila harta. Pergi sana! Pergi ...!" teriak Zara, lalu kembali menangis.
Oma Ratna yang melihat itu langsung memeluk sang cucu dan berkata, "Zara, Sayang. Tenangkan dirimu, Nak. Kita berada di pemakaman."
Setyo dan keluarganya yang kesal dengan sikap Zara akhirnya benar-benar pergi. Sementara Alif yang melihat kepergian mereka langsung mengikuti mereka dari belakang.
"Maafkan sikap istri saya. Dia seperti ini karena masih shock dengan kepergian Ibu," ucap Alif mencoba memperbaiki keadaan yang sempat panas karena kemarahan sang istri. Bagaimana pun, mereka tetaplah keluarga, begitu pikir Alif.
Benar saja, Setyo yang tadi kesal dengan sikap putri bungsunya itu kini hanya menangguk sambil membuang napas kasar, lalu masuk ke dalam mobil. Akan tetapi, berbeda dengan Arya, Lita, dan David. Ketiganya justru semakin kesal melihat Alif saat ini. Mereka bahkan menatap remeh Alif seolah-olah pria itu begitu rendah di mata mereka.
"Katanya dosen, mendidik istri saja tidak becus!"
"Mungkin saja selama ini Zara tertekan karena kau tidak memberinya kemewahan seperti yang kami miliki!"
"Atau bisa jadi Zara tidak bahagia, makanya dia berbicara seperti itu."
Kata demi kata yang keluar dari mulut ketiga kakak iparnya itu benar-benar menohok hati Alif. Tangan pria itu mengepal kuat meski tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya hingga mereka pergi meninggalkan pemakaman umum tersebut.
.
.
Malam telah tiba, Zara memasuki kamar dengan mata sembab dan lemas. Ia langsung duduk di pinggir tempat tidur dengan tatapan kosong. Sementara Alif mengamati wanita itu tanpa berkomentar sambil duduk di sofa. Sungguh ia tak ingin mengganggu sang istri untuk saat ini.
"Seharusnya Bapak tidak perlu meminta maaf kepada mereka! Mereka yang salah, mereka yang tidal tahu malu!" ucap Zara kemudian. Rupanya, ia sempat mendengar percakapan Alif dengan ketiga kakaknya yang berujung hinaan pada sang suami.
Alif mengerutkan dahinya menatap sang istri. "Jasmine, mereka itu keluarga kamu, ayah kamu, bisa-bisanya kamu mengusirnya dalam keadaan seperti tadi." Alif mencoba menasihati Zara. Sayangnya, perkataan Alif justru menjadi boomerang bagi dirinya.
"Memangnya kenapa? Mereka bukan lagi keluargaku! Jika memang Bapak lebih membela mereka, ya, sudah, tinggal saja bersama mereka! Semua laki-laki memang sama, tak mengerti perasaan wanita."
"Jasmine!"
.
.
#bersambung#