Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 15 Mari Kita Rujuk
Laras terdiam sejenak, namun keterkejutan di matanya langsung berganti dengan kemarahan yang tertahan.
Suara di seberang telepon masih terngiang di telinganya.
“Saya melihat Tuan Adrian menggendong seorang anak kecil setelah turun dari mobil, Nyonya.”
Tangan Laras mengepal, otot-otot rahangnya menegang hingga giginya bergemelutuk. Dadanya terasa berat, seolah-olah ada bara api yang menyala di dalamnya.
“Anak kecil… siapa dia?”
“Saya belum menyelidikinya lagi, Nyonya.”
“Segera cari tahu.” nada bicara Laras penuh ancaman. “Kamu tahu kan, aku membayarmu bukan untuk asal melapor. Semua gerak-gerik mas Adrian harus kamu pantau tanpa ada yang terlewat. Jangan sampai gagal, atau kamu tahu akibatnya.”
“Baik, Nyonya. Saya mengerti.”
Sambungan telepon terputus.
Laras terjatuh lemas di ranjang, tetapi matanya tetap menatap tajam pada layar ponselnya. Jarinya bergerak menelusuri foto-foto yang baru saja diterima.
Di salah satu foto, pria yang selama ini ia sebut sebagai suami itu tampak tersenyum, memeluk seorang anak kecil dengan penuh kelembutan yang tak pernah ia tunjukkan padanya.
“Siapa bocah ini sebenarnya?” bisik Laras lirih. “Kenapa dia terlihat begitu mirip dengan Adrian?”
Pikirannya langsung tertuju pada Kania–mantan istri Adrian yang hanya sempat menjadi bagian dari hidup pria itu untuk satu hari.
Mereka bercerai secepat angin berlalu, tapi sekarang… Atau mungkinkah selama ini mereka berselingkuh di belakangnya hingga Kania hamil?
“Nggak mungkin!” Laras menepis pikiran itu, mencoba menyangkal kemungkinan yang semakin menyesakkan dada.
“Kalaupun anak itu memang anak mas Adrian entah dengan Kania atau perempuan lain, aku tidak peduli. Anak itu adalah penghalang.” Laras geram. “Penghalang untuk aku mendapatkan hakku sebagai istri Adrian, untuk menjadi satu-satunya yang mengandung darah dagingnya!”
Seringaian kecil menghiasi bibirnya, licik dan penuh niat jahat. “Aku harus menyingkirkan bocah itu bagaimanapun caranya.”
***
Di sebuah apartemen sederhana, Adrian duduk di ruang tamu bersama Kania.
Suasana terasa berat dan tegang, terutama karena Reno uga berada di sana tak lama setelah Adrian tiba.
Sementara itu, Enzio—bocah kecil yang menjadi pusat konflik ini—duduk di pangkuan Adrian, terlihat begitu nyaman bersama pria yang tidak pernah ia panggil ayah itu.
“Bibi, bisa bawa Zio ke kamarnya sebentar?” Kania memecah keheningan.
“Nggak, Ma! Zio mau di sini sama Om Tampan!” Enzio memeluk Adrian erat, menolak untuk berpisah.
Wajah mungilnya terlihat cemberut, namun malah membuat Reno tersenyum geli melihat betapa menggemaskannya keponakan kecilnya itu.
“Sini, Zio. Kita main sebentar di kamar ya? Om Reno mau lihat kamu kalahkan robot-robotan yang kemarin Om belikan,” bujuk Reno dengan lembut.
Enzio melirik ke arah Adrian, mencari persetujuan. Pria itu mengangguk, memberikan isyarat kecil yang membuat Enzio menurut, meski wajahnya seolah tidak rela berpisah dengan Adrian.
Begitu Enzio masuk ke dalam kamar bersama Reno dan Bi Inah, Kania langsung menatap Adrian dengan sorot mata tajam.
“Sudah berapa kali aku bilang, Mas? Jangan muncul di sini seenaknya, apalagi mendekati Zio. Bagaimana kalau Laras tahu?” ucap Kania, berusaha terdengar tegar.
Kania tahu, Adrian datang tanpa sepengetahuan istrinya yang kini sah di mata hukum.
“Laras tidak akan tahu,” balas Adrian penuh keyakinan. “Dan kalaupun seandainya dia tahu, aku tidak akan membiarkan dia menyentuh Zio. Aku tidak akan membiarkan dia menyakiti putra kita, Kania.”
“Putra kita?” Mata Kania berkilat marah, suara yang selama ini tertahan kini keluar bagai semburan api. “Dimana kamu saat aku mengandungnya selama sembilan bulan? Saat aku menghadapi hinaan dan cemoohan orang-orang karena dianggap perempuan tanpa harga diri yang mengandung anak di luar nikah? Di mana kamu, Mas?”
Bibir Kania bergetar, menahan luka lama yang ia coba kubur dalam-dalam.
“Zio sering sekali bertanya tentang ayahnya, berharap ayah yang tidak pernah ia temui suatu hari akan datang memeluknya. Tapi apa? Yang dia dapatkan hanya cibiran teman-temannya, kalau dia adalah—”
Kata-katanya terputus ketika tiba-tiba Adrian menarik Kania dalam pelukannya. Ia bisa merasakan tubuh wanita itu bergetar dalam pelukannya.
Semua rasa sakit yang selama ini tertahan akhirnya terbuka seperti luka yang menganga.
Adrian merapatkan pelukannya, seolah-olah dengan cara itu ia bisa menghapus semua penderitaan yang pernah ia sebabkan. Sungguh, Adrian benar-benar menyesal karena percaya begitu saja dengan video dan foto yang Laras kirimkan malam itu.
Setelah beberapa saat, Kania akhirnya tenang. Adrian mengendurkan pelukannya, menatapnya penuh penyesalan.
“Maafkan aku,” bisiknya.
Kania hanya menggeleng, mengusap air matanya yang tersisa. “Semua sudah terjadi. Pergilah. Kalau kamu terus datang ke sini, aku dan Enzio yang akan berada dalam bahaya. Laras bukan orang yang mudah menerima kenyataan.”
Adrian tak bergeming, ia tetap menatap dalam-dalam mata Kania.
“Kania, ayo kita mulai lagi dari awal. Demi Enzio… demi keluarga kita. Mari kita rujuk.”
Kania terdiam, hatinya berkecamuk.
Kata-kata Adrian membekas di hatinya, mengguncang semua dinding pertahanan yang sudah ia bangun selama bertahun-tahun.