Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Pagi itu, aku bangun dengan perasaan cemas yang menggantung di udara. Bayangan pertemuan Dion dengan perempuan di kantornya terus menghantui pikiranku. Malam sebelumnya, aku hampir tidak bisa tidur, memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Aku tidak tahu apa yang akan kukatakan pada Dion, atau bagaimana dia akan bereaksi. Yang kutahu, aku tidak bisa lagi hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian ini.
Ketika aku turun ke ruang tamu, Dion sudah duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tangan. Tatapannya kosong, terlihat jauh lebih serius dari biasanya. Dia menatapku ketika aku masuk, tapi tak ada senyum atau sapaan hangat seperti biasanya. Hanya keheningan yang menyelimuti ruangan.
“Kirana, kita perlu bicara,” ucapnya singkat, seolah tahu aku akan mengajukan banyak pertanyaan.
Aku mengambil tempat duduk di seberang meja, berusaha mengatur napas yang sejak tadi terasa sesak. "Ya, kita memang harus bicara," balasku dengan nada tegas.
Sebelum aku sempat melanjutkan, Dion menarik napas panjang. “Aku tahu kamu melihat sesuatu di kantor kemarin.”
Degup jantungku semakin cepat. Bagaimana dia tahu? Apa dia menyadari bahwa aku ada di sana, mendengarkan pembicaraannya dengan perempuan itu?
“Kirana, biarkan aku jelaskan dulu,” lanjutnya sebelum aku sempat menjawab. "Perempuan itu, namanya Laras. Dia adalah rekan bisnis, dan aku hanya membantu dia dengan beberapa proyek. Tidak lebih dari itu."
Aku menatapnya dengan ragu. “Tapi kamu terlihat sangat dekat dengannya, Dion. Dan kenapa kalian makan malam bersama tanpa memberitahuku?”
Dion menghela napas berat, menundukkan kepalanya sejenak. “Laras memang dekat denganku karena kami sering bekerja sama, tapi aku tidak pernah menyembunyikan apa-apa darimu. Kamu tahu, pekerjaanku menuntutku bertemu banyak orang, termasuk dia.”
Aku merasakan diriku sedikit goyah. Penjelasannya terdengar masuk akal, tapi entah kenapa hatiku masih merasa tidak nyaman. Ada sesuatu yang dia sembunyikan, sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan bisnis biasa. Aku bisa melihatnya di matanya, ada kegelisahan yang tidak biasa.
“Kenapa kamu tidak pernah bilang tentang dia sebelumnya?” tanyaku, mencoba menahan perasaan tidak percaya yang terus menggerogoti.
Dion mengangkat bahu, seolah tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaanku. "Aku tidak berpikir itu perlu. Ini hanya urusan kerja."
Aku menatapnya dalam-dalam, berusaha mencari kebenaran di balik kata-katanya. Tetapi, semakin lama aku memikirkannya, semakin banyak keraguan yang muncul. Lalu, tanpa bisa menahan diri lagi, aku mengungkit hal yang sudah lama menyakitiku.
"Dan soal anak," kataku pelan tapi tegas. "Kamu tahu betul betapa pentingnya hal ini buatku, tapi kamu terus menghindar. Sekarang, Ibumu bahkan berani menuduhku mandul."
Dion terdiam sejenak, tampak terkejut dengan perubahan topik. "Kirana, soal itu—"
"Aku sudah periksa ke dokter, Dion," potongku, mengeluarkan hasil tes dari dalam tas. "Aku tidak mandul. Masalahnya bukan di aku."
Dia terdiam, wajahnya berubah pucat saat aku menyerahkan hasil pemeriksaan itu ke tangannya. Dia membacanya dengan cepat, lalu menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kebingungan, ada rasa bersalah, tapi yang paling menyakitkan adalah rasa takut yang tampak jelas di matanya.
“Aku...” Dion mencoba berkata-kata, tapi suaranya tertahan di tenggorokan.
Aku tahu ini saatnya untuk menyelesaikan segalanya. Aku tidak bisa terus-menerus hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian, apalagi membiarkan mertuaku menghancurkan pernikahan ini dengan tuduhan yang tidak berdasar. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan Dion harus mengakui apa yang selama ini dia sembunyikan dariku.
“Aku sudah muak dengan kebohongan, Dion,” kataku dengan suara bergetar, tapi tegas. “Aku sudah terlalu lama sabar. Jika kamu tidak mau jujur padaku, mungkin lebih baik kita akhiri saja semuanya.”
Tatapannya terbelalak mendengar ucapanku. "Kirana, jangan bicarakan soal itu. Aku mencintaimu, tapi aku hanya butuh waktu untuk memikirkan segalanya."
“Memikirkan apa?” Aku menatapnya tajam. “Kamu bilang tidak ada yang perlu disembunyikan, tapi kamu terus membuatku merasa seperti aku yang salah. Dan sekarang, dengan semua ini... Aku butuh penjelasan, Dion. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Dion terdiam lama, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat. Namun, ketika dia akhirnya berbicara, suaranya terdengar penuh rasa bersalah. "Kirana, aku... aku belum siap untuk punya anak. Bukan karena kamu atau karena masalah kesehatan. Ini... ini lebih dari itu."
Aku merasa darahku berdesir mendengar pengakuan itu. “Jadi, selama ini kamu sengaja menghindar? Kamu tahu betapa pentingnya ini bagiku, tapi kamu tidak pernah bilang apa-apa. Kenapa?”
Dion menunduk, menatap lantai seolah mencari jawaban di sana. “Aku... Aku takut, Kirana. Aku tidak tahu apakah aku bisa menjadi ayah yang baik. Dan Ibu, dia terus memaksakan kehendaknya. Itu membuatku semakin bingung.”
Aku menggeleng, merasa semakin frustasi. "Bingung? Itu bukan alasan untuk menyakitiku. Kamu seharusnya jujur sejak awal!"
Dion hanya bisa terdiam, wajahnya menampakkan rasa bersalah yang begitu jelas. Aku tahu dia tersudut, tapi itu tidak menghapuskan rasa sakit yang kurasakan.
Tiba-tiba, pintu depan terdengar terbuka, dan suara langkah kaki mendekat. Aku menoleh dan melihat Bu Ningsih masuk dengan ekspresi penuh kemenangan di wajahnya. Dia membawa sebuah amplop tebal di tangannya, berjalan langsung ke arah kami.
"Aku sudah bilang, kan?" Bu Ningsih berkata dengan nada penuh kepuasan. "Anak ini tidak siap menjadi ayah, Kirana. Sudah saatnya kamu sadar. Perceraian adalah jalan terbaik."
Aku terkejut mendengar kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya, tanpa basa-basi. Dion tampak terkejut juga, tapi dia tidak berkata apa-apa. Itu membuatku semakin marah. Bagaimana bisa dia membiarkan ibunya menghina pernikahan kami seperti ini?
"Apa maksud Ibu?" tanyaku dengan nada tajam.
Bu Ningsih tersenyum tipis, lalu mengangkat amplop yang dibawanya. "Ini hasil tes Dion. Aku tahu kamu sudah memeriksakan dirimu, tapi kamu lupa satu hal. Kesuburan bukan hanya soal perempuan, Kirana."
Amplop itu diayunkan ke meja di depan kami, dan aku hanya bisa menatapnya dengan perasaan bercampur aduk. Ada sesuatu yang mengerikan tentang cara Bu Ningsih membawa ini semua. Hatiku berdebar kencang, sementara Dion masih terdiam, tidak berusaha membela diri atau menolak intervensi ibunya.
"Silakan buka," kata Bu Ningsih dingin. "Ini akan menjelaskan semuanya."
Aku merasakan napasku semakin berat. Apa yang ada di dalam amplop itu? Apa Dion tahu soal ini? Kenapa dia tidak mengatakan apa-apa padaku? Semua pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku, tapi tanganku terulur untuk mengambil amplop tersebut.
Aku membuka segel amplop dengan tangan gemetar. Di dalamnya ada beberapa lembar kertas, dan ketika aku mulai membacanya, seluruh tubuhku terasa seperti ditarik ke dalam pusaran kegelapan. Hasil tes menunjukkan sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya.
Dion...
Aku tak bisa menyelesaikan pikiranku. Pandanganku kabur, mataku berkaca-kaca, tapi satu hal yang jelas semuanya akan berubah setelah ini.