Liu Wei, sang kultivator bayangan, bangkit dari abu klannya yang dibantai dengan Pedang Penyerap Jiwa di tangannya. Dibimbing oleh dendam dan ambisi akan kekuatan absolut, dia mengarungi dunia kultivasi yang kejam untuk mengungkap konspirasi di balik pembantaian keluarganya. Teknik-teknik terlarang yang dia kuasai memberinya kekuatan tak terbayangkan, namun dengan harga kemanusiaannya sendiri. Di tengah pertarungan antara takdir dan ambisi, Liu Wei harus memilih: apakah membalas dendam dan mencapai keabadian lebih penting daripada mempertahankan sisa-sisa jiwa manusianya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pralam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tangga Menuju Takdir
Udara semakin dingin saat Liu Wei, Guru Feng, dan Biksu Hui Chen mendaki tangga melingkar menuju puncak Pagoda Seribu Kabut. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah gravitasi sendiri menentang niat mereka.
"Pagoda ini," Hui Chen menjelaskan sambil terengah, "dibangun oleh para pendiri kuil untuk menyegel energi spiritual yang terlalu kuat untuk dikendalikan. Setiap lantai..." dia berhenti sejenak untuk mengatur napas, "...memiliki ujiannya sendiri."
Liu Wei mengangguk dalam diam. Dia bisa merasakannya - tekanan qi yang semakin intens seiring mereka naik. Di sampingnya, Pedang Penyerap Jiwa bergetar halus, seolah beresonansi dengan energi pagoda.
Lantai ketujuh membawa mereka ke ruangan dengan dinding cermin. Liu Wei melihat refleksi dirinya - tapi ada yang berbeda. Bayangannya seolah bergerak sendiri, menampilkan versi dirinya yang lebih gelap, lebih dipenuhi dendam.
"Jangan lihat terlalu lama," Guru Feng memperingatkan, menarik Liu Wei menjauh. "Cermin-cermin ini menunjukkan kemungkinan masa depan yang gelap. Banyak kultivator yang terjebak di sini, tergoda oleh visi kekuatan absolut."
Seperti Kaisar Bayangan dulu? Liu Wei bertanya-tanya dalam hati.
Seolah menjawab pikirannya, suara familiar bergema dalam benaknya: *"Kekuatan sejati bukan tentang menghindari kegelapan, tapi tentang menghadapinya tanpa kehilangan cahayamu sendiri."*
Lantai kesembilan membawa tantangan berbeda. Ruangan dipenuhi kabut tebal yang membuat mereka sulit bernapas. Liu Wei bisa mendengar bisikan-bisikan - suara orang-orang yang dia kenal, yang telah pergi.
"Wei'er..." suara ibunya memanggil dari kabut. "Kenapa kau tidak menyelamatkan kami?"
"Adik sepupu..." suara Lin Feng, teman masa kecilnya yang tewas dalam pembantaian klan. "Kau sudah lupa pada kami?"
Liu Wei menggertakkan gigi, tangannya gemetar. "Ini ilusi," dia memaksakan diri untuk tetap melangkah. "Mereka bukan nyata."
Guru Feng meraih tangannya, memberikan dorongan semangat tanpa kata-kata. Di sisi lain, Biksu Hui Chen mulai merapalkan mantra, menciptakan perisai energi yang mendorong kabut menjauh.
Akhirnya, setelah yang terasa seperti selamanya, mereka mencapai lantai teratas. Ruangan bundar dengan langit-langit kubah kristal yang memantulkan cahaya rembulan. Dan di tengahnya, berdiri di atas altar batu...
"Cermin Takdir Berkabut," Hui Chen berbisik dengan nada hormat.
Cermin itu tampak sederhana - sebuah cermin perunggu bundar dengan ukiran kuno di pinggirannya. Tapi Liu Wei bisa merasakan kekuatan kuno yang terpancar darinya.
"Sebelum kau melangkah maju," Guru Feng berkata serius, "kau harus yakin, Wei'er. Cermin ini akan menunjukkan padamu jalan yang harus kau tempuh, tapi dengan harga yang setimpal. Ingatan yang akan diambil... bukan hanya kenangan, tapi juga bagian dari jiwamu."
Liu Wei menatap cermin itu, melihat refleksi dirinya yang tampak ragu. Di belakangnya, dia bisa melihat bayangan samar Lin Xiao Mei - tersenyum sedih, seolah menunggunya untuk menyelamatkannya dari takdir yang sama yang telah menjeratnya.
"Aku sudah kehilangan segalanya sekali," Liu Wei akhirnya berkata. "Jika aku harus kehilangan sebagian diriku untuk menyelamatkan orang lain dari kehilangan yang sama... maka itu adalah harga yang akan kubayar."
Dia melangkah maju, tangannya terangkat untuk menyentuh permukaan cermin. Saat jarinya bersentuhan dengan logam dingin itu, dunia di sekelilingnya meledak dalam ribuan serpihan cahaya.
Dan saat kesadarannya mulai memudar, Liu Wei bisa mendengar suara Kaisar Bayangan - bukan lagi dipenuhi ambisi dan dendam, tapi dengan pemahaman yang dalam:
"Terkadang, untuk menemukan jalan ke depan... kita harus rela melepaskan siapa diri kita di masa lalu."
Guru Feng dan Biksu Hui Chen mengawasi dalam diam saat tubuh Liu Wei melayang beberapa senti dari lantai, dikelilingi energi keemasan dari cermin. Mereka tahu - saat dia membuka mata nanti, Liu Wei yang mereka kenal mungkin tidak akan sama lagi.
Tapi itulah harga dari takdir - dan jalan kultivasi yang telah dia pilih.