"Apa dia putrimu yang akan kau berikan padaku, Gan...?!!" ujar pria itu dengan senyuman yang enggan untuk usai.
Deg...!!
Sontak saja otak Liana berkelana mengartikan maksud dari penuturan pria tua berkelas yang berada di hadapannya tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itsaku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesedihan Kakek
Kakek Sudibyo melihat jam tangan mahalnya, ketika mendapati sang cucu masih berada di perpustakaan. Sebenarnya kakek itu tahu akan sulit menjalani semua ini bagi dua orang yang sangat dia sayangi. Tapi kalau terus-terusan tidak mau mencoba berdamai dengan keadaan, ya mereka tidak akan bisa menjalani hubungan dengan baik.
"Tidak baik membiarkan seorang istri sendirian di kamarnya." ujar kakek sambil melangkah mendekati Haris.
Haris tidak terkejut sama sekali, karena dia mendengar suara mobil sang kakek memasuki halaman. Sama halnya dengan kakek Sudibyo yang tidak kaget sedikitpun mendapati cucunya di rumah. Karena begitu Haris datang, salah satu pekerja di rumah itu langsung lapor pada kakek Sudibyo.
"Setidaknya Haris tidak meninggalkan dia di hotel." sahut Haris sekenanya.
"Kalau kamu memang berniat seperti itu, kenapa tidak kamu lakukan saja?" begitu balasan sang kakek.
Haris tidak ingin ribut dengan kakeknya, sehingga dia memilih tidak lagi membalas dan segera pergi.
"Haris..." ucap kakek saat Haris melewatinya tanpa bertatap muka.
Haris pun menghentikan langkahnya, ketika mendengar namanya dipanggil dengan suara yang lembut namun terkesan tegas itu.
"Maafkan kakek. Tapi percayalah kelak kamu akan bahagia bersama Liana." tuturnya.
Haris pun memutar tubuhnya, lalu menatap sang kakek dengan ekspresi yang sangat datar dan dingin.
"Tidak akan pernah, kek. Kebahagiaan Haris hanya Vanya. Bagi Haris, istri Haris cuma satu. Yaitu Vanya!" tegas Haris serius dan penuh penekanan di setiap kalimat yang keluar dari bibirnya.
Kakek hanya tersenyum simpul. Tidak ingin membalas lagi ucapan sang cucu. Baginya, Haris sudah terpapar virus cinta buta. Sehingga otaknya hanya berisikan Vanya, Vanya, dan Vanya.
"Lagaknya kayak tidak peduli sama Liana. Lihat saja, cepat atau lambat kamu pasti sadar kalau Liana lebih segalanya dibanding perempuan tidak jelas itu." gumam kakek saat sang cucu telah meninggalkan perpustakaan.
Setelah mematikan lampu ruangan penuh buku itu, kakek pun segera pergi ke kamarnya. Wajahnya tampak sendu. Kakek merindukan kehangatan seorang cucu yang sangat dia sayangi, siapa lagi kalau bukan Haris. Tapi semenjak kehadiran Vanya, mereka selalu ribut jika sudah membahas soal Vanya. Apalagi setelah pernikahan Haris dan Liana, sikap Haris semakin dingin terhadap kakeknya.
___
Di dalam kamar...
"Nona, rasanya aku harus kembali, deh. Siapa tahu sebenarnya tuan muda ingin masuk kamar. Tapi karena ada aku, dia tak enak hati." tutur Anisa.
"Mana ada..., yang jelas dia itu malah ingin menghindariku." balas Liana yang sama sekali tidak membenarkan tanggapan Anisa.
"Aneh, deh. Kok ada pria yang tidak jatuh cinta sama nona, ya?" gumamnya.
"Nisa!" sahut Liana. "Apa menurutmu semua pria harus jatuh cinta padaku, begitu?!" ujar Liana.
"Heheheee...!!" Anisa hanya tertawa. "Tapi benar, nona. Nona itu cantik, baik, aneh kalau tuan muda tidak jatuh cinta sama nona." katanya lagi.
"Anisa, sayangku..." Liana mencubit pipi Anisa yang tidak chubby. "Mas Haris itu seorang pria beristri. Kalau dia tidak mencintaiku, itu artinya dia hanya mencintai istrinya. Dan saking cintanya, dia bisa melakukan apapun demi istrinya."
"Termasuk menikahi, nona?" celetuk Anisa. Liana menatapnya penuh tanda tanya.
Iya, semua orang di rumah mewah itu sudah mengetahui semuanya. Perihal hubungan Haris dengan Vanya, dan desas-desus alasan Haris bersedia menikah lagi juga mulai menyebar di dalam rumah kakek Sudibyo.
"Jujur saja nona. Kalau seperti ini, aku jadi kepikiran sama nona." katanya.
"Jangan lebay, aku baik-baik saja. Selama kamu bersamaku." balas Liana.
"Kalau memang begitu, aku akan selalu setia menemani nona. Siap 24 jam!!" Anisa memberi hormat pada Liana layaknya peserta upacara.
"Ya sudah, nona. Aku turun ya, takutnya tuan muda sebentar lagi datang." begitu kata Anisa.
"He'em." balas Liana setelah melihat jam tangannya. "Aku juga mau melanjutkan tugasku."
Liana kemudian mengantar Anisa sampai depan pintu.
"Kalau nona butuh sesuatu calling me, oke...!!" ujar Anisa sebelum benar-benar pergi.
"Aish..., sudah berapa kali kamu mengatakan itu. Aku mendengarnya setiap hari, bahkan setiap kita bersama." balas Liana.
"Nggak apa-apa, dong. Kan sayang..." sahut Anisa.
"Aaah..., so sweet...!!!" Liana berakting seolah tengah dirayu pacarnya.
"Sudah, ah. Aku pergi dulu, nona..." Anisa melambaikan tangannya pada Liana layaknya seorang teman.
"Bye...!!" Liana pun melakukan hal yang sama.
Anisa terkejut saat dia balik badan, karena dia melihat Haris yang tak jauh dari posisinya saat ini. Sedangkan Liana tampak biasa saja. Dia pun masuk kamar tanpa menutup pintu.
"Selamat malam, tuan muda..." Anisa menyapa tuannya sambil membungkuk.
Dan yang disapa tak menyahut sedikitpun. Dia berjalan menuju ke kamarnya.
"Aku harap ini yang terakhir kalinya dia berada di kamar ini hingga larut malam." begitu tutur Haris setelah menutup pintu.
"Baiklah." jawaban Liana terdengar biasa saja. Bahkan kelewat santai, seakan dia tidak peduli kalau lawan bicaranya adalah suaminya sendiri.
Keduanya tidak langsung tidur, tidak juga memilih pura-pura tidur seperti pasangan yang berada di suasana canggung pada umumnya. Liana sibuk dengan laptopnya karena tugas kuliah yang harus segera diselesaikan. Sedangkan Haris sibuk berkirim pesan dengan istrinya yang lain.
Hampir satu jam Liana baru menyelesaikan tugasnya. Dia menoleh ke arah kasur, dimana Haris sedang duduk sambil memainkan ponselnya.
"Ya Tuhan..., apa aku bisa terus seperti ini...?!" batin Liana.
Liana mengemasi laptopnya, kemudian meletakkan ke tempat semula. Setelah itu dia mengambil selimut dan bantal, karena dia memilih tidur di sofa. Sofa di kamar itu cukup besar dan nyaman. Berbeda dengan yang di hotel. Dan Liana juga sudah beberapa kali ketiduran di sofa tersebut sebelum menikah dengan Haris.
Haris tetap cuek, dia memilih diam dan membiarkan Liana dengan segala tingkahnya.
___
Pagi yang cerah, Liana membuka gorden yang menutupi jendela kaca besar di kamarnya. Kemudian keluar ke balkon untuk menghirup udara pagi yang segar.
Saat mendengar pintu ruang wardrobe terbuka, Liana sengaja menoleh ke belakang. Dia hanya ingin tahu, apakah Haris memakai setelan kerja yang dia pilihkan atau tidak. Dan jawabannya tentu saja tidak.
Saat Haris keluar dari kamar, Liana segera pergi ke ruangan itu dengan langkah malas. Dan dia menghembuskan nafas panjang setelah melihat baju yang dia pilihkan masih tergantung di tempatnya. Tak tersentuh sedikitpun. Liana pun mengembalikannya ke dalam almari.
Tok... Tok... Tok...
Liana mendengar suara pintu diketuk. Dia pun bergegas membukanya.
"Pagiii, nona...!!"
Asisten rumah tangga kesayangan Liana tampak berdiri di hadapannya dengan senyuman yang sangat manis.
"Bahagia sekali rupanya. Ada apa?" balas Liana tanpa keluar dari kamar ataupun mempersilahkan Anisa masuk.
"Tidak ada. Bukannya setiap hari aku seperti ini...?" sahut Anisa.
"Baiklaaah, terus ada apa kemari? Aku tidak memanggilmu yaa..." ucap Liana.
"Nona ditunggu tuan besar sarapan di bawah." begitu kata Anisa.
"Katakan pada kakek, aku akan turun sebentar lagi." ujarnya. "Mas Haris di sana juga?" tanya Liana.
"Tidak, nona. Tuan muda langsung pergi tanpa menunggu tuan besar keluar." jawab Anisa.
"Manusia itu yaaa!!" gumam Liana kesal. "Dia boleh tidak menghargai aku. Aku tidak masalah. Tapi kenapa makin kesini dia jadi tidak menghormati kakek." umpatnya.
"Sudah nona, jangan dipikirkan. Sebaiknya nona segera turun ya." ujar Anisa.
"Iya, kamu duluan saja." katanya.
Setelah merapikan kembali perlengkapan Haris yang tadi dia keluarkan, Liana segera turun dan bergabung di meja makan bersama kakek Sudibyo.
"Pagi, kek..." sapa Liana.
"Kakek pikir kamu akan seperti Haris, tang tidak mau sarapan bersama kakek." gerutu si kakek.
"Tidak, kek. Aku tadi kebetulan sedang merapikan kamar." balas Liana yang tidak sepenuhnya berbohong.
"Kan ada Anisa. Kenapa mesti repot-repot?" sahut kakek lagi.
"Kek..., dulu memang semua dikerjain sama Anisa. Tapi sekarang kan di kamar itu ada mas Haris juga. Aku hanya khawatir kalau mas Haris keberatan orang lain menyentuh barang pribadinya." tutur Liana.
"Kamu memang istri yang baik. Kakek harap kamu bisa sabar dengan sikap Haris, ya." kakek tersenyum manis dengan tatapan hangat pada Liana.
"Ya sudah, ayo sarapan. Biar aku yang ambilkan untuk kakek."
"Seandainya Haris ada di sini juga, pasti suasananya akan lebih menyenangkan." batin kakek.
Liana bisa menangkap aura kesedihan di mata kakek Sudibyo. Liana pun mulai berpikir untuk bicara dengan Haris.
......................