Anton Nicholas Akbar, 27 tahun, sebelumnya bernama Anton Nicholas Wijaya. Arsitek muda dari B Group dengan jabatan sebagai Direktur Divisi Architecture & Landscaping di B Group.
Hal yang baru ia sadari, ternyata dia bukanlah yang dia kira. Dia bukan cucu kandung di Keluarga Wijaya. Dia bukan orang Indonesia. Dia juga bukan lelaki biasa karena darah biru yang mengalir dari orangtuanya.
Tanda lahir berbentuk bulan sabit biru, membuatnya harus menerima takdirnya sebagai penerus dari Legenda Bulan Sabit Biru juga sebagai satu-satunya pewaris Wang Corporation di Negeri Cina.
Sebelum itu, ia harus menemukan Gadis Lotusnya agar dapat memenuhi takdirnya. Sebagai pewaris dan juga sebagai Pangeran Bulan Sabit Biru.
Dibantu para Naga yang merupakan sahabatnya juga mafia Spanyol dan Yakuza untuk melawan Kelompok Belati Hitam yang tergabung dalam TRIAD.
Novel sekuel dari 3 novel sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ough See Usi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 – DAMIAN WIJAYA
🌷biasakan beri like di setiap babnya, jangan menabung bab untuk penilaian retensi pembaca, dimohon kerjasamanya 🌷
...----------------...
Meeting selesai 10 menit kemudian. Bramasta menginginkan The Cliff segera dibangun. Pembersihan lahan akan dilakukan segera mungkin.
Anton membereskan berkas-berkas dan kabel presentasi. Sengaja ia berlambat-lambat. Ia tidak bersemangat untuk menemui Damian.
10 menit ia tambahkan dari 20 menit yang sudah lewat. Ia menghubungi resepsionis di bawah sana.
“Suruh naik saja, Mbak. Siapa tadi namanya?” Anton meringis saat dia berpura-pura lupa.
Tapi hatinya puas. Cucu yang sudah melupakan nenek yang mengasuhnya pantas diperlakukan seperti itu.
Ia tidak mempermasalahkan Damian tidak mengingat ataupun mengunjungi dirinya setelah beberapa lama. Tapi ia sakit hati dengan perlakuan Damian kepada Nainai.
Anton tengah memeriksa rancangan teamnya untuk gedung kantor cabang B Group di Bandung Timur saat Damian masuk.
Anton berhenti menatap layar komputernya saat Damian memanggil namanya. Saat itu dirinya berdiri di pintu ruang kerja.
“Anton, boleh aku masuk?”
Anton menyingkirkan mousenya dan berdiri. Menatap Damian sambil memindainya. Anton mengangguk lalu mempersilahkannya duduk di depan meja kerja. Bukan di sofa.
Sengaja ia memberi kesan formal dan kaku kepada Damian.
“Hai Koh. Apa kabar?” Anton tersenyum tipis sambil menyalami Damian. Jabat tangan formal.
“Ng... Ya begini..,” Damian tampak salah tingkah.
“Koh Damian makin gemuk dari terakhir kali kita bertemu. Artinya makin makmur, ya?” Anton tersenyum.
Damian menggelengkan kepalanya.
“Mau minum apa? Saya pesankan di kafetaria.
“Apa saja...”
Anton hampir saja tertawa melihat kekakuan Damian. Dirinya yang terbiasa mendikte keinginan dan harus dilayani kini terlihat sangat inferior.
“Mas Parto, tolong bawakan ice black americano dua ya ke ruangan saya. Juga paket snack kombinasinya untuk 2 orang,” Anton meletakkan gagang telepon pesawat interkomnya.
Seseorang mengetuk pintu.
“Masuk...,” seru Anton.
“Siang Pak...,” anak buahnya masuk sambil membawa map berkas.
“Ini laporan progres pekerjaan di site resort di Sukabumi. Akhir pekerjaan dari sub kontraktor lantai dan dinding ya Pak.”
Anton membuka map berkas. Memeriksanya sebelum menandatangani.
“Minta progress site Bandung Timur ya. Sekalian bawakan katalog batu untuk lantai.”
“Katalog saja, Pak? Nggak sample-nya?”
“Kuat kamu bawanya? Berat loh,” Anton menatap gadis itu sambil tertawa.
“Kan ada troli, Pak. Lagipula ada OB juga yang bisa bantu saya.”
“OK. Hati-hati bawanya ya.”
Damian memperhatikan itu semua dengan mulut terbuka. Sorot matanya dipenuhi rasa iri.
Sama seperti dulu saat Nainai menghadiahkan Buddy di ulangtahunnya yang kesepuluh sementara untuk Damian yang berusia 12 tahun Nainai memberikan satu set Hotwheels beserta tracknya sesuai keinginannya.
Sama seperti saat Nainai memberikan hadiah kamera untuknya.
Anton menyerahkan berkas map yang sudah ditandatanganinya sambil menatap wajah Damian. Dia tersenyum miring. Umur boleh bertambah tapi watak seseorang yang sudah menjadi tabiat akan selalu melekat dalam diri orang itu sebagai karakternya.
Petugas kafetaria datang mengantarkan pesanannya.
“Silahkan dicicipi, Koh...”
“Kamu orang sibuk sekali. Sudah sukses kamu orang, Ton.”
Anton hanya tersenyum.
“Ini semua karena restu Nainai. Dan aku yakin Papa dan Mama tetap mendoakan aku.”
Damian tertawa sambil menggelengkan kepala.
“Impossible. Papa dan Mama terlalu takut dengan ancaman Om Paulus dan Tante Sherly. Bahkan untuk sekedar mendoakan kamu orang.”
Nyuuuuut!
Rasanya sakit sekali di dada. Menusuk. Anton berdehem berusaha untuk tidak berpengaruh.
“Kata siapa? Aku toh tetap anak mereka.”
Damian tertawa lagi.
“Bagaimana kabar Cici Grace?” Anton menghentikan tawa Damian yang terdengar memuakkan.
“Masih bergelut dengan tepung tapioka setiap harinya. Membuat adonan kerupuk dan kuku macan.”
“Tidak ada karyawan yang membantunya?”
“Ada tapi sedikit karyawan. Dan untuk masalah adonan, dia tidak mempercayai siapapun. Takut mereka membuka sendiri usaha dengan mencuri resep dan cara pembuatannya lalu merebut pasar kami.”
Anton mengangguk mengerti.
“Tapi Cici Grace hebat. Dia berjuang dengan tangannya sendiri. Keringatnya sendiri. Benar-benar turun langsung di proses produksi.”
Damian tertawa mengejek lagi.
“Bisa-bisa nanti jadi perawan tua si Grace itu. Tangannya selalu belepotan tapioka, bau ikan juga. Mukanya jadi jerawatan...”
“Koh Damian sendiri, apa yang sudah dicapai oleh Kokoh?” Anton menaikkan sebelah alisnya.
“Aku yang mengurus pemasaran di Singapura,” ada nada bangga di suaranya.
Anton menggeleng.
“Yang aku dengar tidak begitu. Atas lobi Mama, kerupuk kemplang dan kuku macan produksinya Ci Grace bisa tembus pasar Singapura. Koh Damian hanya meneruskan saja dan menjaga hubungan baik dengan para pembeli partai besar di sana...”
Sorot mata marah dan tak terima nampak dari mata Damian.
“Tahu apa kamu orang? Sekarang kamu orang adalah orang luar bagi kami!”
Sedetik kemudian dia baru menyadari apa yang baru saja diucapkannya. Dia buru-buru meralatnya.
“Maksudku, kamu orang kan tidak tinggal dengan kami lagi jadi pasti tidak tahu apa-apa yang sebenarnya terjadi pada kami.”
Anton tertawa.
“Aku memang sudah menjadi orang luar bagi kalian. Tapi bukan berarti aku tidak mengetahui apa-apa yang terjadi dengan kalian.”
Damian terlihat tidak enak hati.
“Bahkan aku tahu, Koh Damian membuat Papa dan Mama marah kan? Karena setoran penjualan selama 3 bulan disunat oleh Koh Damian.”
Wajah Damian pias.
“Pacar Koh Damian itu kalau terlalu banyak menuntut materi sebaiknya putuskan saja, Koh. Kalian baru bangkit masa harus ambruk lagi gara-gara memenuhi keinginan pacar?” lancar Anton berbicara.
“Kamu orang...”
“Sebenarnya Koh Damian ada perlu apa bertemu dengan Anton? Toh selama ini Koh Damian tidak pernah menghubungi Anton. Padahal nomor Anton masih nomor yang lama. Beberapa pesan Anton pun tidak terkirim ke nomor Kokoh karena sepertinya nomor Anton sudah diblokir ya?” Anton pura-pura sibuk mengambil buku sketsa di laci mejanya.
“Ng... Itu.. Anu.. Kokoh ganti nomor. Pakai nomor Singapura...”
“Oooh...”
Telepon interkomnya berdering.
“Assalamu’alaikum Pak Boss.” Jeda.
“Baik Pak Boss. Insyaa Allah nanti siang kita pergi bersama.”
“Wa'alaikumusalam...,” Anton meletakkan gagang telepon interkom.
“Ton,” Damian berkata cepat, “Aku mau bekerja di sini. Bergabung dengan B Group. Gajinya dan tunjangannya besar ya di sini. Beri aku tempat sesuai ijazahku. Aku lulusan S2 Singapura. Pasti diterima kan?”
Anton yang sedang menyiapkan materi untuk meeting bersama Bramasta mendadak melongo.
“OK. Ajukan saja CV seperti lainnya. Nanti aku serahkan kepada HRD. Nanti kalau lolos seleksi ada panggilan dari HRD.”
Damian menggeleng kuat.
“Tidak. Aku mau langsung diterima di sini. Kamu orang sudah sukses di sini. Kamu orang bisa jadi orang dalam pemberi referensi buat aku. Kamu orang kan adik aku...,” nada suaranya membujuk.
Anton tertawa.
“Gimana sih? Tadi bilangnya aku sudah jadi orang luar bagi kalian. Sekarang diakui lagi sebagai adik..”
Damian menunduk. Mengaduk es batu dengan sedotannya.
“B Group tidak pernah memakai jasa orang dalam untuk penerimaan karyawan.”
Kilau amarah dan terluka terlihat di sorot mata Damian.
“Tapi aku bisa memberimu pekerjaan tapi bukan di B Group. Dengan syarat, temui Nainai. Tengoklah Nainai. Jangan pernah lupakan Nainai yang pernah mengasuh kita di sela-sela kesibukannya,” Anton mengawasi lekat wajah Damian.
Damian menggeleng kuat. Persis seperti anak kecil yang merajuk.
“Aku hanya mau di B Group. Ijazahku terlalu berharga untuk bekerja di perusahaan kecil. Hanya sekelas B Group ataupun Sanjaya Group yang pantas untuk ijazahku,” Damian menghela nafas sejenak, “Sedangkan bertemu Nainai? Aku sibuk, kau tahu? Mengurus bisnis keluarga di negeri orang tanpa fasilitas, kau pikir itu hal yang mudah? Paman Paulus menguasai semuanya tanpa mau berbagi dengan Papa selaku kakak kandungnya!”
Anton mendengus kesal.
“Berapa IPK Koh Damian? Bahkan diangka 1,7 pun tidak kan? Lalu merasa ijazah S2 Singapura yang dimiliki Koh Damian terlalu berharga untuk perusahaan selain perusahaan bonafide?”
Anton menatap tajam Damian.
“Bangun sendiri saja perusahaan yang Koh Damian inginkan dengan modal ijazah S2 Singapura Kokoh. Siapa tahu perusahaan Kokoh akan bersinar,” Anton menyiapkan laptopnya.
“Dan alasan terlalu sibuk untuk bertemu Nainai itu hanya bualan Koh Damian saja. Lihat Ci Grace, dia mampu bangkit tanpa ada privilege sebagai keponakan owner GongXi Group. Modal seadanya dari tabungannya dan tabungan Mama.”
Damian mengepalkan jemarinya.
“Seharusnya, Koh Damian sebagai anak laki-laki sulung dalam keluarga mengambil alih tugas tulang punggung disaat Papa sedang terpuruk. Tapi apa yang terjadi?”
“Temui Nainai. Minta ma’aflah kepadanya. Siapa tahu dengan begitu pintu rejeki Kokoh akan dibukakan oleh Tuhan.”
“Tidak usah menceramahiku seperti tukang ceramah kamu orang. Kita sudah berbeda!”
“Terserah. Aku hanya mengingatkan saja.”
“Tidak perlu! Aku tidak butuh diingatkan. Sombong kamu orang sekarang!”
“Sombong itu orang yang tidak mau mengingat kebaikan orang lain. Apalagi ke orangtua.”
“Percuma aku jauh-jauh dari Singapura kemari hanya mendengar ceramahmu!”
Damian meletakkan dengan keras cup plastik es kopinya yang sudah kosong ke atas meja.
Sebelum berjalan keluar dengan penuh amarah dia masih sempat menyambar 3 potong kue di hadapannya.
Anton menggelengkan kepalanya.
.
🌷
Damian, watak benalu dan tak tahu malu.
Keknya si Damian ini harus di heuh!
🌷
Bagaimana?
Suka ceritanya?
Bantuin Author untuk promosikan novel ini ya.
Jangan lupa like, minta update, sawerannya, subscribe dan beri penilaian bintang 5nya ya🥰
Follow akun Author di Noveltoon 😉
Love you more, Readers 💕
Jangan lupa baca Qur’an.
🌷❤🖤🤍💚🌷
Selalu do’akan kebaikan untuk negeri yang sedang tidak baik-baik saja
💙🔵🔵🔵🔵🔵🔵💙
(Tergantung Mimin nge-review-nya 🤭)
cerita keren abis dan selalu dinanti.
semangat teteh.. kalau bisa double up 😊