NovelToon NovelToon
Pelarian Cinta Termanis

Pelarian Cinta Termanis

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Putri Anandhita

Terjebak dalam badai cinta yang penuh intrik dan pengkhianatan, Rasmi dan Daud harus menghadapi ujian tak terduga ketika jarak dan pandemi memisahkan mereka.

Selang dua minggu pernikahan, Rasmi dan Daud terpaksa tinggal terpisah karena pekerjaan. Setelah dua tahun mengadu nasib di negeri seberang, Daud pun pulang ke Indonesia. Namun, sayangnya Daud kembali di tengah wabah Covid-19. Daud dan Rasmi pun tak dapat langsung bertemu karena Daud terpaksa harus menjalani karantina. Satu minggu berlalu, kondisi Daud pun dinyatakan positif covid. Rasmi harus kembali berjuang melawan rindu serta rahasia gelap di balik kepulangan sang suami.

Dalam konflik antara cinta, kesetiaan, dan pengkhianatan, apakah Rasmi dan Daud mampu menyatukan hati mereka yang terluka dan memperbaiki ikatan yang hampir terputus? Ataukah sebaliknya?

Temukan kisah mendebarkan tentang perjuangan cinta dalam novel ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Anandhita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perlahan Terbongkar

"Nih, ambil!" Hanif menyodorkan kartu ATM-nya di atas meja. Di depannya ada Tomi, duduk sambil mengerutkan dahi.

"Wuihh, apa ini, Bang?"

"Kartu tol!" decak Hanif. "Ya ATM lah, Tom. Gitu aja nggak tau." Hanif geleng-geleng kepala.

Keduanya berada di sebuah cafe. Tempat dulu ia biasa kongkow dengan kawan-kawannya. Terakhir kemari sekitar dua tahunan lalu, selama pandemi banyak tempat usaha yang memang terpaksa tutup, tetapi kini secara perlahan mulai normal dan kembali beroperasi.

"Ya elah, Bang. Gua juga tau ini ATM. Maksud gua buat apaan. Uang gua masih ada ini. Kan, baru kemarenan gajian," jelas Tomi. Ia menyeruput jus alpukatnya setelah berbicara.

"Kamu, kan, udah bela-belain nurutin permintaan Abang buat jagain Rasmi. Lagian gaya bener pake gak mau Abang bayar belanjaannya. Perjanjian awal kita, kan, tugas kamu cuma nganterin aja. Nah, nanti Abang bayar totalnya." Hanif mengingatkan kembali kesepakatan di antara mereka sejak dua minggu lalu.

Ia yang terus dilanda kekhawatiran akan kondisi sang wanita, coba mencari tahu dengan rutin datang ke area komplek tempat Rasmi tinggal. Namun, tak sekalipun melihat keberadaannya. Akhirnya, lagi-lagi ia meminta bantuan pada saudara sepupunya ini.

Tomi sudah seperti agen FBI, ia rela blusukan mendekati ibu-ibu komplek hingga turut berkumpul ketika para penggemar daster itu berkerumun. Pria berambut gondrong itu yakin betul bahwa setiap berita akan lebih cepat menyebar hanya dari mulut ke mulut. Semakin rendah suaranya, semakin tajam pula informasinya.

"Kasihan banget Mbak Rasmi itu, ya. Padahal lagi sakit, tapi malah ditinggal pergi sama suaminya." Kalimat pembuka itu diutarakan oleh seorang ibu berwajah persegi. Bibirnya bergerak lincah saat berbicara.

"Masa, sih, Buuu," timpal ibu-ibu lain, terperangah.

"Betul. Kabarnya, sih, sekarang Mbak Rasmi kena korona. Amit-amit ya Allah, semoga kita gak ketularan, ya!" lanjut ibu-ibu berwajah persegi tadi.

Saat itu, Tomi dengan lihai mencari celah, masuk dalam obrolan dan berupaya mencari informasi lebih dalam lagi. Ia tak segan ikut mencicipi rujak mangga yang tersedia di tengah lingkaran ibu-ibu. Mulutnya yang penuh sesekali menimpali agar topik pembicaraan yang sama terus berlanjut.

Entah dari mana para ibu-ibu itu mengetahui semua informasi. Mata-mata jeli para tetangga memang bak CCTV paling mengerikan di muka bumi.

"Udah, ambil aja. Siapa tau besok atau lusa kamu butuh suntikan dana. Simpan aja dulu," rayu Hanif. Ia paham niat baik Tomi, tetapi sepengetahuannya, laki-laki sebatang kara ini juga perlu banyak biaya untuk hidupnya yang hanya bergantung pada penghasilan bekerja di mini market yang tak seberapa.

"Iya, sih. Gua lupa belum bayar kontrakan," cicitnya. Tangannya perlahan menarik benda persegi yang masih tergeletak di sana diiringi cengiran.

Nah, kan! Hanif mengatakannya dalam hati.

Setelah berhasil membujuk Tomi, Hanif buru-buru pergi dari sana setelah menerima telepon dari rekannya, Hendri. Suara Hendri di seberang sana terdengar panik dan menggebu-gebu.

Sebagai seorang reporter, adrenalin Hanif langsung terpacu. Ia memang terbiasa bekerja di bawah tekanan dan harus selalu standby setiap saat agar mampu mendapatkan informasi terkini. Ia pun bergegas ke lokasi kejadian.

......................

Hari ini, Daud sudah tiba di Indonesia. Membawa pula bocah kecil itu tanpa pikir panjang. Perjalanan Daud kali ini memang terbilang lancar karena bertepatan dengan dihapusnya peraturan karantina.

Saat tiba di rumah kontrakan yang ditempati Eva, adegan penuh haru pertemuan antara anak dan ibu pun menjadi pemandangan pertama yang Daud saksikan.

Pikirannya yang masih kacau dan diliputi keresahan tentang keuangannya yang tidak stabil sejenak ia lupakan.

Ia sengaja tak memberitahu Eva mengenai permasalahannya, bisa-bisa wanita itu kecewa, lalu pergi meninggalkannya karena tak lagi bisa diandalkan.

Daud belum sanggup kehilangan wanita itu.

"Ibu, aku dibelikan mainan baru, lho, sama Ayah!" adu Ziel. Ia memeluk sang ibu. Matanya berbinar terang, memancarkan antusiasme yang tinggi.

"Wah, yang benar? Mainan apa itu, bagus tidak?"

"Bagus sekali, Ibu. Robot-robotan, utamen, ada musiknyaaaa." Ziel terus berceloteh.

"Senang sekali dibelikan hadiah. Kalau Ibu? Kira-kira Ibu dibelikan oleh-oleh apa, ya, sama Ayaaah?" Eva berbicara pada Ziel, tetapi matanya mengerling ke arah Daud.

Daud yang paham langsung menunjuk sebuah paper bag berwarna cokelat yang berdiri di sampingnya. Satu set lingerie berenda, juga tas bermerk terkenal telah ia siapkan untuk wanita itu.

Eva sontak kegirangan, ia mengecup pipi Daud berulang kali diikuti teriakan Ziel yang cemburu.

Sore itu, kebahagiaan benar-benar meliputi ketiganya. Daud, Eva, dan Ziel. Mereka terlihat sangat menikmati kebersamaan. Tawa renyah bocah kecil itu terus mengudara, mencipatakan suasana hangat dan harmonis. Layaknya keluarga kecil yang penuh suka cita.

Namun, suasana bahagia itu tidak berlangsung lama. Sebab, area perumahan padat penduduk itu digemparkan oleh berita meninggalnya satu keluarga lengkap. Mereka terdiri dari Ayah, Ibu, tiga orang anak-anak, dan satu lansia.

Lokasi kejadian tersebut tak jauh dari kontrakan yang Daud dan Eva tempati saat ini. Para warga tampak berkerumun mengelilingi sekitaran rumah yang sudah menguarkan aroma busuk itu.

Daud dan Eva penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi, mereka pun akhirnya keluar rumah dan menyaksikan orang-orang tengah berlarian menuju satu rumah yang sama. Yakni rumah di pojok sana.

Tampak garis polisi tengah dibentangkan oleh petugas, sementara puluhan kamera wartawan dan para awak media lainnya turut hadir, menambah poin mencekam keadaan.

Menurut informasi yang Daud dapatkan dari salah satu warga yang melintas, keluarga yang meninggal tersebut tak lain akibat terinfeksi korona. Dan yang membuat Daud tercengang adalah, kepala keluarga yang turut jadi korban itu tak lain adalah pria berkepala plontos teman sekamarnya dan Eva ketika dikarantina.

Daud melihat foto pria itu melalui ponsel warga tadi yang sepertinya memang sengaja mencuri gambar.

"Kamu kenapa, Mas? Mas Daud!" panik Eva. Tiba-tiba tubuh Daud limbung hingga terduduk lemas di kursi teras.

"Ada apa, memangnya siapa yang meninggal? Kamu kenal?" tanya Eva bertubi.

Dengan suara sedikit bergetar, Daud pun menjelaskan. Sepintas Eva shock mendengarnya, tetapi hal itu hak berlangsung lama karena langsung teringat dengan perbuatan kejinya.

Jika apa yang dilakukannya sampai memakan korban seperti ini, itu artinya sudah termasuk kriminal.

Eva menelan paksa salivanya. Keringat dingin mulai membanjiri pelipis hingga turun ke leher. Tubuhnya yang gemetar ia dudukkan di samping Daud, sementara kepalanya terus berperang bahwa ini bukanlah salahnya.

Tidak. Kejadian ini tidak ada hubungannya denganku. Eva terus mengelak di dalam hati.

Saat keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, dua orang laki-laki dewasa tiba-tiba datang menghampiri. Laki-laki pertama mengenakan rompi berwarna hitam, lengkap dengan kamera di tangannya, sementara lainnya berpakaian lebih formal dan menggenggam mikrofon dengan logo khusus salah satu stasiun TV paling berpengaruh.

Dari semua atribut itu, Eva dan Daud tahu bahwa kedua orang tersebut adalah reporter. Daud tampak tenang, sedang Eva mendadak panas-dingin.

"Mohon maaf, Bapak dan Ibu, apa boleh kami bertanya seputar kejadian di sekitar sini? Tampaknya kalian cukup dekat dengan keluarga korban," sapa ramah reporter yang memegang mikrofon tadi.

Daud langsung berdiri, lalu membantah anggapan pria tersebut. Ia menolak untuk diwawancara. Reporter itu terus membujuk, berupaya meyakinkan Daud, ia hanya akan diwawancara sebagai tetangga saja. Tidak lebih.

Akhirnya, Daud pun setuju.

Di tengah acara wawancara singkat itu berlangsung, Ziel tiba-tiba keluar dari dalam rumah. Anak kecil itu berlari dan langsung memeluk Daud.

"Ayah! Sepertinya mainan Ziel rusak! Musiknya tidak ada, Ayah!" rengeknya.

Daud segera memangku Ziel, meminta menyudahi wawancara ini sebelum benar-benar usai. Ia langsung menggandeng Eva, dan membawa Ziel masuk ke dalam rumah. Meninggalkan kedua reporter tadi yang salah satunya tampak terkejut dengan ekspresi sulit diartikan.

"Brengsek!" desis sang reporter.

1
Sunaryati
Suka, ini tak kasih bintang 5 , tolong up rutin
Sunaryati
Ceritanya bagus buat deg- degan bacanya, ikut merasakan sakit hati dan marahnya Rasmi. Lancarkan proses perceraian Daud dan Rasmi, Rasmi bisa mengamankan rumahnya dan jika perlu penjarakan Daud karena membawa uang dan perhiasan Rasmi serta menikah lagi tanpa izin istri pertama
Sunaryati
Segera terbongkar pengkhianatan Daud, shg ada alasan Rasmi menggugat cerai
Yuli
nyesek bgt thor 😩 tapi aku suka
Yuli
lanjut thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!