Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.
Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.
Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harapan di Tengah Kegelapan
Hari demi hari berlalu dengan kondisi yang semakin sulit. Masyarakat desa merasakan dampak dari kelaparan yang berkepanjangan. Joni dan Rahman sering berkumpul dengan warga lainnya di masjid, mencari secercah harapan di tengah kegelapan yang meliputi hidup mereka.
Suatu malam, saat mereka sedang duduk berdoa, seorang pemuda bernama Amir tiba-tiba masuk dengan wajah berbinar. “Aku baru saja kembali dari sungai!” serunya dengan bersemangat. “Kalian tidak akan percaya, ada sumber air baru yang mengalir di sana!”
Semua warga langsung menoleh ke arahnya, wajah mereka menunjukkan rasa ingin tahu. “Air? Di tengah keadaan seperti ini?” tanya Rahman dengan skeptis.
“Iya! Aku melihatnya dengan mata kepalaku. Airnya jernih dan mengalir deras! Mari kita pergi ke sana, kita bisa mengambil air untuk diminum!” jawab Amir.
Joni dan yang lainnya langsung bergegas mengikuti Amir. Hati mereka penuh harapan, dan mereka merasakan semangat baru dalam diri mereka. Di tengah kelaparan dan kesengsaraan, berita tentang sumber air ini menjadi secercah harapan yang tidak boleh disia-siakan.
Setibanya di sungai, mereka melihat air mengalir deras, berkilau di bawah cahaya bulan. Semua orang bersorak gembira, seolah menemukan harta karun yang hilang. “Kita bisa mengisi wadah-wadah kita! Ini luar biasa!” teriak Joni.
Dengan cepat, mereka mengambil wadah yang ada dan mulai mengisi air. Bau tak sedap dari nafsu lapar mereka seolah menghilang sejenak, tergantikan oleh kebahagiaan sederhana. “Kita harus berdoa syukur,” kata Ustadz Abdullah, mengajak semua orang untuk bersyukur atas karunia yang diberikan Allah.
Di tengah kegembiraan itu, seorang wanita tua bernama Bu Rina, yang selama ini tidak pernah beranjak dari tempatnya, mengangkat tangan. “Ustadz, apa air ini aman untuk diminum?” tanyanya, ragu.
Ustadz Abdullah tersenyum. “Insya Allah, selama kita berdoa dan meminta perlindungan-Nya, air ini akan membawa kebaikan untuk kita semua.”
Mereka semua memulai tradisi baru. Setiap malam setelah mengambil air dari sungai, mereka berkumpul di masjid untuk berdoa dan berbagi cerita. Suasana yang tadinya penuh ketegangan kini mulai dipenuhi tawa dan harapan.
Namun, di balik semua itu, rasa lapar yang terus menghantui tetap ada. “Kita harus mencari makanan. Air saja tidak cukup untuk membuat kita bertahan hidup,” ujar Joni kepada Rahman setelah mereka mengisi wadah dengan air.
“Aku tahu, tetapi setidaknya kita tidak akan mati kehausan. Mungkin kita bisa menjelajahi desa lain lagi?” saran Rahman, berusaha optimis.
“Aku setuju, tapi kita harus pergi jauh dan lebih hati-hati. Banyak orang yang juga kelaparan di luar sana,” balas Joni.
Keesokan harinya, mereka berencana untuk mencari makanan di desa lain. Mereka mengumpulkan beberapa orang lagi untuk ikut, berharap bisa menemukan sesuatu untuk mengisi perut mereka. Dalam perjalanan, harapan mereka menguat, meskipun ketakutan masih menyelimuti.
Saat mereka melewati ladang-ladang yang gersang, mereka mulai melihat tanda-tanda kehidupan. Beberapa tanaman yang masih tumbuh, meskipun tidak banyak. “Lihat! Di sana ada beberapa buah yang masih bisa dipetik!” seru seorang warga sambil menunjuk ke arah pohon yang tampak sekarat.
Mereka berlari ke arah pohon tersebut, berharap bisa mendapatkan sesuatu untuk dimakan. Setelah memetik beberapa buah yang tampak layak, mereka merasakan semangat baru. “Walaupun sedikit, setidaknya ini bisa mengenyangkan perut kita,” kata Joni, memegang buah di tangannya.
Namun, saat mereka mengkonsumsi buah tersebut, rasa asam dan pahit menyatu di lidah. Meskipun rasanya tidak enak, mereka tetap bersyukur. “Ini lebih baik daripada tidak sama sekali,” ujar Rahman sambil tersenyum kecut.
Hari demi hari, mereka terus mencari makanan, mengambil air dari sungai, dan berkumpul untuk berdoa. Namun, meskipun mereka menemukan cara untuk bertahan, rasa lapar dan kehausan tetap menghantui pikiran mereka.
“Ustadz, kapan semua ini akan berakhir?” tanya seorang anak kecil dengan wajah cemas. Semua orang menoleh, merasakan kepedihan di hatinya.
Ustadz Abdullah menepuk bahu anak itu, berusaha memberikan semangat. “Ingatlah, Allah tidak akan meninggalkan kita. Kita harus tetap berdoa dan percaya bahwa Dia akan memberikan jalan.”
Sementara itu, Joni merenung di sudut masjid. “Kita sudah berjuang keras, tetapi apakah itu cukup? Mungkin kita perlu merencanakan sesuatu yang lebih besar untuk bisa bertahan dalam keadaan ini.”
Ketika semua orang berkumpul, Joni membagikan idenya. “Bagaimana jika kita membentuk kelompok untuk mencari makanan di berbagai tempat? Kita bisa saling membantu dan menjaga satu sama lain.”
Warga mulai berdiskusi, dan meskipun banyak yang skeptis, semangat baru mulai muncul. Mereka tahu bahwa untuk bertahan, kerja sama dan solidaritas sangat diperlukan. “Mari kita lakukan! Kita tidak bisa terus menunggu dengan pasrah,” teriak salah satu warga, mengajak semua orang untuk bergabung dalam misi baru ini.
Malam itu, mereka kembali berkumpul di masjid, berdoa agar Allah memberkati usaha mereka dan memberikan petunjuk untuk menemukan jalan keluar dari kegelapan yang menimpa hidup mereka. Suara doa dan harapan mengisi udara, seolah menjadi pelita di tengah kegelapan.
Misi Pencarian Makanan
Dengan semangat baru, Joni dan warga Desa lainnya memutuskan untuk membentuk kelompok pencari makanan. Mereka saling berbagi tugas dan mengatur rencana untuk menjelajahi desa-desa di sekitar mereka, berharap bisa menemukan sumber makanan yang lebih baik. Pagi itu, mereka berkumpul di masjid untuk membahas langkah-langkah yang akan diambil.
“Baiklah, mari kita bagi kelompok menjadi dua. Satu kelompok akan menuju ke arah timur, ke desa terdekat, dan satu lagi ke arah barat,” kata Joni, memimpin pertemuan. “Kita harus berhati-hati dan tidak menjelajah terlalu jauh. Kita tidak tahu keadaan di luar sana.”
Rahman mengangguk. “Kita juga harus membawa air secukupnya. Jangan sampai kita kehausan di tengah perjalanan.”
“Dan jika kita menemukan makanan, kita harus membawa kembali sebanyak mungkin. Kita harus saling berbagi,” tambah Ustadz Abdullah, memberikan semangat kepada semua orang.
Setelah selesai merencanakan, mereka membagi diri menjadi dua kelompok. Joni memimpin kelompok yang menuju ke desa timur, sementara Rahman memimpin kelompok ke barat. Mereka membawa kantong-kantong kosong untuk mengumpulkan makanan dan berdoa sebelum berangkat.
Di sepanjang perjalanan, suasana hati mereka penuh harapan meskipun rasa lapar masih mengintai. Mereka melewati ladang-ladang kering, melihat tanaman yang layu, dan mendengar suara hewan yang merintih kelaparan. “Semoga di desa yang kami tuju, keadaan lebih baik,” bisik Joni kepada dirinya sendiri.
Setelah berjalan beberapa jam, kelompok Joni tiba di desa timur. Namun, pemandangan yang mereka temui sangat mengecewakan. Desa itu tampak sepi dan kosong, tidak ada tanda-tanda kehidupan, hanya ada beberapa rumah yang tampak ditinggalkan.
“Tidak ada siapa-siapa di sini. Ke mana semua orang?” tanya salah satu anggota kelompok dengan nada putus asa.
“Mungkin mereka pergi mencari makanan atau berlindung di tempat lain. Kita harus tetap mencari,” jawab Joni, berusaha tidak kehilangan semangat.
Mereka mulai menyusuri jalan setapak di antara rumah-rumah kosong. Di sebuah halaman, mereka menemukan tanaman sayuran yang tampak layu, tetapi masih bisa dipetik. “Ayo, kita ambil ini!” seru Joni, dan mereka dengan cepat mengumpulkan sayuran yang tersisa.
Setelah mengumpulkan sayuran, mereka melanjutkan pencarian. Namun, semakin dalam mereka memasuki desa, semakin jelas bahwa situasi di sini tidak lebih baik daripada desa mereka sendiri. “Ini sangat menyedihkan,” kata Joni sambil melihat sekeliling. “Kita harus kembali dan memberi tahu yang lain.”
Saat mereka berbalik, mereka melihat seorang wanita tua muncul dari balik sebuah rumah. “Tolong, tolong saya!” teriaknya dengan suara lemah.
Tanpa ragu, Joni dan kelompoknya berlari menghampiri wanita itu. “Apa yang terjadi, Bu? Kenapa Anda sendirian di sini?” tanya Joni, khawatir.
“Aku tidak bisa bergerak. Aku sudah tidak punya makanan selama berhari-hari,” jawab wanita itu sambil terisak. “Anak-anakku sudah pergi dan tidak kembali.”
Mendengar itu, hati Joni terasa teriris. “Kami akan membantu Anda. Kami sudah mengumpulkan sedikit sayuran. Mari, kita bawa Anda ke tempat aman,” ujarnya.
Dengan bantuan kelompoknya, mereka mengangkat wanita tua itu dan membawanya ke desa mereka. Di perjalanan, Joni merasa bersyukur bisa membantu seseorang di tengah situasi sulit ini. “Setidaknya kita bisa memberikan harapan bagi orang lain,” pikirnya.
Setibanya di desa, mereka membawa wanita itu ke masjid dan memberikan makanan yang telah mereka kumpulkan. “Ini untukmu, Bu. Makanlah, semoga ini bisa membuatmu kuat,” kata Joni dengan lembut.
Wanita itu menatap mereka dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, anak-anak. Kalian adalah harapan bagi orang-orang di sini.”
Kumpulan warga desa lainnya yang melihat kejadian itu mulai berkumpul. Ustadz Abdullah menghampiri wanita tua itu dan mengusap kepalanya. “Allah akan memberikan keberkahan kepada kalian yang berbagi, meskipun dalam keadaan sulit.”
Malam itu, masjid dipenuhi dengan suasana yang hangat dan penuh rasa syukur. Meskipun situasi masih sulit, ada secercah harapan yang tumbuh di hati setiap orang. Mereka mulai memahami bahwa berbagi dengan sesama bisa memberikan kekuatan dan semangat untuk bertahan.
Sementara itu, di kelompok Rahman yang menuju desa barat, mereka juga mengalami hal yang serupa. Mereka menemukan beberapa buah yang tumbuh liar di pinggir jalan dan berusaha mengumpulkannya. Namun, mereka juga mendapati bahwa banyak orang di desa barat mengalami kesulitan yang sama.
Saat kembali ke desa, kedua kelompok bertemu di masjid, berbagi cerita tentang pencarian mereka. “Kami menemukan beberapa sayuran, tetapi tidak cukup untuk semua orang,” kata Joni.
“Dan kami menemukan buah, tetapi banyak orang di sana juga tidak memiliki makanan,” tambah Rahman.
Malam itu, mereka berkumpul bersama, membicarakan langkah selanjutnya. “Kita harus terus mencari cara untuk bertahan dan saling membantu,” kata Ustadz Abdullah. “Mari kita berdoa agar Allah membuka jalan bagi kita.”
Sementara mereka berdoa, di luar masjid, suara kelaparan dan keputusasaan masih terdengar, namun di dalam masjid, suasana harapan dan solidaritas mulai tumbuh kembali. Di tengah badai kelaparan dan kesengsaraan, mereka menemukan kekuatan dalam kebersamaan dan iman mereka.
Harapan di Tengah Kesulitan
Malam itu, setelah berdoa, JOni dan warga desa lainnya merasakan kehangatan dan kedamaian di dalam masjid. Meski kelaparan dan kesengsaraan mengintai di luar, semangat untuk saling membantu dan berbagi membuat mereka merasa lebih kuat.
“Ustadz, apakah kita bisa mengorganisir kelompok untuk mencari makanan setiap hari?” tanya Rahman. “Kita bisa bergantian dan membagi hasilnya.”
Ustadz Abdullah mengangguk. “Itu ide yang baik. Dengan cara itu, kita bisa menjangkau lebih banyak tempat dan memberi kesempatan kepada lebih banyak orang untuk mendapatkan makanan.”
Mereka mulai menyusun rencana untuk melakukan pencarian makanan secara teratur. Setiap kelompok akan diberi tugas untuk menjelajahi wilayah tertentu, berbagi hasil yang didapat, dan membantu orang-orang yang membutuhkan. Kegiatan ini tidak hanya akan memberi mereka makanan, tetapi juga memperkuat ikatan antarwarga desa.
Pagi harinya, setelah mengatur kelompok pencari makanan, Joni dan Rahman bersama beberapa warga lain berangkat ke desa tetangga. Dalam perjalanan, mereka berbincang tentang keadaan dunia saat ini dan bagaimana Allah menguji umat-Nya.
“Ini semua pasti ada hikmahnya. Mungkin Allah ingin kita lebih bersyukur atas apa yang kita miliki,” kata Joni.
“Benar, kita harus ingat untuk bersyukur, meskipun sulit,” balas Rahman. “Kita juga harus ingat bahwa kita tidak sendirian. Ada banyak orang di luar sana yang juga merasakan hal yang sama.”
Saat tiba di desa tetangga, mereka disambut dengan pemandangan yang tidak jauh berbeda dengan desa mereka. Banyak rumah tampak kosong dan tanaman layu. Namun, ada beberapa warga yang masih bertahan, mencoba mengelola apa yang tersisa.
Mereka mulai berbincang dengan penduduk setempat dan menemukan beberapa informasi penting. “Ada ladang jagung di sebelah timur desa ini. Mungkin kita bisa mengumpulkan beberapa,” saran salah satu penduduk.
Joni dan kelompoknya segera menuju ladang jagung yang dimaksud. Ketika mereka tiba, mereka melihat jagung yang sudah matang, namun banyak yang tergeletak di tanah. “Ayo kita ambil sebelum orang lain datang,” Joni berkata sambil bersemangat.
Setelah mengumpulkan jagung sebanyak mungkin, mereka merasa sangat puas. “Ini bisa jadi makanan yang baik untuk kita dan warga desa,” kata Rahman, sambil tersenyum lebar.
Di tengah perjalanan pulang, mereka melihat beberapa anak kecil yang bermain di pinggir jalan, wajah mereka terlihat pucat dan lemah. Melihat hal itu, hati Joni terasa perih. “Bagaimana bisa kita membiarkan mereka seperti ini?” ujarnya kepada Rahman.
“Mungkin kita bisa membagikan sedikit jagung ini kepada mereka,” jawab Rahman.
Mereka menghampiri anak-anak itu dan memberikan beberapa butir jagung. “Ini untuk kalian, semoga bisa mengenyangkan perut kalian,” kata Joni dengan tulus.
Anak-anak itu tersenyum, meskipun wajah mereka terlihat lelah. “Terima kasih, Kakak,” jawab salah satu dari mereka.
Saat mereka kembali ke desa, suasana hati semua orang menjadi lebih cerah. Mereka membawa hasil pencarian mereka ke masjid dan membagikannya dengan warga yang lain. “Kita berhasil menemukan jagung dan sayuran!” seru Joni dengan penuh semangat.
“Alhamdulillah! Terima kasih, ya Allah,” ucap Ustadz Abdullah saat melihat hasil yang dibawa. “Ini adalah rezeki yang tidak terduga di tengah kesulitan.”
Setelah makan bersama, Joni dan warga desa lainnya berkumpul untuk mendiskusikan langkah berikutnya. “Kita harus terus mencari makanan dan membantu satu sama lain,” kata Rahman. “Jika ada yang mengalami kesulitan, kita harus siap membantu.”
“Mungkin kita bisa membuat kebun bersama di sini,” saran Joni. “Dengan begitu, kita bisa menanam makanan sendiri.”
Ide itu disambut baik oleh semua orang. Mereka segera mulai merencanakan lokasi untuk kebun dan jenis tanaman apa yang bisa mereka tanam. “Kita harus bekerja sama, mengingat situasi ini tidak akan mudah,” kata Ustadz Abdullah.
Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan menyiapkan lahan untuk kebun. Mereka membersihkan tanah dan mulai menanam bibit sayuran yang mereka miliki. Di tengah kesulitan, terlihat semangat yang menggebu-gebu. Semua orang berusaha saling mendukung, bekerja keras, dan tetap optimis.
Di tengah proses penanaman, Joni seringkali merenungkan keadaan yang sedang mereka hadapi. “Mengapa Allah menguji kita seperti ini?” tanyanya pada Ustadz Abdullah suatu malam. “Apakah kita belum cukup bersyukur?”
Ustadz Abdullah tersenyum lembut. “Setiap ujian pasti ada hikmahnya. Mungkin Allah ingin kita menyadari pentingnya saling membantu dan berbagi. Kita tidak bisa berdiri sendiri. Kita butuh satu sama lain.”
Malam itu, saat semua orang kembali ke rumah masing-masing, Joni merasa ada harapan baru yang tumbuh di hatinya. Meskipun tantangan masih membayangi, kebersamaan dan kekuatan iman membuat mereka semakin kuat. Dalam kegelapan, ada cahaya harapan yang bersinar, dan mereka berjanji untuk saling menjaga dan tidak menyerah.