Tidak ada seorang istri yang rela di madu. Apalagi si madu lebih muda, bohay, dan cantik. Namun, itu semua tidak berpengaruh untukku. Menikah dengan pria yang sedari kecil sudah aku kagumi saja sudah membuatku senang bukan main. Apapun rela aku berikan demi mendapatkan pria itu. Termasuk berbagi suami.
Dave. Ya, pria itu bernama Dave. Pewaris tunggal keluarga terkaya Wiratama. Pria berdarah Belanda-Jawa berhasil mengisi seluruh relung hatiku. Hingga tahun kelima pernikahan kami, ujian itu datang. Aku kira, aku bakal sanggup berbagi suami. Namun, nyatanya sangat sulit. Apalagi sainganku bukanlah para wanita cantik yang selama ini aku bayangkan.
Inilah kisahku yang akan aku bagi untuk kalian para istri hebat di luar sana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reinon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 Lelah
Aku dan Dave bergegas pulang ke rumah. Kami tak ingin membuat Carla kecewa. Seharian ini aku dan Dave meninggalkannya. Namun kepergianku hari ini membuahkan sebuah hasil yang cukup membuatku tenang.
Aku bukan berbahagia di atas kepedihan suamiku. Akan tetapi, kejadian tadi membuat Dave berpikir jernih dan mulai muak dengan kekasihnya. Meski hanya setitik cahaya terang yang ku dapat, aku terus berdoa agar setitik cahaya itu menjadi sinar yang memenuhi kehidupan rumah tangga kami seterusnya.
"Mama!" teriak Carla sambil berlari mendekatiku.
"Anak mama kok belom bobok?" tanyaku sambil meraihnya dalam pelukan.
"Cala tunggu mama cama papa. Papa!" serunya saat melihat Dave berjalan masuk dari belakang punggungku.
"Hai, baby!" seru Dave sambil mengambil alih Carla dari pelukanku.
Alis Carla bertaut. Dia berusaha menekuk keningnya sekuat mungkin agar terbentuk guratan layaknya orang yang sedang marah bercampur bingung.
"Ciapa baby?" tanya Carla tak terima.
Ah, aku mengerti! Dave biasa memangil Carla dan aku dengan sebutan sayang. Hari ini sebutan sayang itu berubah menjadi baby.
"Tentu saja putri kecil papa ini," ucap Dave sambil menghujaninya dengan kecupan dan menggelitiknya.
Tawa renyah khas seorang balita perempuan menggema di seluruh ruangan. Ku biarkan Carla bermain dengan papanya dulu. Malam ini biarlah Carla tidur sedikit larut dari biasanya. Aku menghampiri Maya yang berdiri tidak jauh dari kami.
Aku merangkul lengan gadis cantik itu dan mengajaknya ke dapur, tempat mbok Darmi berada. Tujuanku hanya satu ingin bertanya tentang apa saja yang dilakukan Noel tadi.
"Maya, Mbok! Tadi gimana?" tanyaku memulai pembicaraan.
"Seingat saya tidak lama setelah nyonya menghubungi saya, saya langsung memberitahu pak Ujang dan mbok Darmi tentang tugas mereka masing-masing. Selang setengah jam kemudian, tuan Noel datang. Saya pas lagi mau masukin perlengkapan susu dan camilan ke kamar non Carla. Setelah itu, saya mengunci pintu kamar non Carla sesuai arahan nyonya. Nah, kejadian berikutnya saya tidak tahu, nyah," jawab Maya.
"Kan tuan Noel datang tuh, nyah. Di belakangnya ada pak Ujang. Mbok langsung menghampiri beliau. Ya, mbok basa-basi aja siapa tahu ada yang bisa mbok bantu tapi tuan Noel malah marah-marah nda jelas. Apalagi pas pak Ujang ngingetin barangnya jangan ada yang ketinggalan. Wuih, tambah ngamuk dia, nyah. Mana pakek bahasa luar negeri. Mbok nda paham," jelas mbok Darmi.
Aku tersenyum mendengar penjelasan mereka. Memang tidak salah aku memilih mereka menjadi asisten rumah tangga di rumahku.
"Makasih ya mbok, May."
"Sama-sama, nyah," jawab Maya dan mbok Darmi serempak.
"Tapi nyah, ini kalau boleh loh, nyah," sela mbok Darmi sambil memilin jemarinya.
"Boleh kenapa mbok?" tanyaku penasaran.
"Maaf ya, nyah. Saya bukannya lancang atau kepo sama urusan nyonya dan tuan tapi ini buat jaga-jaga aja, nyah," jawab mbok Darmi.
"Langsung aja mbok. Mbok mau nanya apa?" tanyaku sambil tersenyum.
Mbok Darmi tersenyum malu-malu, "Memangnya ada masalah ya, nyah sama tuan Noel?"
"Besok saya ceritain ya, mbok. Saya capek banget. Sekali lagi makasih udah bantuin saya," ucapku pelan.
"Oh iya, nyah. Nda dikasih tahu juga nda apa-apa, nyah. Saya jadi nda enak," ucap mbok Darmi sambil tersenyum malu.
"Enggak kok, mbok. Saya memang ingin ngasih tahu mbok Darmi dan Maya tentang masalah yang baru saja kami hadapi ini," jawabku.
"Oh, syukur kalau begitu nyah. Mbok nda jadi ngerasa nda enak," jawab mbok Darmi sambil tersenyum malu.
"Eala, mbok!" seru Maya.
"Saya permisi dulu, ya," ucapku sambil berlalu meninggalkan mereka.
"Iya, nyah," jawab mbok Darmi dan Maya serempak.
"Mbok, ngapain nanya begitu sama nyonya?" tanya Maya usai kepergian nyonya mudanya.
"Hmm, memangnya kamu nda kepo?" mbok Darmi balas menanyainya.
Gadis cantik itu diam sesaat lalu mengangguk. "Ya, kepo juga sih mbok," ucapnya sambil menunduk malu.
"Hmm, dasar!" seru mbok Darmi sambil mencubit pelan lengan Maya.
"Ish, mbok! Sakit tau," rengek Maya.
"Udah, kamu ambil alih non Carla. Kasihan tuan dan nyonya mau istirahat," titah mbok Darmi.
"Iya mbok," jawab Maya sambil lalu.
Aku berlalu dari dapur meninggalkan rasa penasaran pada mbok Darmi dan Maya. Saat ini yang ku butuhkan adalah tempat tidur dengan bantal guling yang empuk. Carla dan Dave sudah tidak berada di ruang tamu. Pasti mereka di kamar Carla.
Aku melangkahkan kaki menuju kamar Carla. Pintu kamarnya terbuka sedikit. Dave dan Carla sedang tiduran di atas kasur. Selangkah lagi aku memasuki kamar putri kecilku lalu aku mendengar Carla berkata, "Papa, Cala nda cuka cama oom yang kemalen."
Aku spontan mengurungkan niat untuk memasuki kamar Carla. Jika aku masuk sekarang bisa jadi obrolan Carla dan Dave berubah haluan. Lagipula aku penasaran apa yang membuat putri kecilku itu tidak suka pada lelaki betina itu.
"Kenapa?" tanya Dave.
"Dia cuka cium-cium Cala kalo mbak Maya nda ada," ucap Carla polos.
Deg
Perasaanku jadi tidak enak. Apa yang sudah lelaki betina itu lakukan pada putriku? Dave diam sejenak tapi belum sempat dia bersuara, Carla sudah berceloteh lagi.
"Tapi Cala tampol kayak gini," ucap Carla sambil memperagakan pukulan yang dia maksud.
"Pyak! Gitu bunyinya," timpalnya lagi.
Aku tersenyum menahan tawa. Tak ingin kehadiranku yang sedang sembunyi ketahuan oleh mereka. Tingkahnya sangat lucu saat memperagakan bagaimana dia memukul Noel. Belum lagi gaya bicaranya. Dari mana dia belajar kata tampol?
"Bagus. Carla anak pintar," puji Dave padanya.
"Oom itu cium Cala catu kali pas Cala lagi meleng," ucapnya lagi.
Perasaanku kembali lega. Satu kali dia mencium pipi Carla, aku masih bisa toleransi. Mungkin saja karena dia geram dengan kelucuan Carla. Aku sudah berpikir yang macam-macam tadi.
Bertambah lagi kosakatanya yang membuatku geleng-geleng kepala.
"Nyah, ngapain?" tanya Maya yang berhasil mengagetkanku.
"Sst! Lagi liatin Carla sama papanya cerita," ucapku.
"Oh, kenapa ngga masuk aja, nyah?" tanya Maya bingung.
"Nanti saja tunggu ceritanya kelar. Kalau sekarang saya masuk ceritanya pasti bubar," balasku.
"Mama!" teriak Carla dari dalam.
"Udah ketahuan, nyah," ucap Maya sambil terkekeh.
Aku mendengus kesal. Kalau saja Maya tidak mengagetkanku pasti aku masih dalam mode sembunyi. Sudahlah, toh sudah malam. Aku masuk ke kamar diikuti Maya.
"Carla bobok ya. Udah malam," ucapku sambil berjalan mendekatinya.
"Tapi Cala mau bobok cama mama cama papa, boyeh ya?" pinta Carla.
"Eh, kan non Carla udah janji malam ini mau boboknya ditemani mbok Darmi. Kasihan lho mbok Darmi udah nungguin," timpal Maya.
Untung saja ada Maya. Kalau tidak, aku tidak tahu bagaimana cara menolak keinginan Carla. Bukannya aku tidak mau tapi tenagaku sudah banyak terkuras hari ini. Dave pasti juga merasakan yang sama.
"Besok malam baru bobok sama mama dan papa, ok!" ucapku lembut.
"Ok. Cala kan anak baik nda boyeh ingkal janji," ucapnya sambil berdiri.
Carla melompat-lompat di atas tempat tidur. Mencoba merangkul leherku dan mendaratkan banyak kecupan di wajahku. Dave tak mau kalah ingin mendapat kecupan dari Carla. Baru saja kami menikmati kebahagian kecil tiba-tiba mbok Darmi masuk ke kamar Carla dalam keadaan terburu-buru.
"Tuan, nyonya, ada barang aneh di depan," ucap mbok Darmi.
Ucapannya berhasil membuatku dan Dave saling menatap dalam diam. Barang aneh apa yang dimaksud mbok Darmi? Membuatku penasaran.