Joano dan Luna adalah dua remaja yang hidup berdampingan dengan luka dan trauma masa kecil. Mereka berusaha untuk selalu bergandengan tangan menjalani kehidupan dan berjanji untuk selalu bersama. Namun, seiring berjalannya waktu trauma yang mereka coba untuk atasi bersama itu seolah menjadi bumerang tersendiri saat mereka mulai terlibat perasaan satu sama lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourlukey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15
Sepuluh menit telah berlalu. Joano baru saja selesai melakukan video call bersama ibunya yang kini tengah berada di luar kota untuk urusan pekerjaan. Topik perbincangan mereka tak jauh berbeda dari obrolan orang tua dan anak lainnya, seperti apa menu makan hari ini, apa yang dilakukan seharian penuh, hingga membicarakan rekomendasi film apa yang bagus untuk ditonton di akhir pekan.
Semenjak Joano duduk di bangku SMA, ibunya sudah jarang berada di rumah. Dia kerap ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Karena itulah disela-sela kesibukannya, mereka selalu menyempatkan waktu untuk melakukan video call demi sekedar melepas rindu.
Setelah mengakhiri panggilan telepon, Joano kembali meletakkan ponselnya di atas meja. Dia lalu memejamkan mata sejenak untuk mengambil jeda setelah setengah hari beraktivitas. Tapi suara keributan di luar rumah tiba-tiba mengusiknya. Joano menyibakkan tirai jendela kamarnya, mencari tahu dari mana suara keributan itu berasal.
Joano mendengus. Meski sudah menduga dari mana suara itu berasal, tapi dia masih tidak habis pikir. Orang dewasa memang makhluk paling rumit. Nanti, nanti apakah Joano akan serumit mereka? Itu yang selalu Joano tanyakan pada diri sendiri. Kenapa? Kenapa mereka melakukan itu? Kenapa mereka selalu melibatkan anak-anak untuk kepentingan mereka sendiri? Tidak bisakah mereka melakukannya sendiri?
Melihat orang tua Luna bertengkar di halaman rumah, membuat Joano berpikir apakah mereka memikirkan perasaan Luna? Tidak. Tentu saja kalau mereka memikirkan perasaan Luna, mereka tidak akan bertengkar saat Luna berada di rumah. Tentu saja pertengkaran itu tidak akan berlarut-larut hingga membuat gadis itu menutup dirinya sendiri, melakukan hal-hal gila untuk menarik perhatian mereka.
Joano tahu itu bukan urusannya, tapi bagaimana dengan Luna? Hanya untuk sekejap, apakah mereka benar-benar tidak mau memikirkan putrinya?
Joano memang tidak pernah berada di posisi Luna. Tapi dengan melihat bagaimana gadis itu menjalani hidup, membuatnya seolah ikut ditarik ke dalam lubang kesepian.
Berbicara mengenai Luna, Joano kemudian tersadar untuk segera melihat keadaan gadis itu. Dengan seragam yang masih dia kenakan, laki-laki itu lantas keluar dari kamarnya. Beranjak ke dapur, membuka kulkas dan mengambil sebongkah es batu. Dia memindahkan potongan-potongan es itu ke dalam gelas, lalu mengaduknya dengan satu sachet kopi. Joano juga menambahkan satu sendok garam ke dalam minuman itu.
Jika ditanya apa alasan Joano selalu mengganggu Luna, maka jawabannya adalah karena dia ingin Luna meluapkan emosinya dengan cara yang berbeda, dia ingin membantu Luna melupakan sejenak beban pikiran yang selalu membelenggunya.
Tentu saja cara Joano mengganggu Luna bukanlah cara-cara ekstrem yang sampai membahayakan nyawa gadis itu, melainkan dengan hal-hal sederhana yang masih berada dalam batas wajar.
"Luna!"
Karena tidak ada sahutan dari dalam, laki-laki itu lantas masuk ke rumah Luna begitu saja. Melihat bagaimana Luna memasang wajah murung sambil merebahkan tubuhnya di atas sofa membuat Joano ikut prihatin. Sebelum memasuki rumah itu, Joano sudah menduga kalau gadis itu sedang bersedih.
"Gue lagi bikin es kopi, nih. Cobain, dong." Joano menyodorkan segelas es kopi ke arah Luna, menatap harap supaya gadis itu menerimanya.
"Lagi nggak mood." Katanya setelah melirik sekilas kopi itu.
Joano mendengus sebal. "Nyobain es kopi aja sampai nungguin mood segala. Enak tahu. Kalau nggak mau, lo bakal gue ganggu terus."
Luna memutar kedua bola matanya malas. Dia lantas bangkit dari posisinya kemudian meraih gelas yang sedari tadi Joano sodorkan. Sebenarnya Luna memang sedang malas, bahkan hanya untuk sekedar membalas perkataan Joano. Tapi Luna tahu, kalau dia tidak meladeni perkataan Joano, laki-laki itu akan bertindak sangat menyebalkan. Entahlah. Semenjak Luna memutuskan menjadi ambisius, Joano justru berubah menjadi menjengkelkan, selalu mengganggunya di setiap kesempatan.
Luna menyesap es kopi itu kemudian berseru histeris, “Orang gila.” Gadis itu dengan cepat melempar bantal sofa ke arah Joano.
"Kok gue dilempar bantal, sih! Kan gue punya niat baik." Protes Joano tidak terima. Dia tidak benar-benar marah. Itu hanya respons supaya niatnya untuk membuat Luna melupakan masalahnya terlihat alami.
Luna tersulut amarah. "Niat baik dari Jonggol! Seneng, kan, lo udah bikin gue kesel setengah mati."
Iya, Luna. Emang itu tujuan gue. Batin Joano.
"Apa, sih, buruk sangka mulu lo sama gue." Joano berkata sambil memasang muka tak berdosa. "Gue berbaik hati bikinin lo minuman, Luna. Kalau nggak dipuji atau bilang makasih minimal jangan marah, dong."
"Gimana gue nggak marah, lo masukin garam seabrek ke dalam kopi." Luna berdiri dari tempat duduknya lalu meraih gelas itu, menodongkan ke arah Joano. "Kalau masih bilang gue buruk sangka sama lo, nih, coba sendiri!”
"Kan itu emang gue bikinin khusus buat lo. Masukin garam ke dalam kopi itu banyak manfaatnya, Lun." Joano merogoh ponselnya, mencari sebuah artikel lalu mulai membaca tulisan tersebut. "Menambah stamina, menurunkan risiko diabetes, mencegah kanker juga..."
"Ya, nggak sebanyak ini juga garamnya." Potong Luna.
"Ya maaf."
Luna meletakkan kembali gelas itu lalu menunduk ke sembarang tempat. Dia seketika menangis sejadi-jadinya.
"Kok nangis, sih. Iya, maaf, maaf." Joano menghampiri Luna dengan perasaan bersalah. "Gue cuma bercanda."
Luna mendorong tubuh Joano saat laki-laki itu berusaha mendekatinya. "Bisa nggak sih, lo nggak gangguin gue. Gue itu capek. Gue capek harus belajar setiap hari, gue capek jadi ambisius, gue capek kurang tidur, gue capek lo gangguin gue."
"Iya maaf. Jangan nangis, dong. Maaf."
Sungguh, Joano merasa bersalah telah membuat Luna menangis seperti itu. Selama ini Luna tidak pernah menangis saat Joano mengganggunya, paling gadis itu hanya mengumpat atau menonjok saat dia merasa kesal. Tapi, kali ini berbeda. Luna menangis seakan mimpinya runtuh.
Kedua bola mata gadis itu terus meneteskan air mata, hidungnya memerah bahkan seluruh wajahnya berkeringat. Sambil menangis tersedu-sedu Luna kembali melanjutkan perkataannya yang belum selesai, "lo itu kalau bercanda suka nggak lihat sikon, main terobos aja," sesekali Luna menjelaskan dengan sesegukan, "lo nggak lihat kalau gue lagi capek? Lo selalu ngusilin gue di setiap kesempatan. Lo selalu kayak gitu."
Joano menatap pilu gadis itu. Apakah karena orang tuanya bertengkar? Makanya dia meluapkan emosinya? Sepertinya bukan hanya karena itu.
Joano menundukkan kepala. Dari pada mengusili Luna lebih jauh lagi, dia memilih untuk diam dan mendengarkan keluh-kesah gadis itu.
Luna mengatur napas saat perasaannya mulai membaik. "Kok ekspresi lo gitu."
Joano mendongakkan kepalanya, menatap Luna tak mengerti. "Huh?"
Luna tiba-tiba tertawa melihat ekspresi Joano. Menurut gadis itu, dia seperti anak kecil yang sedang dimarahi ibunya karena melakukan kesalahan.
"Kenapa?" Joano bertanya tidak mengerti.
"Muka lo kenapa gitu?"
Joano menyeka wajahnya dengan telapak tangan, barang kali ada sesuatu yang menempel sampai membuat Luna tertawa tiba-tiba. Laki-laki itu spontan tertawa melihat reaksi Luna. "Kenapa, sih, Lun?"
"Udahlah, males jelasin.” Luna mengambil tisu di meja sebelahnya kemudian menyeka air matanya.
"Sekarang udah nggak marah lagi, nih?" Joano bertanya hati-hati.
Luna menganggukkan kepalanya.
"Gimana kalau kita main sunda manda?” Joano bertanya mengusulkan. Dia ingin Luna melupakan sejenak masalah keluarganya dengan bersenang-senang.
"Lagi nggak mau main." Sesekali Luna menjawab sambil sesegukkan.
"Mau keluar aja? Jalan-jalan?" Joano mengusulkan lagi.
Luna diam, berpikir sejenak sebelum akhirnya menyetujui tawaran Joano.
"Ya udah. Sana! siap-siap. Gue ganti baju dulu." Joano bangkit lalu mengulurkan tangannya pada Luna, membantu gadis itu untuk berdiri. "Jangan nangis lagi. Nanti gue tunggu di depan."
Beberapa menit telah berlalu, keduanya siap untuk keluar jalan-jalan. Entah ke mana tujuannya, mereka belum memutuskan.
"Gimana kalau ke panti? Udah lama kan kita nggak main ke sana?” Joano mengusulkan.
Luna menganggukkan kepala, setuju.
Ya. Mereka akan pergi ke panti asuhan cinta mulia. Semenjak Joano diadopsi oleh Helen, dia sering mengunjungi tempat tersebut minimal satu bulan sekali. Bukan hanya itu, orang tua angkatnya juga menjadi donatur tetap di tempat dia dibesarkan. Biasanya mereka mengunjungi panti bersama-sama. Namun karena akhir-akhir ini Helen sibuk dengan pekerjaannya, hanya Joano dan Luna yang pergi ke sana.
Sementara Luna masih sibuk dengan pengait helm yang belum terpasang sempurna, Joano tiba-tiba melajukan kendaraannya.
"Belum naik." Luna berteriak sebal. Dilihat dari wajahnya yang jahil, Luna tahu kalau Joano sedang mengusilinya.
Joano menghentikan skuternya lalu meringis. "Oh belum. Bilang, dong."
Luna mendecak sebal. Dia melangkah ke arah Joano. Namun, belum sempat dia naik ke atas skuter, Joano kembali menggoda gadis itu dengan melajukan kendaraannya.
"Jo~"
"Oh, belum juga. Ayo, dong! Udah sore nih." Katanya meledek.
Luna sebenarnya tidak se-pemarah itu. Hanya saja Tuhan mengirim Joano yang super usil hadir di kehidupannya, jadi keramahannya tertutup oleh sifat sensitifnya.
Sebelum mengunjungi panti, Joano dan Luna pergi ke pusat perbelanjaan. Mereka membeli mainan, makanan, juga segala keperluan yang dibutuhkan. Mereka lalu mengantar barang-barang itu melalui jasa pengiriman, kemudian keduanya berangkat dengan kendaraan sebelumnya.
Sesampainya di sana, Joano dan Luna disambut oleh pengurus panti juga anak-anak. Mereka bermain bersama, bercengkerama dengan hangat. Sesaat Luna melupakan masalahnya, tenggelam dalam kegembiraan yang tidak ada nilainya.