Setelah dituduh sebagai pemuja iblis, Carvina tewas dengan penuh dendam dan jiwanya terjebak di dunia iblis selama ratusan tahun. Setelah sekian lama, dia akhirnya terlahir kembali di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.
Dia merasuki tubuh seorang anak kecil yang ditindas keluarganya, namun berkat kemampuan barunya, dia bertemu dengan paman pemilik tubuh barunya dan mengangkatnya menjadi anak.
Mereka meninggalkan kota, memulai kehidupan baru yang penuh kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Chakra menata makanan yang sengaja dibuat khusus untuk Reina, sesuai dengan saran dan petunjuk dari Joshua. Bahkan dokter muda itu sempat membelikan susu khusus anak-anak sebagai tambahan. Aroma makanan tercium harum, cukup untuk membuat siapa pun yang menciumnya merasa lapar.
"Aromanya enak sekali. Aku jadi lapar," celetuk Lina sambil berjalan mendekati meja makan.
"Kau hanya membuatkan untuknya saja?" Ikhsan bertanya sambil menatap makanan di hadapan Reina yang terlihat menggugah selera.
“Dia baru saja keluar dari rumah sakit. Jadi, aku merekomendasikan makanan yang cocok untuk anak-anak,” jawab Joshua. Pria itu sibuk mengeluarkan isi paperbag-nya, yang ternyata berisi berbagai jenis makanan untuk dewasa.
"Kau tidak membuatkan untuk kami?" Gio bertanya, ikut bergabung di meja makan.
"Aku sudah membawa makanan khusus untuk orang dewasa," Joshua menengahi dengan santai.
"Tapi aku ingin mencoba makanan itu," rengek Lina kepada Kian, membuat Reina memerhatikan dengan tatapan datar.
“Kalian ingin merebut makanan anak kecil?” Chakra bertanya dengan nada mengejek, menatap wajah Lina, yang tampak terpaku menatap makanan Reina tanpa berkedip.
Reina hanya menghela napas kecil. Dengan ekspresi polos, ia menyodorkan makanannya ke arah Lina. "Silakan, Bibi. Kalau Bibi ingin, makan saja. Aku bisa makan makanan lain."
Wajah Lina seketika memerah, merasa dipermalukan oleh bocah kecil itu.
“Dasar anak sialan! Kalau bukan karena Kian dan Chakra, aku sudah menghajarmu sejak tadi!” suara isi hati Lina terdengar jelas oleh Reina yang hanya menyeringai tipis dalam hati.
“Kau belum pulih dan tidak bisa makan makanan ini!” tegur Chakra tegas.
"Tapi nanti Bibi itu menangis kalau tidak makan makanan buatan Paman," jawab Reina dengan nada sedih, menundukkan kepalanya seolah merasa bersalah. "Lagipula, aku tidak ingin membuat keributan hanya karena makanan."
Tatapan sedih gadis kecil itu justru membuat semua orang yang ada di meja makan terdiam, termasuk Lina, yang kini tidak tahu harus berkata apa.
Wajah Lina semakin memerah mendengar sindiran Joshua. “Benar apa yang dikatakan pamanmu, Nak. Lambungmu masih terluka, dan kau tidak bisa makan makanan berbumbu seperti ini. Kau makan saja makanan yang kami siapkan. Kalau kau membangkang, kau bisa saja kembali masuk rumah sakit.”
Reina memutar matanya, tampak bosan dengan peringatan itu. Namun, bibirnya sedikit menyeringai saat melihat Lina yang kini menunduk, merasa terpojok.
“Lambungnya terluka?” suara pikiran Lina, Ikhsan, dan Gio bergema di kepala Reina.
“Lagipula, makanan itu sudah dicampurkan obat untuk mengurangi iritasi pada lambungmu,” tambah Joshua, santai.
“Obat?” Reina memelototi Joshua dengan serius. Dokter muda itu langsung meringkuk, menahan sakit akibat sikutan maut Chakra.
“Kau seharusnya tidak mengatakan hal itu!” desis Chakra, cukup pelan, tetapi terdengar jelas di ruangan itu.
“Hehe, aku lupa,” balas Joshua, terkekeh canggung.
Reina menunduk, menyembunyikan ekspresi frustrasinya. "Aku harus bertingkah seperti anak-anak agar tidak ada yang curiga. Lagipula, aku tidak suka obat." pikirnya.
“Aku tidak mau!” Reina tiba-tiba bangkit dari kursi dan kabur dari meja makan dengan lincah, meninggalkan yang lain terkejut.
Chakra menghela napas panjang. “Anak-anak memang tidak suka obat, Joshua. Kau seharusnya tidak mengatakan itu.”
“Aku tak sengaja, sungguh!” Joshua mengangkat tangan, mencoba membela diri.
Chakra memutar badannya dan bergumam, “Jika seseorang tidak memenjarakanku, mungkin sekarang aku sedang baik-baik saja.” Ucapannya membuat wajah ketiganya mendadak pucat.
Ketegangan itu terpecah oleh Joshua yang mendelik ke arah mereka. “Oh ya, kalian jadi makan bubur itu atau tidak? Sayang sekali kalau terbuang, masih hangat.”
Ketiganya saling memandang ragu.
“Aku tidak tahu kalau bubur itu berisi obat,” cicit Lina, suaranya kecil, dipenuhi rasa bersalah.
Joshua menatapnya datar, tak habis pikir. Hal yang sama terlihat di wajah Ikhsan dan Gio, yang merasa aneh melihat seorang wanita dewasa merengek seperti anak kecil.
“Kenapa kau mempermasalahkan hal sepele begitu, sih?” Ikhsan akhirnya angkat bicara, mencoba memecah ketegangan.
“Hal sepele? Nyawa anak itu sepele katamu?” Joshua menatap Ikhsan dengan tajam. Mata dokter muda itu mulai berkaca-kaca. “Aku tidak tahu harus berkata apa lagi.” Suaranya bergetar saat dia melanjutkan.
Mereka hanya bisa terdiam saat mendengar Joshua berbicara. Chakra menunduk, tampak berat mengingat apa yang telah terjadi.
“Ketika aku menemukan Reina, dia dalam kondisi yang sangat parah. Tubuhnya penuh luka, kelaparan, dehidrasi, dislokasi tulang... bahkan lambungnya terluka cukup serius. Yang lebih menyedihkan, tidak ada seorang pun keluarganya yang datang untuk menjenguknya.”
Lina, Ikhsan, dan Gio tidak lagi mampu berkata apa-apa. Wajah mereka menegang, merasa bersalah mendengar penuturan itu.
“Dan kalian tahu apa yang paling menyakitkan?” lanjut Joshua. “Dia sempat mengalami henti jantung selama beberapa menit. Dia berjuang sendirian di rumah sakit. Ibunya meninggal karena tabrak lari, dan ayahnya? Dari informasi yang kudapat dari Chakra, dia bahkan tidak peduli. Tidak ada yang menganggapnya ada. Satu-satunya yang dia miliki sekarang adalah Chakra, yang baru bisa merawatnya setelah keluar dari penjara.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Tak ada yang mampu membantah kata-kata Joshua. Chakra, yang berdiri di dekat pintu, tampak termenung, matanya menyiratkan rasa bersalah yang dalam.
Tiba-tiba, suara langkah kaki Reina terdengar. Gadis kecil itu berdiri di ambang pintu, menatap mereka dengan ekspresi datar, tetapi ada kilatan dingin di matanya.
“Kalau kalian sudah selesai membicarakanku, aku akan makan. Tapi bukan bubur itu.”
Semua orang menoleh ke arahnya, sementara Chakra menyembunyikan senyuman kecil di wajahnya. Reina mungkin anak kecil, tetapi jelas dia tidak bisa dianggap remeh.
✨
"Reina, waktunya makan," panggil Chakra sambil membawa sebuah mangkuk bubur hangat.
"Apakah itu makanan yang tadi?" tanya Reina curiga. Gadis kecil itu tidak suka obat, dan pikirannya dipenuhi bayangan rasa pahit yang menghantui.
"Benar, tapi aku sudah menggantinya," jawab Chakra sambil meletakkan mangkuk itu di nakas.
Reina mengangguk kecil. Tangan mungilnya menjulur untuk mengambil mangkuk tersebut, tetapi tangan kekar Chakra lebih dulu mengangkatnya.
"Biar aku suapi," katanya lembut.
Tanpa banyak protes, Reina menurut. Dia membuka mulutnya setiap kali Chakra menyodorkan sesendok bubur. Satu suapan, dua suapan, hingga tanpa sadar bubur dalam mangkuk itu habis.
Chakra tersenyum puas, mengusap kepala Reina dengan lembut. "Bagus. Kau memakannya sampai habis."
Pria itu segera keluar kamar membawa mangkuk kosong, meninggalkan Reina sendirian. Saat pintu tertutup rapat, Reina segera bergerak. Dengan cekatan, dia mengambil jerami yang dicarinya tadi sore dan mulai membuat sebuah boneka jerami. Jari-jarinya yang kecil dengan lincah merangkai jerami itu menjadi bentuk sederhana, meski baru selesai pada bagian kaki.
“Cklek.”
Suara pintu terbuka membuat Reina buru-buru menyembunyikan boneka jerami itu di bawah bantal. Chakra masuk dengan sebuah botol kecil di tangannya. Senyuman Joshua, yang berdiri di belakangnya, tampak menyiratkan sesuatu yang membuat Reina semakin curiga.
"Waktunya minum obat," ujar Chakra sambil mendekat.
Reina memucat. "Obat? Aku tidak mau!"
"Tenang, ini bukan obat. Ini vitamin," jawab Chakra. "Rasanya manis, kok."
"Vitamin?" Reina menatap botol kecil itu dengan bingung. Kata itu terdengar asing di telinganya.
"Vitamin bisa membuatmu cepat pulih dan menjaga daya tahan tubuhmu," Joshua menjelaskan sambil membuka tutup botol tersebut. Dia mengambil sebuah tablet berbentuk hewan lucu. "Ini seperti permen. Kau hisap saja, tidak perlu ditelan."
Reina menatap tablet itu dengan ragu, tetapi akhirnya mengangguk. Perlahan, dia mengambil tablet itu dan memasukkannya ke mulut. Rasa manis seperti permen menguar, meskipun sedikit pahit di ujung lidah.
"Bagus," puji Joshua. "Sekarang waktunya pemeriksaan."
Joshua mengeluarkan peralatan medisnya dan mulai memeriksa Reina dengan hati-hati. Setelah beberapa saat, dia tersenyum lega. "Kondisinya sudah mulai membaik. Aku harap dia cepat pulih dan bisa beraktivitas seperti anak-anak pada umumnya."
"Syukurlah," tambah Chakra, menatap Reina dengan binar bahagia. "Kau benar-benar anak yang kuat."
Reina hanya tersenyum tipis, meskipun ada kilatan licik di matanya. Dia mendengar dengan jelas isi pikiran kedua pria itu.
"Syukurlah kondisinya membaik. Aku berharap dia tumbuh menjadi anak yang hebat suatu hari nanti," pikir Joshua.
"Aku akan memastikan kau tumbuh dengan baik. Meskipun untuk saat ini kita sedang kesusahan, aku hanya ingin kau tumbuh dengan sehat," batin Chakra.
Setelah mereka keluar, Reina kembali mengambil boneka jeraminya. Dengan serius, dia mulai menyelesaikannya. Kali ini, dia menambahkan benang merah yang telah dia sembunyikan di dalam laci kecil. Reina menatap boneka itu penuh makna.
"Jika kalian benar-benar peduli padaku, aku harus tahu seberapa jauh itu benar. Kalian akan tahu bahwa aku juga bisa menjaga diriku sendiri," batinnya.