Dimas, seorang Mahasiswa miskin yang kuliah di kota semi modern secara tidak sengaja terpilih oleh sistem game penghasil uang. sejak saat itu Dimas mulai mendapat misi harian
misi khusus
misi kejutan
yang memberikan Dimas reward uang IDR yang melimpah saat misi terselesaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon slamet sahid, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Flash Back (bag.2)
Pintu kamar diketuk. Dimas muncul di ambang pintu dengan senyuman.
" Apakah Kamu udah siap, Astrid? Sini ku bantuin bawa koper kamu ke mobil," tawar Dimas.
"Terima kasih, Dim. Kamu memang teman yang pengertian," jawab Astrid sambil memberikan koper kepada Dimas.
Kemudian Mereka berdua berjalan keluar dari kost menuju mobil yang sudah menunggu di depan. Kedua orang tua Astrid sudah datang untuk menjemputnya. Ibu Astrid, Bu Ningsih, tersenyum hangat melihat putrinya.
"Astrid, akhirnya kita bisa pulang bersama lagi. Coba di inget lagi masih ada yang terlupakan tidak?" kata Bu Ningsih sambil meraih tangan Astrid.
" InsyaAllah semua sudah siap semua Ibu. Tinggal pamitan sama Dimas saja yang belum. "jawab Astrid seraya melirik ke Dimas.
Dimas hanya tersenyum simpul, kemudian membantu memasukkan koper dan barang - barang lain ke d dalam mobil, kemudian mengucapkan selamat jalan kepada keluarga Astrid.
"Pak, Bu, selamat jalan. Astrid, jaga diri ya di desa. Jangan lupa oleh-olehnya," kata Dimas dengan senyuman.
"Iya, Dim. Kamu juga jaga diri. Sampai ketemu nanti," jawab Astrid sambil melambaikan tangan.
Mobil Avansa itupun mulai bergerak meninggalkan tempat kost. Astrid duduk di kursi belakang sambil melihat keluar jendela. Perjalanan pulang ke desa sebenarnya cuma memakan waktu beberapa jam, tetapi Pak Kartono sudah merencanakan untuk berkunjung ke rumah Adiknya dulu.
Setelah perjalanan panjang yang cukup melelahkan, keluarga Astrid akhirnya sampai di rumah Pak Surya di kota Kuto Rejo, Dia adik kandung Pak Kartono, yang terletak di salah satu komunitas perumahan elit sebelah Timur pusat kota Kuto Rejo.
Deretan Rumah yang lumayan besar dengan taman yang tertata rapi menyambut mereka. Bunga-bunga mekar di sepanjang jalan setapak yang mengarah ke pintu utama, memberikan kesan kemakmuran dan kemewahan.
Pak Kartono tampak canggung saat turun dari mobil. Sudah puluhan tahun ia tak bertemu dengan adik kandungnya itu. Mereka pernah sangat dekat, namun perbedaan jalan hidup dan pilihan karir membuat mereka menjauh.
Kini, menjadi momen yang tepat bagi mereka untuk berkunjung, Karena mereka bisa berdalih sekalian menjemput Astrid.
"Pak, ini rumahnya Pak lik(paman kecil), sungguh besar sekali," ujar Astrid dengan nada kagum. Matanya berkeliling, memandang setiap sudut rumah megah itu.
"Ya, Paklik Suryamu memang sukses dalam bisnisnya," jawab Pak Kartono dengan senyum yang dipaksakan.
Di balik senyumnya, tersimpan kekhawatiran akan sambutan yang mungkin mereka terima nanti, Sebab masih jelas betapa ketus jawaban adik iparnya kemarin di telpon saat Pak Kartono bilang mau mampir ke rumah.
Mendadak Pintu rumah terbuka, dan Pak Surya muncul dengan senyum lebar. " Mas Karto! Akhirnya kita bertemu lagi!" serunya sambil membuka tangannya lebar-lebar untuk memeluk kakaknya.
Pak Kartono sedikit terkejut dan terharu dengan sambutan hangat itu, namun ia segera membalas pelukan adiknya.
" Surya, sudah lama sekali kita tidak bertemu. Terima kasih sudah mau menerima kami," ucapnya tulus.
"Jangan sungkan, Mas. Anggap rumah ini juga rumahmu," balas Pak Surya sambil melirik ke arah Astrid.
"Dan ini pasti Astrid. Sudah besar sekali, cantik lagi," tambahnya dengan senyum ramah.
Astrid tersenyum malu-malu dan segera meraih tangan Paklik dan menaruh di keningnya sesuai adat pedesaan yang melambangkan sopan santun meminta doa restu. . "Terima kasih, Om."
Kemudian Mereka bertiga diundang masuk ke ruang tamu yang luas dan elegan. Sofa-sofa empuk dengan bantal berwarna-warni mengelilingi meja kaca di tengah ruangan. Di dinding tergantung lukisan-lukisan mahal, menambah kesan mewah pada ruangan itu.
Namun, keramahan Pak Surya seakan menghilang tertutup tirai kesombongan ketika Istri dan anaknya keluar dengan mimik curiga dan menghina bergabung dengan mereka.
Bu Lilis, istri Pak Surya, adalah wanita dengan penampilan anggun namun tatapan dingin dan angkuhnya langsung terasa tidak ramah di rasa. Di sampingnya berdiri anak perempuan mereka, Vina, seorang gadis remaja dengan riasan tebal dan ekspresi sombong.
" Ooo Mas Kartono to, apa kabar?" sapa Bu Lilis dengan senyum tipis yang tidak tulus berbasa-basi.
"Baik, Lilis. Terima kasih sudah menerima kami," jawab Pak Kartono sopan.
Bu Lilis mengangguk kecil, lalu tatapannya beralih ke Astrid. "Ini Astrid, ya? Wah, cantik sekali. Pasti banyak pemuda yang mengejar-ngejar," katanya dengan nada yang terdengar mencibir.
Astrid hanya tersenyum kecil, merasa tidak nyaman dengan tatapan evaluatif dari Bu Lilis dan Vina.
"Silakan duduk, kita sudah siapkan makanan untuk kalian," kata Bu Lilis, sambil mempersilakan mereka duduk di meja makan yang sudah dipenuhi hidangan mewah.Saat makan malam berlangsung, percakapan antara Pak Kartono dan Pak Surya mengalir lancar, mengingat masa lalu dan berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing.
Namun, Bu Lilis dan Vina terus memandang rendah keluarga Pak Kartono dengan komentar-komentar yang sinis." Mas Kartono, bagaimana dengan pekerjaanmu sekarang?" tanya Bu Lilis dengan nada yang sengaja dibuat acuh tak acuh.Pak Kartono tersenyum kaku. "Saya masih bekerja sebagai pegawai negeri, Lilis.
Tidak seberapa dibandingkan dengan usaha Surya, tapi cukup untuk menghidupi
keluarga kami."
"Ah, pegawai negeri, ya. Pasti berat sekali, ya, hidup dari gaji yang tidak seberapa itu," kata Bu Lilis sambil tersenyum sinis.
Astrid merasakan dadanya sesak mendengar kata-kata Bu Lilis.
Ia tahu betapa keras ayahnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Namun, ia memilih untuk diam, tidak ingin membuat suasana semakin tegang.
Vina, yang sejak tadi diam, tiba-tiba angkat bicara. " Mbak Astrid, kamu kuliah apa kerja sekarang?" tanyanya dengan nada yang terdengar meremehkan.
"Aku kuliah di Universitas Duta Bangsa,saat ini sudah semester empat, Vina," jawab Astrid dengan sopan."Oh, Kuliah. Pasti banyak sekali yang berminat di sana, ya? Tapi, mungkin beda standar dengan sekolah internasional tempat aku belajar," ujar Vina sambil tertawa kecil.
Astrid hanya tersenyum kaku. Ia bisa merasakan betapa rendahnya pandangan Vina terhadapnya.
.